29.2 C
Jakarta

Buya Hamka, Ulama Besar yang Menjadi Ketua MUI Pertama

Baca Juga:

Oleh Ari Supriyadi)*

Di sosmed, khususnya twitter, sedang trending pembicaraan perihal MUI, ada 2 tagar yang beradu dukungan, yang satu dari kalangan buzzer yang meneriakkan seruan pembubaran MUI. Di sisi yang lain adalah dari kalangan islamis yang tentu saja mendukung keberadaan MUI. Pertempuran tagar tersebut sejauh ini masih dimenangkan oleh kubu pendukung keberadaan MUI. Namun kali ini kita tidak akan berpanjang lebar bicara terkait perang tagar tersebut serta apa penyebabnya, yang penasaran tinggal googling saja.

Fokus kita kali ini adalah tentang Buya Hamka. Lho, apa hubungannya membicarakan MUI dengan Buya Hamka? Jadi gini, bagi yang belum tahu, MUI yang merupakan wadah bagi para ulama yang didirikan pada tahun 1975 itu, ketua pertamanya adalah Buya Hamka.

Buya Hamka lahir di Tanah Sirah, Kabupaten Agam, Sumatra Barat pada 17 Februari 1908. Ia adalah anak pertama dari DR. Syaikh Abdul Karim Amrullah, tokoh pelopor dari Gerakan Islam “Kaum Muda” di Minangkabau yang juga dikenal dengan sebutan Haji Rasul. Ayah Buya Hamka juga dikenal karena merupakan pendiri pondok pesantren “Sumatera Thawalib” di Padang Panjang.

Di akhir tahun 1924, tepat di usia 16 tahun, Buya Hamka merantau ke Yogyakarta dan mulai belajar pergerakan Islam modern kepada sejumlah tokoh seperti H.O.S Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, R.M Soerjopranoto, dan H. Fakhruddin. Dari sana ia mulai mengenal perbandingan antara pergerakan politik Islam, yaitu Sarekat Islam dan Muhammadiyah.

Setelah satu tahun berada di Jawa, ia kembali ke Padang Panjang pada Juli 1925. Lalu, pada tahun 1927, Buya Hamka memutuskan untuk pergi ke Makkah. Selama di Makkah, Buya Hamka belajar Bahasa Arab. Di sana ia juga bertemu dengan Agus Salim, intelektual dan jurnalis yang sama-sama berasal dari Minang. Agus Salim menyarankannya untuk lebih baik kembali ke Indonesia dan mengembangkan kariernya di sana. Akhirnya, atas saran dari Agus Salim tersebut maka Buya Hamka kembali ke tanah air.

Setelah sempat menjadi wartawan di Medan, akhirnya Buya Hamka pindah ke Padang Panjang dan kemudian bergabung dengan Muhammadiyah, bahkan menjadi Ketua Muhammadiyah di Padang Panjang.

Pasca proklamasi tahun 1945, Buya Hamka ikut mendirikan Barisan Pengawal Nagari dan Kota yang ikut bergerilya melawan Belanda. Pada tahun 1949 Buya Hamka pindah bersama keluarganya ke Jakarta. Ia diangkat menjadi pegawai Kementerian Agama yang kala itu dipimpin oleh KH Wahid Hasyim. Buya Hamka juga menjadi pengajar di beberapa universitas dan giat memberikan ceramah.

Setelah bergabung dalam partai Masyumi, Buya Hamka kemudian terpilih menjadi anggota Konstituante pada pemilu tahun 1955. Kiprah Buya Hamka di Partai Masyumi memang membuatnya dimusuhi oleh PKI. Organisasi sayap PKI, Lekra, bahkan menuduh Buya Hamka sebagai seorang plagiator. Perlu diketahui, selain sebagai seorang ulama dan politisi, Buya Hamka juga dikenal sebagai seorang sastrawan. Karyanya yang terkenal diantaranya “Di bawah lindungan Ka’bah” dan “Tenggelamnya kapal Van der Wick”.

Pada tahun 1964, Buya Hamka ditangkap dan ditahan oleh Rezim Orde Lama dengan tuduhan subversif, menyusul beberapa tokoh nasional dan ulama lain yang lebih dulu ditahan, antara lain:  M. Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, Amelz, Nawawi, M. Simbolon, Assaat, Nun Pantow, Ventje Sumual, Rudolf Runturambi, Yunan Nasution, Mochtar Gozali, KH.M. Isa Anshary, Imron Rosjadi, Hasan Sastraatmadja, Kiai Mukti, E.Z. Muttaqien, Mochtar Lubis, J. Princen, Sultan Hamid II, Soleh Iskandar, AA Gede Agung, Sutan Sjahrir, Prawoto Mangkusasmito, Subadio Sastrosatomo, Kasman Singodimejo dan Mr Mohamad Roem.

Buya Hamka bahkan dituduh bersekongkol dengan Malaysia untuk menggulingkan pemerintah Indonesia dan membunuh Presiden Soekarno. Sama dengan Sutan Syahir, kisah yang sama terjadi pada sosok ulama seperti Buya Hamka. Dalam masa penahanan, Buya Hamka juga sempat jatuh sakit dan harus dirawat di RS Persahabatan, Jakarta Timur. Namun beda dengan Syahir yang sakitnya semakin parah sehingga harus di rawat di luar negeri, hingga akhirnya meninggal. Buya Hamka bisa segera pulih kembali. Uniknya, di rumah sakit itulah, Buya Hamka kemudian mulai menulis karya utamanya, Tafsir Al-Azhar. Baginya penjara malah sebuah rahmat. Dalam biografinya Buya Hamka mengatakan berkat dipenjara dia bisa menulis tafsir Al Qur’an kondang tersebut.

Buya  Hamka, bersama tokoh-tokoh Masyumi lainnya, baru dibebaskan setelah Orde Lama tumbang. Pembebasan Buya Hamka dan para tokoh Masyumi  di tahun 1966, disambut oleh puluhan ribu umat Islam dalam acara tasyakuran pembebasan mereka di Masjid al-Azhar, Jakarta.

Pasca bebas, Buya Hamka menjalani aktivitas sebagai ulama dan pendakwah. Barulah di tahun 1975 ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) didirikan, Buya Hamka terpilih secara aklamasi sebagai ketua organisasi tersebut.

Buya Hamka meninggal dunia pada tahun 1981. Ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2011.

#DukungMUI

Ari Supriyadi, Ari Supriyadi, Pengamat Sosial Politik dan Penggiat Media Sosial dari Yogyakarta
Ari Supriyadi,

)*Pengamat Sosial Politik dan Penggiat Media Sosial dari Yogyakarta

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!