Menteri Pertahanan Prabowo Subianto pernah mengungkapkan rangkaian aksi terorisme di Indonesia sejatinya dikendalikan kekuatan asing. Hal itu diungkapkannya saat berpredikat sebagai capres yang kemudian mendapat sorotan luar biasa dari dalam dan luar negeri. Agak sulit memang membuktikan benar atau tidaknya. Namun, jika Prabowo Subianto, mantan Danjen Kopassus yang mengatakan demikian, maka tentunya akan menarik untuk dikaji.
Sejak bom Bali merobek tatanan sosial Indonesia, terorisme merupakan hantu dan musuh bersama. Lebih dari itu, sejak Black September meluluhlantakkan simbol kapitalisme Amerika Serikat, perang melawan terorisme dialamatkan kepada muslim.
Berbagai pihak mulai dari pejabat, akademisi, jurnalis dan orang awam menyuguhkan analisa secara subyektif. Namun, apapun analisanya memosisikan umat Islam sebagai tertuduh. Gelombang anti Islam pun merebak dan menimbulkan prasangka terhadap apapun yang bernapaskan Islam. Burqa dituding sebagai radikal dan syariah dinilai sebagai ekstrim.
Di Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa, sentimen anti Islam pun menyeruak melalui media massa maupun statemen politisi. Katakan lah politisi Belanda Geert Wilders, Pastor Terry Jones, harian Jyllands Posten dan Charlie Hebdo yang seluruhnya melecehkan Islam dan Baginda Rasulullah SAW melalui kartun. Semangat yang dibangun adalah menjadikan Islam sebagai penjahat dunia yang harus dilenyapkan.
Hingga sekarang, gelombang sentimen anti Islam di dunia tidak berkurang. Mulai dari timur hingga barat, nasib umat Islam sangat menyedihkan lantaran isu terorisme, radikalisme dan ekstrimisme.
Presiden AS Donald Trump menunjuk Charles M. Kupperman sebagai Asisten Presiden dan Wakil Penasihat Keamanan Nasional yang berakibat lahirnya kritik tajam dari kalangan muslim AS. Kupperman dinilai sebagai pejabat anti muslim yang kerap membangkitkan Islamophobia di Amerika Serikat.
Dia tercatat sebagai Board of Director (BoD) dalam Center for Policy Study (CSP) antara 2001 hingga 2010, bersama dengan tokoh lainnya seperti Frank Gaffney. CSP diketahui sebagai lembaga yang menyuarakan sentimen anti Islam. Organisasi ini bahkan pernah menuding muslim di Amerika memiliki tujuan untuk mengubah demokrasi dan menegakkan hukum syari’ah melalui infiltrasi gerakan Ikhwanul Muslimin Mesir.
Islamophobia juga meningkat di Amerika seiring kebijakan Trump yang melarang kunjungan dari enam negara muslim. Tentunya hal itu memperparah kondisi AS yang sudah terpapar anti Islam, khususnya sejak peristiwa Black September.
Dewan Hubungan Islam Amerika (CAIR) mencatat serangan terhadap muslim di AS meningkat. Pada 2016 serangan terhadap muslimah semakin intensif khususnya tatkala kelompok ekstrim melakukan serangan teror di Paris. Data lain yang disuguhkan lembaga HAM AS, Bridge Initiative, menunjukkan serangan terhadap muslimah AS meningkat tiga kali lipat dibandingkan sebelum peritiwa 9/11. Data-data yang tersaji menunjukkan adanya gejolak sosial di Negeri Paman Sam yang anti terhadap isu Islam dan alergi syari’ah.
Seorang peneliti asal Amerika, Nathan Lean, mengumumkan hasil investigasinya terkait Islamophobia di AS dan Eropa. Hasil investigasi itu dia jadikan buku dengan judul “The Islamophobia Industry: How the Right Manufactures Hatred of Muslims”. Dia menggambarkan Islamophobia adalah sebuah jaringan bisnis antara pendonor dan agen-agen yang menjadi kaki tangannya.
