JAKARTA, MENARA62.COM – Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra menggelar diskusi kelompok Terpumpun Penyusunan dan Sosialisasi Buku Bahasa Indonesia Laras Jurnalistik, Senin (30/11/2020). Kegiatan yang diikuti lebih dari 20 insan media tersebut menjadi rangkaian dari penyusunan buku Bahasa Indonesia Laras Jurnalistik yang diperuntukkan bagi insan media.
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa E Aminuddin Azis mengatakan proses penyusunan Buku Bahasa Indonesia laras Jurnalistik saat ini masih terus berlangsung. Berbagai masukan masih dihimpun untuk menghasilkan buku yang nantinya bisa dijadikan panduan bagi insan media dalam hal penulisan.
“Konsepnya sudah ada dan kita masih terus menyusunnya, Insya Allah dalam waktu dekat sudah siap terbit,” kata Aminuddin.
Menurut Abdul Gaffar Ruskan, seorang Pakar Bahasa Indonesia, buku panduan untuk insan media ini sangat penting. Karena sejatinya bahasa media dengan bahasa sehari-hari itu berbeda.
“Bahasa untuk media massa itu berbeda dengan bahasa sehari-hari bahkan dengan bahasa yang digunakan kalangan akademik,” kata Abdul Gaffar dikutip dari Antara.
Diakui Abdul Gaffar dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, terkadang para jurnalis mengindahkan kaidah Bahasa Indonesia yang benar. Hal itu tidak hanya berdampak pada medianya, tetapi juga pembacanya. Untuk itu perlu semacam pedoman bagi pekerja media dalam melakukan tugasnya, yakni sebuah buku pedoman.
“Jika menggunakan Bahasa Indonesia yang sesuai dengan tuntutan profesi, maka kualitas jurnalistik juga semakin baik,” kata Abdul.
Sekretaris PWI Jaya Kesit Handoyo mengatakan saat ini profesi jurnalistik menghadapi masalah dengan persoalan penggunaan bahasa Indonesia. Sebab banyak media-media terutama media daring yang mulai abai kaidah bahasa Indonesia.
“Malah ada media yang sengaja memilih judul yang memantik keinginan orang untuk membaca,” katanya.
Padahal dalam penulisan jurnalistik ada kaidah yang memang harus ditaati. Tidak hanya dari segi huruf capital tetapi juga pemilihan kata dan penyusunan kalimat.
Tak hanya itu, munculnya media sosial yang sering menggunakan kata tak baku, atau kata-kata popular juga menjadi persoalan yang dihadapi oleh kalangan media. Kata-kata yang digunakan oleh media sosial ini seringkali menjadi acuan masyarakat dalam berbahasa.
“Prinsip dan karakteristik jusrnalistik itulah yang membedakan media dengan media sosial,” tambahnya.
Selain itu pelanggaran yang banyak dilakukan oleh media sosial dalam hal penulisan di ruang publik, seringkali juga diikuti oleh media massa. Misalnya saja anak korban kejahatan, atau pelaku kejahatan yang usianya dibawah umur menurut undang-undang, tidak boleh disebutkan namanya apalagi memunculkan fotonya. Tetapi di zaman sekarang, media sosial begitu bebas mengeksposnya tanpa terikat dengan kaidah dan prinsip jurnalistik.
Kesit menambahkan idealnya media turut mengedukasi masyarakat dengan penggunaan Bahasa Indonesia yang sesuai dengan aturan yang ditetapkan.
Senada juga disampaikan Anggota Majelis Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Willy Pramudya. Menurutnya prinsip penulisan jurnalistik harus tetap ditaati oleh para jurnalis dalam menyajikan pemberitaan. Karena itu ia mengajak kalangan media untuk kembali menggunakan bahasa Indonesia yang bermartabat dan mencerahkan.