JAKARTA, MENARA62.COM – Berhenti merokok itu bukan persoalan mudah. Tidak segampang membalikkan telapak tangan. Itu diakui dr. Muhammad Ridha, seorang praktisi kesehatan yang kini banyak membantu WHO dan Kementerian Kesehatan untuk mengkampanyekan gerakan anti rokok.
Dijumpai di sela aksi Aksi Kreatif #ParadeMural yang berlangsung pada Rabu (17/11/2021) di Taman Arjuna Wijaya, Jl. Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, dr Ridha membeberkan beberapa faktor yang membuat orang tidak mudah berhenti merokok. Salah satunya adalah membanjirnya iklan rokok di ruang publik baik dalam bentuk iklan promosi maupun sponsor kegiatan. Iklan-iklan rokok tersebut sangat mudah diakses oleh masyarakat terutama anak-anak muda.
“Iklan yang sangat massif tentang rokok ditambah pengaruh dari lingkungan sekitar akan membuat seorang mantan perokok dengan mudah kembali merokok,” kata dr Ridho.
Iklan rokok yang masif juga menanamkan semacam anggapan bahwa merokok itu hal yang biasa. Sehingga ketika anak sudah beranjak dewasa, sangat mudah untuk menjadi seorang perokok.
Maka wajar meski pemerintah telah mencegah munculnya perokok-perokok dari kalangan anak muda dengan PP 102 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, penambahan jumlah perokok dari kalangan anak-anak dan remaja nyaris tak bisa dibendung. Sebab dalam PP tersebut, ruang untuk industri rokok melakukan iklan baik secara terang-terangan maupun terselubung masih sangat terbuka lebar. Alhasil, 10 tahun PP 109/2012 diberlakukan, angka prevalensi merokok kalangan anak muda malah bertambah.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dipublikasikan laman kemkes.go.id (31 Mei 2020) menyatakan bahwa terdapat peningkatan prevalensi merokok penduduk umur 10 tahun dari 28,8% pada tahun 2013 menjadi 29,3% pada tahun 2018. Prevalensi merokok pada populasi usia 10- 18 tahunjuga meningkat yakni sebesar 1,9% dari tahun 2013 (7,2%) ke tahun 2018 (9,1%).
“Bukannya berkurang, tetapi ini malah mengalami peningkatan yang luar biasa,” lanjut dr Ridha yang juga mantan perokok.
Senada juga disampaikan oleh Natalia Debora, Perwakilan Koalisi Masyarakat Peduli Kesehatan (KOMPAK) dari Pembaharu Muda 3.0. Ia menyebutkan tingginya prevalensi perokok anak di Indonesia disebabkan masifnya paparan iklan promosi dan sponsor rokok terhadap anak, serta akses rokok yang mudah bagi anak karena harganya sangat murah dan dijual batangan. “Sudah banyak studi yang menyebutkan adanya korelasi antara terpaan iklan, promosi dan sponsor rokok kepada anak terhadap keinginan untuk merokok,” ujar Natalia.
Sepakat dengan Natalia, Manik Marganamahendra, perwakilan KOMPAK dari IYCTC, menegaskan bahwa masifnya serbuan iklan, promosi dan sponsor rokok baik di luar ruang, di dalam ruang, di televisi dan media sosial yang dilakukan industri rokok membuktikan bahwa kaum muda menjadi target pemasaran industri rokok untuk mendapatkan perokok pengganti demi keberlangsungan bisnisnya.
“Kaum muda harus berani menolak untuk menjadi target pemasaran industri rokok,” jelas Manik.
Menurutnya, kaum muda juga harus mengambil peran yang lebih strategis untuk meningkatan kesadaran dan menggalang dukungan masyarakat, serta untuk mempengaruhi kebijakan agar berpihak kepada pemenuhan hak kesehatan anak dan remaja, khususnya kebijakan pengendalian tembakau. “Di sinilah pentingnya Negara hadir untuk melindungi kesehatan masyarakat dengan membuat kebijakan yang kuat dan tegas untuk melindungi kesehatan masyarakat,” tegas Manik.
