26.9 C
Jakarta

Kasus Terorisme: Kemanusiaan Yang Ambigu (1)

Baca Juga:

Oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy

Setelah status pendek saya di media social dibully banyak orang, tentu tidak sedikit juga yang mengapresiasi, kemarin tulisan saya dengan judul: “Pelaku Bom Bunuh Diri adalah Korban” juga menuai kritik dari banyak orang. Ada kritik yang wajar dan sehat. Namun tidak sedikit kritik yang sangat kampungan.

Kritik yang kampungan misalnya, ada yang menuduh saya tidak bersimpati dan berempati pada korban, yang menuduh saya pro teroris. Apa yang salah kalau saya menyebut, bahwa pelaku bom bunuh diri adalah korban. Mereka ini adalah korban dari indoktrinasi dan agitasi yang dilakukan, bisa jadi dari kelompok ekstrimis (saya sama sekali tidak tertarik menggunakan istilah radikalis atau fundamentalis) yang memahami agama secara sempit, namun bisa juga –berangkat dari beberapa kasus yang terjadi sebelumnya, terlebih di era Orde Baru– dari oknum aktor negara yang masih terobsesi meniru gaya-gaya lama, dalam menciptakan dan memelihara keresahan di masyarakat dan sekaligus memojokkan umat Islam.

Bahkan ada komentar yang lebih ndeso lagi yang menyebut, saya bersikap dan menulis seperti itu karena pelaku bom dalam rangkaian peristiwa “bom teroris” mempunyai keterkaitan dengan Muhammadiyah. Terlihat orang yang berkomentar seperti ini tak pernah membaca tulisan saya. Orang yang berkomentar seperti ini, biasanya masih dihinggapi oleh watak busuk jahiliyah pra Islam yang bangga dengan ashshabiyahnya, dengan menafikan ukhuwah Islamiyah yang harusnya dikedepankan.

Meskipun begitu, tidak sedikit pula yang mengapresiasi tulisan saya. Bentuk apresiasi itu setidaknya tergambar di media online. Tulisan saya dimuat setidaknya di enam media online. Bukan saya yang mengirim tulisan tersebut, tapi media online tersebut yang meminta ijin ke saya untuk memuatnya. Mungkin media-media ini melihat bahwa dalam tulisan saya ada perspektif lain, perspektif yang berbeda dari kebanyakan orang dalam menyikapi kasus bom teroris.

Kritik, hujatan, makian, komentar negatif dalam menyikapi sebuah tulisan itu hal biasa. Dan saya bukan orang yang alergi terhadap itu semua. Yang disayangkan dari kebanyakan komentar atas tulisan saya, selalu “hanya” menempatkan korban sebagai orang yang perlu dibela. Seakan hanya perlu berempati dan bersimpati kepada korban. Sebaliknya, kebanyakan mereka menempatkan pelaku, tersangka, atau bahkan yang baru terduga sebagai pelaku sebagai pesakitan, orang yang pantas dikutuk, dimaki, dihujat, dan sebagainya.

Cara berpikir seperti ini tentu tidak sepenuhnya salah, karena selama ini di masyarakat sudah terbangun narasi yang menempatkan para pelaku, tersangka, dan yang terduga pelaku pada posisi serba negatif. Bukan hanya dalam konteks kejahatan terorisme, tapi juga kejahatan lainnya, seperti korupsi dan narkoba.

Ketika ada orang disangka korupsi, langsung beragam cap negatif disematkan pada dirinya. Tidak pernah berpikir apakah dia tersangka sebenarnya atau karena ditersangkakan. Ketika ratusan kepala daerah menjadi tersangka korupsi, anggota DPRD menjadi tersangka dalam kasus korupsi berjamaah, langsung segala predikat negatif juga disematkan kepada para kepala daerah atau anggota DPRD tersebut. Publik tidak pernah bertanya, kenapa bisa ratusan kepala daerah menjadi tersangka? Publik tidak pernah bertanya, kenapa puluhan anggota DPRD bisa melakukan korupsi berjamaah.
Nyaris sedikit sekali yang mencoba berpikir bijak, selain menyalahkan para pelaku korupsi juga menyalahkan sistem yang ada, menyalahkan sistem yang memproduk para koruptor.

Padahal kalau yang pernah belajar teori sistem, maka rumusnya sederhana, bahwa dalam sistem yang baik, maka akan menghasilkan output yang baik pula. Sebaliknya, kalau ada sistem kok outputnya buruk, jorok, kemproh, maka dipastikan sistemnya itu juga bobrok.

Coba bayangkan, kalau ada 500-an bupati/walikota dan gubernur, lalu yang masuk penjara berjumlah lebih dari 200 orang, apa pantas kita menyalahkan sepenuhnya kepada mereka yang menjadi tersangka (koruptor)? Kalau ada 100 anggota DPRD di sebuah provinsi lalu semuanya (berjamaah) ditetapkan sebagai tersangka korupsi, apa patut kita menyalahkan sepenuhnya para anggota DPRD tersebut, tanpa mencoba menyalahkan sedikit pun sistem yang ada? Narasi berpikir seperti ini menurut saya sangat tidak sehat.

Dalam kasus narkoba pun sama. Kalau ada beberapa orang berpesta narkoba lalu tertangkap pihak berwajib dan ditetapkan sebagai tersangka, kebanyakan kita langsung menilai negatif tanpa mencoba iba dan berempati sambil melakukan “gugatan” kepada negara yang melakukan pembiaran(?) atas peredaran narkoba yang begitu massif di masyarakat. Termasuk menggugat tentang siapa sesungguhnya yang menjadi backing para bandar narkoba, mempertanyakan aliran dana para bandar narkoba. Gugatan kepada Negara ini selayaknya disampaikan secara demonstratif, karena faktanya peredaran narkoba terbesar justru terjadi di antaranya di lembaga-lembaga yang berada di bawah naungan negara, seperti lembaga pemasyarakatan.

(Ma’mun Murod Al-Barbasy, dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta)

http://menara62.com/2018/05/17/kasus-terorisme-kemanusiaan-yang-ambigu-2/

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!