29.2 C
Jakarta

Agama dan Etika Digital

Baca Juga:

Mohamad Fadhilah Zein
Mohamad Fadhilah Zeinhttp://menara62.com/
Jurnalis, Produser, Ghost Writer, Youtuber, Kolumnis. For further communication contact fadil_zein@yahoo.com

Internet of Things (IoT) menjadi kajian menarik bagi mereka yang bergelut di bidang teknologi digital. Secara sederhana, IoT bisa didefinisikan sebagai cara pandang (worldview) dan konsepsi menghubungkan apa pun dengan siapa pun berdasarkan teknologi internet. Konsep ini melahirkan hubungan mesin dengan manusia yang semakin mekanistik dan saling membutuhkan. Selain itu, ekosistem digital pun kian kompleks dan satu sama lain terkoneksi.

Dengan semakin canggihnya perkembangan teknologi, menjadi menarik bagaimana kah agama memainkan perannya? Masih kah agama mendapat tempat? Bagi banyak kalangan beranggapan agama akan tersingkir di era internet. Namun, menurut peneliti di Universitas Texas A&M, Prof. Heidi Campbell, agama justru tumbuh subur di dunia maya. Katanya, apa pun agamanya, akan memindahkan tempat peribadatan mereka ke dunia digital.

Campbell menulis buku best seller yang berjudul “When Religion Meets New Media”. New media melahirkan tempat peribadatan di dunia maya, kitab suci di aplikasi mobile, bahkan juga menghadirkan pasukan-pasukan berani mati yang siap mengobarkan perang suci. Agama cyber menjadi agama zaman now yang memiliki karakter dan nilai moral berbeda dengan agama-agama “konvensional”.

Campbel juga menyoroti tentang pergeseran otoritas keagamaan seiring dengan perkembangan New Media. Progresivitas dan keterbukaan New Media mendorong percepatan proses “peremajaan ulama” yang bertabrakan dengan proses yang telah menjadi pakem agama “konvensional”. New Media membawa perubahan pada aspek pemikiran, fatwa, dan pengamalan keagamaan. Dia mengoneksikan hubungan antar manusia dengan manusia, manusia dengan mesin, mesin dengan manusia, ataupun mesin dengan mesin yang terjalin atas dasar norma keagamaan. Fenomena ini menjadi tantangan sekaligus harapan bagi agama-agama.

Di Indonesia, di tengah keterbatasan regulasi tentang interkoneksi agama dengan mesin berbasis internet, menjadi problematika yang penuh tantangan. Di satu sisi, kebebasan beragama merupakan hal yang telah diatur dan dilindungi UU, namun di sisi lain kehidupan keagamaan di dunia maya kian semarak, sehingga bisa bergeser pada lahirnya petualang-petualang. UU ITE tidak lah cukup karena menghadapi fenomena ini tidak bisa dengan pendekatan hitam putih yang berujung pada pidana penjara ataupun denda. Ibarat kata, ditangkap satu, akan lahir seribu.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menempuh berbagai upaya untuk turut andil membenahi problematika ini. Komisi Fatwa MUI telah melahirkan fatwa tentang media sosial. Dan, Komisi Infokom MUI sudah menyelenggarakan literasi media sosial di beberapa kota besar. Itu semua menjadi bagian penyadaran warga negara tentang pentingnya menggunakan internet secara bijak di dunia maya, khususnya yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan.

Etika Digital menjadi kata kunci bahwa menyelesaikan persoalan keagamaan di dunia internet membutuhkan proses panjang dan penyadaran yang terus menerus. Bukan sekedar program yang jika sudah diselenggarakan, maka selesai lah program tersebut.

Kita bisa meminjam definisi yang disuguhkan Perusahaan Riset Gartner tentang apa itu Etika Digital. Meski Gartner lebih memfokuskan Etika Digital bagi perusahaan-perusahaan IT, namun pada beberapa bagian, memiliki irisan dengan moral dan agama. Menurutnya, Etika Digital adalah sistem berbasiskan nilai dan prinsip moral yang dibuat agar menjadi panduan hubungan interaksi digital antar manusia, bisnis dan apa pun (things). Posisinya berada pada hubungan teknologi dan moral itu sendiri. Apa yang diinginkan teknologi dan apa yang diinginkan oleh moral. Letaknya memang di wilayah abu-abu (grey area) dan mengisi kekosongan yang tidak bisa digapai oleh hukum formalitas semata. Setidaknya, ada empat resep jitu untuk mengimplementasikan Etika Digital ala Gartner.

Pertama, Gartner meletakkan moralitas di atas sebelum memulai produk apa pun di dunia internet. Artinya, dia berkelindan dengan pemegang kebijakan top level (board of director) di sebuah perusahaan IT. Begitu tingginya etika dan moral, sehingga siapa pun yang ingin terkoneksi di dunia maya, maka moral dan etika selalu di depan.

Dalam konteks Indonesia, MUI bisa dilibatkan di perguruan tinggi yang memiliki Program Studi Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi. Konsep ini bisa diterapkan di perguruan tinggi IT di mana belajar agama dan etika didahulukan sebelum mempelajari programming. Nilai-nilai agama masuk ke mata kuliah Etika Digital yang tentunya disesuaikan dengan kondisi masyarakat kita. Dengan demikian, akan lahir programer-programer yang memiliki cara pandang dan wawasan keagamaan, moralitas dan etika yang baik.

Kedua, Gartner fokus atas dampak moral yang diakibatkan dari sebuah produk IT. Sejatinya, ini bentuk pertanggungjawaban atas “kerusakan” moral dan etika yang bisa saja lahir dari sebuah produk internet. Tentunya, menjadi tanggung jawab perusahaan tersebut untuk membenahinya. Ini juga menjadi saran yang bagus, bahwa “kerusakan” etika dan moral seharusnya juga diarahkan kepada mereka yang meluncurkan produk, bukan hanya pengguna produk. Seperti media sosial, bagaimana bentuk pertanggungjawaban perusahaan medsos atas mewabahnya hoax di dunia maya?

Ketiga, Gartner memiliki filosofi The real problem is not whether machines think but whether men do. Ini menjadi filosofi yang sangat menarik, bahwa yang bertanggungjawab atas persoalan bukan mesin, namun manusia. Aspek manusia sangat menentukan seperti apa kehidupan dunia maya, apakah menjadi berkah ataukah malah menjadi musibah. Manusia yang menentukan. Oleh sebab itu, dibutuhkan proses panjang untuk melahirkan manusia yang beradab di dunia digital.

Keempat, kepatuhan atas norma dan etika menjadi nilai paling penting yang senantiasa disuarakan Gartner. Memang agak klise, namun jika kita renungkan, betapa banyak masyarakat digital kita yang abai atas norma dan etika. Padahal mereka telah mengetahui. Ini poin yang harus disuarakan terus menerus bahwa bertanggung jawab atas aktivitas digital adalah perbuatan yang sesuai dengan koridor agama.

Kita berharap agama menjadi cahaya bagi kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya di dunia maya. Agama membalut cara pandang bahwa kemajuan teknologi digital adalah berkah, bukan musibah. Dengan demikian, Internet of Things benar-benar membawa kesejukan dan mempermudah kehidupan masyarakat kita, yang memang sudah sejak lama tidak bisa dipisahkan dengan nilai-nilai agama. (*)

Mohamad Fadhilah Zein
Menara62 Institute
- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!