Jantung saya deg-degan. Saat debat cawapres memasuki babak sepertiga terakhir. Tiba-tiba gawang Liverpool kebobolan. Saat lawan Fulham kemarin malam. Di menit ke 74. Kok bisa. Begitu cerobohnya. Menjadi 1-1. Bila seperti itu sampai akhir habislah peluang Liverpool. Untuk menjadi juara Liga Inggris tahun ini.
Untunglah Liverpool akhirnya menang 1-2.
Pagi harinya saya terima WA dari seorang wanita Tionghoa. “Sandi menutup debat dengan bahasa Arab,” tulisnya. “Tapi saya tidak mengerti apa maksudnya,” tambahnya.
Saya terpaksa melihat youtube. Untuk melihat bagian penutup debat cawapres itu. Bagian awalnya saya sudah lihat di televisi. Sebelum pertandingan Liverpool dimulai.
Ternyata ada lima kalimat Arab yang diucapkan Sandiaga Uno. Cawapresnya Prabowo itu. Salah satunya adalah kalimat penutup pidato yang sering dipakai kalangan NU:
Wallohul muwaffiq ilaa aqwamittoriq. Artinya:
Allahlah yang memberikan taufiq kepada orang yang berada di jalan paling lurus.
Dalam debat itu ada bagian yang Sandi unggul. Ada bagian yang Kyai Ma’ruf Amin menang.
Cawapres pak Joko Widodo itu unggul di bagian instrumen untuk mengontrol anggaran pendidikan. Yang begitu besar. Yang pelaksanaannya diserahkan ke daerah.
Sandi kurang pas dalam menjawab pertanyaan Kyai Ma’ruf itu. Yang ditanyakan instrumen. Jawabannya muter-muter.
Sayangnya di momen ini, gestur Kyai Ma’ruf cacat berat. Saat Sandi memberikan jawaban, Kyai Ma’ruf memperhatikan kertas krepekannya. Tidak memperhatikan lawan bicaranya. Kyai Ma’ruf seperti takut kehilangan ide apa yang harus dikatakan seterusnya.
Tapi krepekannya itu ternyata ampuh. Setelah Sandi muter-muter Kyai Ma’ruf langsung menunjukkan keunggulannya di bidang instrumen itu.
“Kami sudah punya instrumennya,” begitu kira-kira kata Kyai Ma’ruf. “Yakni NPD. Neraca Pendidikan Daerah,” ujar Kyai.
Sayang Kyai Ma’ruf tidak menjelaskan apa itu NPD. Bagaimana sistem kerjanya. Di mana manfaatnya. Mendengar istilah NPD itu saya jadi ingat Anis Baswedan. Saat gubernur Jakarta itu baru menjabat menteri pendidikan. Dari paparan Anislah saya mendengar kata NPD. Untuk pertama kalinya.
Waktu itu Anis Baswedan hadir di pertemuan besar Forum Pemimpin Redaksi. Di Nusa Dua, Bali. Anis menjadi pembicara. Saya juga. Ia bicara di salah satu forum yang membahas pendidikan. Saya di forum lain. Tapi saya pilih ikut forumnya Anis. Ingin mendengar konsep pendidikan seorang menteri baru. Saya tinggalkan forum yang membahas ekonomi di ruang lain.
Saat itulah Anis menguraikan NPD. Dengan sangat bagusnya. Ia beberkan neraca masing-masing kabupaten/kota. Seperti neraca keuangan. Tapi ini neraca pendidikan.
Saya begitu ingin menulis apa yang dipaparkan Anis saat itu. Rakyat harus tahu. Para bupati/walikota harus tahu.
Tapi Anis minta semua data tadi dirahasiakan. Mengapa? Sangat mempermalukan kabupaten yang neracanya merah. Beberapa di antaranya kabupaten di Jatim. Yang dipimpin agamawan.
Ia memilih akan membicarakannya dengan para bupati bersangkutan dulu. “Ini kan baru pertama neraca kabupaten/kota dinilai. Mereka harus diberi waktu untuk berbenah,” katanya.
Saya menyesal tidak bertanya saat itu: apakah NPD itu idenya sendiri, ide tim ahli di kementeriannya, atau ide presiden yang harus ia laksanakan.
Saya merasa tidak penting menanyakan itu. Saya keburu yakin itu idenya sendiri. Bukankah ia seorang intelektual yang sangat konsen di bidang pendidikan?
