32.2 C
Jakarta

Pembungkaman Masyarakat Pelapor Tindak Pidana Masih Marak

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM—Pola pembungkaman masyarakat yang ingin melaporkan suatu tindak pidana, khususnya dalam kasus korupsi, belum banyak berubah. Ancaman baik berupa lisan maupun fisik, masih terus menimpa mereka yang menjadi saksi atau pelapor kasus-kasus korupsi. Ancaman lain bagi mereka yang berani melaporkan tindak pidana juga beragam, mulai dilaporkan balik atas laporan yang diberikan hingga upaya kriminalisasi.

“Beberapa pola pembungkaman saksi ini terjadi, di antaranya dalam bentuk teror, ancaman, tindakan kekerasan, bahkan bisa berujung pada kematian,” kata Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai dalam konferensi pers bertema Pembungkaman Peran Masyarakat dalam Melaporkan Tindak Pidana, di Jakarta, pada Kamis (2/3). Turut mendampingi sebagai pembicara Wakil Ketua LPSK Askari Razak dan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S. Langkun

LPSK sebagai lembaga yang bertugas melindungi hak-hak saksi dan korban sesuai UU Perlindungan Saksi dan Korban, merasa perlu menghadirkan pemahaman bagi masyarakat terkait ancaman-ancaman yang ditujukan untuk membungkam masyarakat yang kritis dan ingin melaporkan suatu tindak pidana.

“Karena spirit hadirnya LPSK memang untuk mendorong partisipasi masyarakat agar berani melaporkan tindak pidana yang terjadi dan menjadi saksi di pengadilan,” kata Abdul Haris Semendawai kepada Menara62.

Wakil Ketua LPSK Askari Razak mengungkapkan, setiap warga negara wajib melaporkan adanya tindak pidana yang disaksikannya kepada aparat penegak hukum . Ini perintah undang-undang, dan saksi juga mendapatkan perlindungan yang diatur dalam undang-undang. “Membiarkan kejahatan pada awalnya, sama saja membangun kejahatan berikutnya,” tambah Askari.

LPSK memberikan perlindungan kepada saksi dan korban dalam proses penegakkan hukum, termasuk kejahatan korupsi. Ironisnya walaupun sudah ada pelaporan kepada aparat penegak hukum, berkaitan dalam kasus korupsi, tetapi proses hukum berjalan lambat atau malah tidak berjalan. Yang bersangkutan, pelapor atau saksi malah mendapatkan ancaman, tindakan kekerasan, dan kriminalisasi.

Menurut Tama S Langkun dari Indonesia Corruption Watch (ICW),  menjamurnya korupsi di Indonesia karena gagalnya reformasi birokrasi dan berkembangnya fenomena Local Elite Capture. Data ICW menunjukkan, sepanjang tahun 2016 ada 482 kasus korupsi,  1.101 tersangka dengan potensi kerugian negara sebesar Rp1,45 Triliun dan nilai suap Rp31 miliar.

Berkaitan dengan upaya pembungkaman, kata Tama,  di tahun 2016, ada 129 orang mitra ICW mengalami intimidasi, ancaman kekerasan, dan kriminalisasi.

ICW merekomendasikan, dalam perkara-perkara korupsi atau tindak pidana lainnya, dibutuhkan kehati-hatian masyarakat, agar warga tidak sendirian menghadapinya maka perlunya berjejaring, dan mengikuti prosedur.

Selain itu, masih dalam rekomendasinya, LPSK perlu penguatan, baik secara kelembagaan dan finansial. Pada tataran kebijakan pemerintah, internal kepolisian, dan kejaksaan, ICW mendesak agar lebih responsif dalam menangani kasus-kasus korupsi, memberikan prioritas pada aduan kasus korupsi. “Media massa juga harus agresif dan berpihak pada agenda pemberantasan korupsi,” kata Tama.

 

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!