Urgensi Revisi PP 109/2012
Meningkatnya prevalensi perokok di kalangan anak muda menjadi salah satu bukti bahwa revisi PP 109 tahun 2012 sudah sangat urgent. Sayangnya, revisi PP tersebut tak kunjung ditandatangani oleh Presiden.
Padahal sejak Juni 2021 Setneg sudah berkirim surat kepada Setkab untuk mengagendakan rapat terbatas (Ratas) guna membahas usulan Kementerian Kesehatan mengajukan izin prakarsa mempercepat penyelesaian revisi PP 109/2012. Tetapi sudah menjelang akhir tahun 2021, belum juga ada sinyal kuat dari Setkab untuk mengagendakan Ratas tersebut. Justeru yang marak di media adalah tekanan dari asosiasi pengusaha rokok dan kementerian perindustrian dan kementerian Pertanian yang menolak Revisi PP 109/2012.
Lisda Sundari, Ketua Yayasan Lentera Anak menyebut kebijakan perlindungan anak dari bahaya tembakau atau rokok kerap kali kalah oleh kepentingan ekonomi. Bahkan pada era pandemi, upaya perlindungan anak dari paparan rokok merosot tajam. Hal ini ditandai tidak ada upaya mempercepat penyelesaian Revisi PP 109/2012.
“Padahal survey menyebutkan jumlah anak merokok di era pandemi semakin meningkat karena kurangnya pengawasan, dan mudahnya anak mengakses rokok di tempat-tempat mereka mencari wifi untuk belajar online,” jelas Lisda.
Mirisnya, lanjut Lisda, di tengah krisis pengendalian konsumsi rokok Presiden belum juga mengesahkan Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 (PP 109/2012) tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi Kesehatan. Padahal PP ini terbukti gagal melindungi anak dari rokok selama kurun 10 tahun PP diterbitkan. Proses revisi PP 109/2012 yang seharusnya dilakukan pada 2018 lalu atau sesuai Keppres No. 9/2018 terkesan sangat lambat.
Di sisi lain pemerintah sangat akomodatif terhadap pengusaha rokok seperti tidak dilarangnya penjualan rokok elektronik, tidak adanya upaa melundungi anak dengan membuat kebijakan melarang total iklan promosi maupun sponsorship rokok dan tidak adanya larangan penjualan rokok dalam bentuk eceran.
Padahal, lanjut Lisda, kita sejatinya paham bahwa setiap anak Indonesia berhak mendapatkan pelayanan Kesehatan (UU No 36/2009 tentang Kesehatan). Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan untuk membantu tumbuh kembangnya (Pasal 8 UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, yang diperbaiki dengan UU No. 35/2014).
Ia juga menambahkan, kondisi ini semakin membuktikan Pemerintah tidak serius dalam upaya membuat regulasi yang kuat untuk melindungi kesehatan masyarakat, karena terbukti Pemerintah belum juga menyelesaikan proses revisi PP 109/2012 untuk melindungi kesehatan masyarakat.
Hal yang sama juga disampaikan dr Ridha. Ia mengatakan bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan pelayanan Kesehatan, sebagaimana tercantum dalam UUD 1945. Itu artinya bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat 2 UUD 1945.
“Setiap orang juga berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik, sehat serta berhak memperoleh pelayanan Kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 H ayat 1,” paparnya.
Perlindungan kesehatan dari Negara kepada masyarakat jelas dr Ridha seharusnya juga termasuk perlindungan anak dari zat adiktif rokok. Di mana anak dan remaja harus mendapat perlindungan dari negara berupa regulasi yang kuat untuk menjauhkan mereka dari strategi pemasaran industri rokok yang massif menyasar kaum muda, serta menjauhkan anak dari akses yang mudah untuk membeli rokok karena harga rokok saat ini masih sangat murah dan bisa dijual batangan.
Hari Kesehatan Nasional, menurut dr Ridha, harus menjadi momentum bagi Pemerintah untuk membuat kebijakan yang kuat untuk melindungi kesehatan masyarakat, khususnya anak dan remaja, karena anak-anak adalah aset bangsa dan calon pemimpin negeri di masa depan.
