Menara62.com – Akademisi dari Universitas Indonesia, Ujang Komaruddin, menekankan pentingnya Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menghormati dan melaksanakan putusan pengadilan. Menurut Ujang, putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang memenangkan gugatan Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, harus dihormati, meskipun Dewas KPK perlu tetap menjalankan pemeriksaan etik jika terjadi pelanggaran.
“Ya tentu kemenangan Nurul Ghufron di PTUN itu keputusan pengadilan harus dihormati, tapi kalau Nurul Ghufron melanggar etik juga perlu diperiksa oleh Dewas,” jelas Ujang, Sabtu (25/5).
Ia menambahkan bahwa semua proses harus dihormati dan menjaga kredibilitas KPK adalah hal yang utama.
“Institusi KPK harus dijaga dengan menjaga kredibilitas masing-masing. Dewas bekerja sesuai dengan aturan, komisioner KPK bekerja sesuai dengan kewenangan, jangan melanggar etik. Saya tidak mengatakan ini proses negatif ya pokoknya proses pengadilan dihormati walaupun kadang-kadang juga pengadilan menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak lain dan kalau kita lihat Dewas juga harus di dalam standar SOP yang jelas pimpinan KPK juga tidak boleh melanggar etik,” ujarnya.
Sementara itu pengamat hukum Edi Hardum juga memberikan pandangan serupa, menyoroti prinsip hukum Res Judicata Pro Veritatae Habitur, yang berarti putusan hakim harus dilaksanakan meskipun dianggap salah.
“Putusan PTUN atas gugatan dari Nurul Ghufron yang mengabulkan gugatan tersebut harus dilaksanakan. Kita ini negara hukum, di mana hukum sebagai panglima,” tegas Edi.
Edi menjelaskan bahwa meskipun ada pro dan kontra terkait putusan tersebut, prinsip negara hukum mengharuskan semua pihak untuk mematuhi putusan hakim.
“Kalau ada penyelewengan yang dilakukan penyelenggara negara, maka orang yang merasa dirugikan dapat melakukan gugatan praperadilan,” lanjutnya.
Ia menambahkan bahwa Dewas KPK wajib melaksanakan putusan hakim untuk menghindari pembangkangan terhadap hukum yang tidak etis.
“Demikian juga dengan kasus-kasus lain kebetulan yang disengketakan ini adalah putusan lembaga negara dewas KPK itu adalah lembaga negara yang mengawasi jalannya komisioner KPK oleh karena itu salah sekalipun kita secara subjektif kolektif misalnya penilaian sejumlah orang bahwa keputusan itu salah, tapi karena kita menganut negara hukum, hukum sebagai panglima maka harus mengikuti prinsip putusan hakim yaitu Res Judicata Pro Veritatae Habitur artinya putusan hakim walaupun dianggap keliru harus dilaksanakan dia bersifat mandatory tidak boleh membangkang terhadap keputusan hakim kalau misalnya dianggap salah diajukan upaya hukum tentunya upaya hukum banding terhadap putusan itu,” jelas Edi Hardum.
Sebelumnya, Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, menyoroti putusan sela PTUN yang meminta Dewas KPK menunda pembacaan putusan etik Nurul Ghufron. Menurut Boyamin, PTUN tidak seharusnya mencampuri urusan Dewas KPK yang bukan merupakan pejabat tata usaha negara.
“Penundaan ini tidak berdasarkan surat keputusan, dan Dewas KPK bukan pejabat tata usaha negara, jadi sebenarnya bukan ranahnya PTUN,” tegas Boyamin.
Dia juga menyayangkan sikap Nurul Ghufron yang dianggap tidak menghormati Dewas.
“Mestinya Dewas tetap membacakan (putusan etik Ghufron). Toh sudah musyawarah tinggal dibacakan kecuali kalau masih diawal. Setelah dibacakan misalnya Nurul Ghufron tidak terima, baru gugat dan sebenarnya gugatan Ghufron itu kalau di awal belum putusan itu sebenarnya tidak punya konsekuensi,” tutur Boyamin.
“Saya kira Dewan Pengawas tidak perlu ragu untuk membacakan. Soal nanti digugat urusan hak Ghufron kita hormati semua,” ucap Boyamin.