Kemarin malam Sandi unggul pada pembicaraan soal susu ibu. Padahal topik ini berasal dari pertanyaan Kyai Ma’ruf. Soal program Sandi yang disebut ‘sedekah putih’. Untuk anak-anak yang kekurangan asupan susu ibu.
Kyai Ma’ruf bicara pada tataran doktrin. Bayi harus disusui ibunya selama dua tahun.
Sandi menunjukkan realitas. Kenyataannya tidak semua ibu mampu menyusui bayinya selama dua tahun.
“Istri saya sendiri contohnya,” ujar Sandi. Sambil menunjuk sang isteri. Yang duduk di barisan depan. Sang istri berdiri.
Sandi pun bercerita: isterinya itu hamil lagi. Untuk ketiga kalinya. Saat usia sang istri 42 tahun. Tiba-tiba terjadilah. Saat bayinya, Sulaiman, berumur 6 bulan, air susu dari sang ibu tidak keluar lagi.
Maka diperlukanlah sumbangan susu dari orang lain. Dengan program ‘sedekah putih’.
Menjadikan isterinya sebagai contoh itu, sangat menghidupkan forum. Juga sangat manusiawi. Mengena di hati ibu-ibu.
Lebih menarik simpati lagi ketika Sandi menegaskan ‘ini bukan soal Prabowo-Sandi, ini bukan soal menang kalah, ini soal besar bangsa kita’.
Yang Sandi juga mengesankan adalah ini: saat ia merogoh saku. Sambil minta hadirin mengeluarkan dompet masing-masing. Lalu mengeluarkan KTP. Cukup satu e-KTP untuk segala macam fasilitas. Tidak perlu banyak kartu. Seperti yang ditawarkan Ma’ruf.
Topik lain tidak perlu saya tulis. Apalagi soal dana riset itu. Sangat mengecewakan. Dua-duanya. Juga tentang kebudayaan. Bahkan Kyai Ma’ruf menyatakan akan membuat dana abadi kebudayaan. Entahlah, apakah negara boleh punya dana abadi. Di luar APBN.
Apakah ada pikiran suatu saat negara sampai tidak punya APBN sehingga perlu dana abadi. Dana abadi bisa tepat kalau yang mengucapkan, misalnya, direktur TIM.
Yang menyenangkan kemarin itu, tidak ada serangan yang bersifat pribadi. Mungkin belajar dari serangan Joko Widodo ke tanah Prabowo. Yang sampai sekelas pak JK membuat klasifikasi.
Dari Sandi, hanya ada ‘serangan’ tersembunyi. Misalnya saat Sandi mengucapkan selamat ulang tahun kepada Kyai Ma’ruf. Yang diucapkan di awal acara. “…. yang ke 76” katanya.
Yang ingin diungkapkan Sandi barangkali “pak Kyai ini sudah tua sekali, tidak pada tempatnya ikut memperebutkan jabatan”.
Tapi Kyai Ma’ruf juga punya senjata tersembunyi. Yang diucapkan di akhir acara. “Saya memang sudah tua. Justru seluruh pengabdian saya nanti untuk anak cucu kita”, kurang lebih begitu ucapannya. Maksudnya, tidak akan ada agenda memperkaya diri. Untuk apa. Kan sudah tua. Beda dengan yang masih muda.
Semua itu tafsir saya. Tidak tahu maksud terdalam di hati mereka masing-masing.
Yang jelas keduanya lulus melewati waktu. Pak Ma’ruf masih bisa bicara jelas. Meski penampilannya lebih tua dari yang saya perkirakan.
Beliau sangat tepat membawakan kalimat-kalimat dalam bahasa Arab. Tentu. Tapi terasa dipaksakan untuk mengucapkan istilah ini dalam bahasa Inggris. “For ten years challenge“. Sampai tiga kali.
Kyai Ma’ruf sempurna sekali dalam pakaian kekyiaiannya. Sandi juga sempurna sekali dalam berpakaian jas. Jasnya bagus sekali.
Sandi juga sangat disiplin dalam menjalankan tatakrama (manner) berjas. Ia selalu membuka kancing saat duduk. Dan mengancingkannya kembali saat berdiri. Hanya sekali ia lupa mengancing jas saat berdiri. Yakni di akhir debat. Saat menjawab pertanyaan terakhir Kyai Ma’ruf.
Kalau boleh usul: lain kali warna merah dasinya bisa sedikit lebih merah. Dan lebar dasinya bisa sedikit dikurangi. Selebihnya Sandi keren habis dalam berpakaian kemarin malam.
Penulis:Dahlan Iskan