28.9 C
Jakarta

Dakwah Khusus Sebagai Ikhtiar Gerakan Komunitas

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM — Dakwah Khusus Sebagai Ikhtiar Gerakan Komunitas. Menjadi salah satu pesan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Haedar Nashir MSi ketika memberi sambutan dalam Seminar Nasional dan peluncuran buku Anak Panah Sang Pencerah: Dakwah Merambah Daerah 3 T, di Jakarta, Rabu (26/1/2022).

Dakwah Khusus sebagai ikhtiar sebagai gerakan komunitas di daerah 3 T, menurut Haedar, bahkan di daerah marginal secara sosiologis, memerlukan ikhtiar individual, kolektif dan kelembagaan secara simultan. Pasalnya, daerah 3 T dan marginal di perkotaan dan di pedesaan, secara realitas memang masih memerlukan da’i, penggerak perubahan dan fasilitator untuk mendampingi mereka. Pendampingan itu untuk mendorong masyarakat agar bisa berubah ke arah lebih baik, dalam menghadapi berbagai perubahan.

“Itu sebabnya, Muhammadiyah terus mendidik para kader untuk itu,” ujarnya.

Haedar mengatakan, pada umumnya masyarakat di daerah 3 T, di daerah marginal dan komunal, mereka secara politik dan sosial, hanya menjadi dijadikan klien dan bahkan alat politisasi dikala pemilu dan pilkada. Bahkan, menurutnya, mereka dipakai sekedar untuk membangun kebanggaan dengan jumlah yang besar anggotanya.

Pertanyaannya, menruut Haedar, apakah klaim sosiologi itu diiringi dengan upaya membina dan memajukan masyarakat dan bisa menjadi besar. Bukan sekedar besar karena membawa nama massa, anggota, rakyat yang banyak. Ataupun, sekedar dengan isu wong cilik dan lain sebagainya.

Kondisi paradok seperti ini, ujar Haedar, harus dieleminasi agar rakyat yang mayoritas di negeri ini tidak menjadi alat klaim politik, tanpa disantuni, tanpa diberdayakan, dan tanpa disejahterakan, lebih-lebih oleh negara.

Inilah yang menjadi perhatian Muhammadiyah. Menurut Haedar, perubahan lingkungan kehidupan atau sosial sekarang ini, globalisasi, modernisasi dan segala macam perubahan karena iptek dan medsos, yang sudah tidak ada pembatas, perlu menjadi perhatian serius.

“Semua bisa masuk ke daerah 3 T, bahkan terisolasi secara geografi. Pengaruhnya selain positif untuk berbagi pengetahuan dan informasi, termasuk penyebaran informasi yang bisa mencerabut masyarakat dari identitas, kultur dan kebudayaannya,” ujarnya.

Media sosial, menurut Haedarh, bahkan bisa mengubah identitas masyarakat Indonesia yang dikenal sopan santun, religius, menjadi bangsa peneybar dan penikmat hoaks, bahkan penyebar permusuhan.

“Padahal, ini termasuk harkat dan martabat bangsa, yangdalam referensi kita dinamakan akhlak dan keadaban,” ujarnya.

Bimbingan

Masyarakat di bawah, menurut Haedar, memerlukan bimbingan, pendamping di tengah perubaha yang terjadi cepat dan terus-menerus.

Masyarakat, menghadapi paradok pemikiran atau metodologi. Ketika berbicara tentang daerah 3 T, masyarakat komunal, komunitas, masyarakat wong cilik, dhuafa mustad’afin, alam pikiran pembangunan, negara, politisi, pemerintah, ormas, banyak yang masih berfikir monolitik dari atas.

“bahwa kemajuan dan ketertinggalan di msyarakat setempat, sangat tergantung pada orang Jakata, pusat, pemilik modal, kekuatan politik kemasyarakatan yang secara struktural membawahi dan menaungi mereka. Pendekatannya top down. Ktia tidak tahu alam pikiran masyarakat setempat, kebudayaan, nalar masyarakat dengan kearifan lokal,” ujarnya.

Ini penting, menurut Haedar, perubahan paradigma ini, bisa mirip jaman kolonial. Penjajah banyak memberi, membangun ini itu, menyediakan infrastruktur perkebunan dan lainnya, tetapi kekayaan masyarakat dikeruk untuk kepentingan penjajah.

“Mereka jadi kaya rayat setelah menjajah. Kita tidak merasa, karena diberi kembang gula, tetapi pahitnya lebih banyak. Kita ormas keagamaan Muhammadiyah, perlu melakukan perubahan paradigma lebih button up dan untuk bawah. Itulah pentingnya pemahaman kita tentang metodologi dakwah, gerakan agar tidak top down,” ujarnya.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!