JAKARTA, MENARA62.COM – Rancangan Undang-Undang tentang Sumber Daya Air (RUU SDA) yang diinisiasi DPR dinilai memiliki semangat anti industri, menutup ruang berkembangnya usaha baru masyarakat dan terlalu over control oleh pemerintah. Karena itu Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memandang perlunya dilakukan kajian lebih lanjut guna mencermati RUU SDA tersebut.
“Kalau kita cermati beberapa pasal dari RUU SDA berpotensi mematikan dunia usaha dan investasi yang bisa berdanmpak serius terhadap pelemahan ekonomi dan ancaman terhadap mandegnya pembangunan usaha,” kata Prof. Muhammad Maksum Mahfoedz, Wakil Ketua Umum PBNU pada diskusi public bertema Air Untuk Semua: Perspektif NU Atas Rancangan UU SDA, Rabu (31/7/2019).
PBNU lanjut Maksum berpandangan bahwa air adalah hak asazi manusia (HAM) yang paling esensial dan mendasar. Air juga sebagai awal kehidupan. Air merupakan zat gizi yang memiliki fungsi penting bagi tubuh manusia. Sehingga air menjadi modal utama untuk menjamin dan melindungi hak hidup serta memenuhi hak asazi manusia yang lain.
“Kebutuhan terhadap air yang layak, bersih, dan menehatkan diperlukan manusia agar bisa mencapai tahap kesejahteraan hidup yang layak untuk tumbuh dan berkembang serta berpartisipasi dan menikmati hasil pembangunan secara tenang,” jelasnya.
Karena demikian strategisnya air bagi kehidupan manusia, PBNU berkomitmen kuat untuk terus mengawal lahirnya UU SDA ini. Pasal-pasal dalam RUU SDA yang dinilai merugikan harus segera dikaji ulang agar nasib UU ini tidak sama dengan UU pendahulunya yakni UU No7 tahun 2004 yang kemudian dibatalkan secara keseluruhan.
Salah satu pasal yang mendapat sorotan PBNU adalah pasal 55 ayat (3) RUU SDA yang menyebutkan bahwa penggunaan SDA untuk kebutuhan usaha dapat diselenggarakan apabila air untuk kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat telah terpenuhi, serta sepanjang ketersediaan air masih mencukupi. Bunyi klausal pasal ini perlu dipikir masak-masak dengan menseimbangkan antara kepentingan people, planet and profit, supaya tidak terkesan Negara tidak bersungguh-sungguh menjamin kepastian berusaha.
“Selain fungsi social dan lingkungan hidup, keselarasan fungsi ekonomi juga penting untuk diperhatikan yakni sektor usaha seperti perkebunan skala besar, industry manufactur, jasa perhotelan, wisata, usaha milik pesantren dan lainnya yang membutuhkan jaminan legal business certainty dalam mendapatkan sumber daya air,” tukas Maksum.
Pasal tersebut menurutnya juga kintradiktif dengan UU no 3 tahun 2014 tentang Perindustrian terutama pasal 33 yang menyebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin ketersediaan dan penyaluran SDA untuk industry dalam negeri.
Atas dasar itulah PBNU rekomendasikan RUU SDA menjadi instrumen pelaksanaan kewajiban Negara untuk melindungi dan menjamin ha katas air secara berkeadilan terhadap banyak entitas yang berkepentingan dalam pengelolaan SDA seperti masyarakat, pemerintah dan sektor usaha.
Sementara itu anggota DPR RI Komisi V Intan Intan Fauzi mengatakan pihaknya akan terus mensosialisasikan materi RUU SDA sebelum disahkan menjadi UU. Semua usulan, masalah dan pandangan masyarakat terus diinventarisir agar RUU SDA ini nantinya menjadi produk hukum yang mampu mengisi kekosongan peratusan SDA paska dibatalkannya UU SDA no 7 Tahun 2004 pada Februari 2015 lalu oleh MK.
“Kami berterimakasih kepada PBU yang ikut mengawal pembahasan RUU SDA ini, juga pihak lain seperti Muhammadiyah,” kata Intan.
Secara substansi, RUU SDA ini lanjut Intan memiliki semangat keberpihakan kepada rakyat. Hal ini sejalan dengan UUD 1945 Pasal 33 bahwa ‘bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’. Dengan demikian, negara bertanggung jawab menjamin penyediaan air bagi setiap individu warganya.
Untuk memenuhi kebutuhan utama rakyat kepada air, maka merujuk pada instrumen internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai hak atas air (right to water). Jumlah yang harus tersedia sesuai dengan pedoman tersebut, antara 50 – 100 liter per orang per hari.
“Kalau untuk kebutuhan pokok sehari-hari kita ikut konvensi internasional, 60 liter per hari. Nah, kalau bicara industri itu lain lagi. Industri misalnya untuk pemurnian tambang, kawasan pertanian, itu biasanya membutuhkan air dalam kuantitas yang cukup, tetapi tidak sama dengan air minum,” ujarnya.
Ia menambahkan, usai reses minggu ini dan pada 16 Agustus bersama Presiden Jokowi bahas keuangan negara Komisi V DPR akan melanjutkan pembahasan RUU SDA yang masih menyisakan satu pasal yang debatable, pasal 55 ayat (3) bisa diplenokan segera.
Sebagai informasi, RUU SDA sudah memasuki tim perumusan panitia kerja DPR Komisi V dari sekian daftar inventarisir masalah ada satu pasal 55 ayat (3) yang masih pro dan kontra, bunyi pasal tersebut ialah penggunaan sumber daya air untuk kebutuhan usaha dapat diselenggarakan apabila air untuk kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat telah terpenuhi, serta sepanjang ketersediaan air masih mencukupi.
Fauziah optimis RUU SDA ini akan rampung pada Oktober 2019 dan akan segera disahkan menjadi UU SDA.