Menurut Lean, bisnis Islamophobia menggurita di AS dan Eropa serta berbagai belahan dunia lainnya, lantaran berkaitan dengan uang ratusan juta dolar. Bisnis ini menjadikan ketakutan dan penindasan atas muslim di seluruh dunia sebagai komoditas yang menggiurkan, baik untuk pribadi ataupun korporasi swasta dan media.
Dalam laporannya itu, Lean mengutip laporan lembaga Thinkprogress pada 2011 bagaimana media Foxnews secara tidak proporsional menampilkan label Islam Radikal lebih sering dibandingkan dengan kompetitornya. Islam Radikal menjadi narasi yang hendak dibangun foxnews yang mengakibatkan steorotipe publik terhadap muslim, khususnya di Amerika Serikat.
Ketika diwawancara jurnalis Iran Kouroush Ziabari, Lean menyebut nama lain yang menurutnya menangguk untung besar dari bisnis ini, di antaranya Pamela Geller, Robert Spencer dan Frank Gaffney. Mereka semua tercatat sebagai aktivis dan intelektual anti Islam di Amerika.
Sementara, organisasi yang menerima ratusan juta dolar adalah lembaga Clarion yang memproduksi film anti Islam Obsession. Clarion dilaporkan menerima bantuan dana produksi film itu sebesar 18 juta dollar Amerika, di luar pemasukan dari film sebesar 6 juta dollar Amerika.
Meski demikian, CAIR mengungkapkan masih ada 37 lembaga lain yang menerima dana ratusan juta dolar untuk “mendakwahkan” anti Islam dalam kurun waktu 2008 hingga 2011.
Pamela Geller adalah seorang blogger wanita AS yang kerap menyuarakan anti Islam, baik di internet maupun di dunia nyata. Dari data pajak menunjukkan dia menerima gaji secara berkala dari American Freedom Defense Initiative sebesar lebih dari US $200 ribu. Dia juga mendapatkan uang dari royalti buku, donasi untuk web-nya dan pidato di hadapan umum. Seluruh isi dari tulisan dan pidatonya adalah menyerang Islam dan anti muslim.
Robert Spencer, seorang New Hampshier dan aktivis di Jihadwatch, menerima upah setiap tahunnya dari David Horowitz’s Freedom Center. Frank Gaffney adalah pendiri lembaga CSP yang satu generasi dengan Charles M. Kupperman.
Gaffney sebagai intelektual AS penganut teori konspirasi menganggap Islam sebagai doktrin totaliter sosial politik dan bertentangan dengan demokrasi liberal. Hal ini terungkap dari buku yang ditulisnya berjudul “Shariah: The Threat to America Team B Report”. Kajian ini menjadi penilaian publik terhadap ide-ide Islamphobia Gaffney yang kemudian dijadikan referensi Trump untuk melahirkan kebijakan anti imigran muslim.
Ada pula David Yerushalmi yang memperjuangkan legislasi anti syari’ah, menerima bayaran 150 ribu dollar Amerika, di luar bayaran konsultasi hukum.
Bisnis Islamophobia bermuara pada satu kesimpulan yakni membangun narasi kebencian terhadap Islam. Nathan Lean menyebutnya sebagai industri yang saling terhubung. Di Amerika Serikat, banyak yayasan raksasa dengan anggaran puluhan juta dolar Amerika yang siap menyumbangkan uangnya ke organisasi pemikiran dan intelektual di seluruh dunia. Bahkan, individu-individu yang satu ideologi dengan pendonor, siap memainkan pemikiran mereka melalui tulisan dan ucapan dengan imbalan ratusan ribu dolar.
Individu itu kemudian memproklamirkan diri sebagai ahli Islam, ahli Timur Tengah, pakar terorisme ataupun pakar keamanan nasional. Apapun yang disampaikan para ahli itu kemudian dikutip media massa dan disampaikan melalui internet secara massif.
Pemaparan Nathan Lean melalui bukunya itu tentu menarik dan jika ditelusuri memiliki benang merah yang cukup kuat dengan apa pernah yang disampaikan Prabowo Subianto yang saat ini menjabat sebagai Menteri Pertahanan. (*)
Ditulis oleh Mohamad Fadhilah Zein