“Kami sebagai praktisi Kesehatan ikut mendorong Presiden membuat kebijakan yang kuat untuk melindungi kesehatan masyarakat dan untuk mencapai target penurunan prevalensi perokok anak dengan segera mengesahkan Revisi PP No. 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan,” ujarnya.
Di tempat yang sama, Mch Intan Wahyuning Rahayu, perwakilan KOMPAK mewakili Pembaharu Muda 3.0 mengingatkan bahwa pemerintah berkepentingan untuk melindungi generasi muda dari bahaya rokok. “Bonus demografi tidak akan memberikan makna apa-apa jika generasi muda Indonesia banyak yang sakit. Bahkan bonus demografi akan berbalik menjadi bencana jika generasi mudanya menjadi pecandu rokok,” tambahnya.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyayangkan sikap pemerintah yang tidak tegas dan terlihat rencana pemerintah yang belum sejalan dengan aksi nyata. Pasalnya, masih banyak lokasi yang memperbolehkan adanya iklan atau promosi rokok di media luar ruang maupun media sosial.
“Keadaan ini sangat memprihatinkan, padahal produk tembakau seperti rokok dikenakan biaya cukai oleh Kementerian Keuangan. Alhasil, masih adanya iklan dan promosi rokok di Indonesia adalah kondisi yang ironi atau situasi saat peraturan tidak selaras dengan praktik di lapangan,” tuturnya mengutip laman lenteraanak.org.
Bahkan, rokok sebagai benda kena cukai lanjut Tulus, ternyata dipromosikan. Padahal tidak ada negara manapun di dunia yang mempromosikan benda yang kena cukai, dengan iklan dan segala macam.
“Sangat miris Indonesia masih mempromosikan rokok, padahal Eropa dan Amerika sudah melarang iklan rokok. Lebih miris lagi, ada izin SNI yang diberikan kepada rokok elektronik untuk beredar,” tambah Tulus.
Sementara itu, Nafsiah Mboi, mantan Menteri Kesehatan RI yang kini menjadi Dewan Penasihat Komnas Pengendalian Tembakau menjelaskann urgensi revisi PP 109/2012 demi peningkatan SDM yang handal dan berdaya saing.
“Tujuan utama merevisi PP 109/2012 ini agar ada peraturan pemerintah yang lebih kuat dengan pengawasan yang baik, supaya lebih efektif untuk mencegah perokok pemula serta meningkatkan derajat kesehatan kualitas hidup dan produktivitas anak bangsa,” jelas Nafsiah.
Bahkan Nafsiah menyebut, Bappenas memprediksi jika kondisi tingginya prevalensi perokok anak tidak segera dikendalikan melalui regulasi yang kuat, maka pada 2030 jumlah perokok anak akan menjadi 16 persen atau setara 6 juta anak.
Selain terkait aspek kesehatan, rokok juga berkontribusi dalam penurunan ekonomi masyarakat. Rilis terbaru Badan Pusat Statistik tahun ini mencatat jumlah penduduk miskin mencapai 27,54 juta orang pada Maret 2021.
Menurut Kepala BPS, Margo Yuwono, garis kemiskinan pada Maret 2021 naik 2,96 persen dari Rp458.947 per kapita/bulan pada September 2020 menjadi Rp472.525 per kapita/bulan.
“Rokok kretek filter menjadi komoditas penyumbang terbesar kedua dalam perhitungan garis kemiskinan setelah beras, dengan kontribusi 11,9% di perkotaan dan 11,24% di pedesaan,” katanya.
Aksi Kreatif #ParadeMural
Karena itu, mengambil momen Peringatan Hari Kesehatan Nasional (HKN) 2021, para aktivis anti rokok yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Peduli Kesehatan (KOMPAK) melakukan cara yang berbeda untuk mendesak presiden segera menadtanagani revisi PP 109. Mereka menggunakan cara-cara yang kreatif salah satunya adalah #ParadeMural. Puncaknya aksi kreatif #ParadeMural digelar pada Rabu (17/11/2021) di Taman Arjuna Wijaya, Jl. Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat bertema “Potret Buram Kesehatan Negeriku”.
