27.8 C
Jakarta

Alami Intimidasi dan Kriminalisasi, Warga Korban Penyerobotan Lahan Tambang di Berau Minta Perlindungan Presiden 

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Dewan Pengurus Pusat Gerakan Pengawal Supremasi Hukum (DPP GPSH) mendesak Presiden Joko Widodo untuk melindungi warga korban kriminalisasi dan intimidasi atas penyerobotan lahan tambang di Berau, Kalimantan Timur.

Hal itu diungkapkan Ketua Umum DPP GPSH H. Moh. Ismail, SH, MH terkait intimidasi dan kriminalisasi yang dialami puluhan warga Kabupaten Berau yang berunjuk rasa. Aksi demo dan unjuk rasa itu sendiri dilakukan warga pemilik lahan untuk menuntut ganti rugi karena sudah lebih dari enam tahun tanah hak miliknya diduga diserobot oleh perusahaan tambang batu bara PT. Berau Coal.

“Keadilan yang di suguhkan oknum-oknum penegak hukum di Berau Kaltim adalah selama lebih dari enam tahun warga yang lakukan aksi unjuk rasa menuntut haknya malah diberi hadiah pidana penjara. Jelas jelas dan sangat jelas para korban kriminalisasi masih hidup dalam penderitaannya masing masing. Oleh karena itu kami mendesak Yang Mulia Presiden RI Ir. Joko Widodo untuk turun tangan hentikan kriminalisasi dan intimidasi ini,” tegas H. Moh. Ismail, SH, MH dalam keterangannya di Jakarta, Senin (11/12/2023.

Hadir dalam jumpa pers tersebut tim kuasa hukum dan sejumlah warga Berau yang tergabung dalam Ormas DPP GPSH.

Ismail menyebut lahan milik 3.000-an warga Berau yang diduga dirampok dan dikuasai secara sepihak oleh PT. Berau Coal seluas 6.000 hektar. Padahal lahan yang belum dibayar ganti rugi tersebut sudah sejak enam tahun lalu memproduksi ribuan ton baru bara.

Sementara itu, Penasehat DPP GPSH Drs Antoni Amir, SH menuding ada kesengajaan dalam pembiaran kriminalisasi warga ini.
“Aksi-aksi warga Kabupaten Berau Kaltim yang melakukan protes, menurut saya merupakan aktivitas kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Lagi pula aksi warga itu dijamin Konstitusi dan Undang Undang. Oleh karena itu, tugas utama aparat penegak hukum dalam memberikan pelayanan dan pengamanan harus maksimal pada setiap aktivitas menyampaikan pendapat di muka umum. Tetapi pada kenyataannya, pihak POLRI malah melakukan tekanan, intimidasi dan kriminalisasi kepada para korban. Bahkan beberapa korban sudah divonis pengadilan dengan tuduhan yang tidak jelas,” ujar Antoni Amir yang juga mantan Anggota Komisi III DPR RI itu.

Dari hasil pertemuan Tim Kuasa Hukum DPP GPSH dengan warga di Berau terungkap beberapa warga yang diduga dikriminalisasi aparat misalnya Jumali, pasutri Yupiter & Magdalena dan Muh. Amri Bakri serta ratusan warga lainnya.

Korban bernama Muh. Amri Bakri yang mengaku tidak hadir dalam aksi unjuk rasa dituduh hadir sekaligus sebagai penggerak unjuk rasa. Bahkan Bakri divonis hakim sekitar setahun. Demikian halnya Jumali dituduh mencuri pipa pralon, padahal dalam persidangan tidak satupun saksi yang melihat Jumali mencuri atau membawa pipa pralon seperti yang ada dalam tuduhan.

Akibatnya Jumali di penjara beberapa tahun. Begitu juga pasangan suami istri Yupiter dan Magdalena ditahan dan divonis cukup tinggi, padahal dia tidak terbukti melakukan pemalsuan sertifikat tanah miliknya sendiri. Bahkan rumah pasangan ini pun ludes dibakar oleh orang tak dikenal. Selain itu, sampai saat ini Muh. Amri Bakri tidak diketahui keberadaannya.

Menurut kuasa hukum korban, Brigjen (Purn) TNI Erling Riyadi, SH.MH bahwa modus kriminalisasi yang dilakukan oknum-oknum penegak hukum dengan menjebloskan warga Berau pemilik sah lahan ke penjara adalah suatu upaya pelaku menjalankan peradilan sesat.

“Wajar saja jika warga protes dan melakukan beberapa kali unjuk rasa. Karena yang menjawab unjuk rasa dan protes itu pihak aparat keamanan sementara pihak PT Berau Coal hanya janji ke janji saja. Dengan arogan pihak aparat melakukan pemanggilan sekaligus intimidasi,” ucapnya.

Atas semua kerugian moril dan materil yang dialami warga Berau Kaltim ini, DPP GPSH memprotes keras atas diabaikannya perlindungan hukum mereka dan mendesak PT. Berau Coal untuk segera membayar ganti rugi.

“Ditengah ketakutan dan kesulitan ekonomi, mereka menunggu kepastian, kapan perusahaan akan membayar lahan milik warga?,” pungkas Ismail. (*)

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!