Di bawah teriknya sinar matahri, puluhan anak muda yang berasal dari 12 organisasi yakni Yayasan Lentera Anak, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Komite Nasional Pengendalian Tembakau, FAKTA Indonesia, Yayasan Kakak, Pusaka Indonesia, Indonesian Youth Council for Tobacco Control (IYCTC), Pembaharu Muda 3.0, Gerakan Muda FCTC, Smoke Free Agent (SFA), Ikatan Senat Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia (ISMKMI), dan Aksi Kebaikan melakukan aksinya mulai dari orasi, hingga menggambar mural dan melakukan aksi pantomim.
Menurut dr Ridha, parade mural menjadi bentuk kegelisahan para generasi muda terhadap bahaya rokok. Cara tersebut ditempuh ketika melalui cara ‘biasa’ tak kunjung membuahkan hasil.
“Mural kami pilih sebagai media penyampaian aspirasi ketika sistem penyampai aspirasi formal di pemerintah tidak berjalan baik, sehingga kami mencari media lain, yakni karya mural, untuk menyuarakan pendapat kami, khususnya mendesak segera disahkannya Revisi PP 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan,” tambah Rama, yang juga sebagai Youth Empowerment Officer Yayasan Lentera Anak.
Mch Intan Wahyuning Rahayu, perwakilan KOMPAK mewakili Pembaharu Muda 3.0 menegaskan bahwa aksi #ParadeMural Hari Kesehatan Nasional” yang melibatkan 12 organisasi menunjukkan kaum muda tidak pernah kehabisan ide kreatif menyampaikan pesan advokasi, khususnya terkait kebijakan kesehatan.
“Kami kaum muda mantap memilih karya kreatif mural sebagai media penyampai pesan atas keprihatinan terhadap semakin meningkatnya prevalensi perokok anak di Indonesia,” kata Intan.
Data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan prevalensi merokok penduduk usia anak 10-18 tahun naik, dari 7,2% pada 2013 menjadi 9,1% pada 2018.
Dalam aksi #ParadeMural Hari Kesehatan Nasional tersebut, Perwakilan KOMPAK juga mengantarkan gambar mural kepada Presiden Joko Widodo melalui kantor Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet, dan Kantor Staf Kepresidenan (KSP). Pengantaran mural ini sebagai simbol dukungan sekaligus desakan kepada Presiden Joko Widodo untuk segera mengesahkan Revisi PP 109/2012.
Kegiatan lainnya yang juga diselenggarkan di acara Aksi #ParadeMural Hari Kesehatan Nasional yang berlangsung hingga sore ini adalah mewarnai kanvas mural oleh para seniman mural, parade karya mural anak muda, pantomim, musikalisasi puisi, dan orasi “Potret Buram Kesehatan Negeriku”.
KOMPAK sangat mendukung Presiden Joko Widodo agar segera mengesahkan revisi PP 109/2012 untuk melindungi anak Indonesia dari adiksi rokok dan mencapai target penurunan prevalensi perokok anak seperti yang diamanahkan RPJMN 2020-2024.
Sebelumnya Yayasan Lentera Anak telah menggelar pelatihan selama lima hari (27 September s.d 1 Oktober 2021) di Bogor yang diikuti oleh 17 anak muda terpilih dari 15 kota/kabupaten di Indonesia yang bernaung dalam Pembaharu Muda 3.0. Mereka menyusun berbagai rencana aksi yang akan digelar bersama sepanjang Oktober-November 2021 di daerah mereka masing-masing. Tujuannya adalah menciptakan pemimpin muda yang peduli, berkomitmen dan berperan bersama organisasi dan komunitasnya untuk mendukung penurunan prevalensi perokok di Indonesia melalui kampanye, advokasi dan aksi bersama.
“Kaum muda adalah agenda strategis pembangunan dan perubahan, mereka memiliki powerful voice dan kredibilitas. Mereka juga memiliki energi dan vitalitas, genuine dan tidak memiliki kepentingan politis,” tutup Lisda.