JAKARTA, MENARA62.COM – Listrik biomassa berbahan bakar bambu di Kabupaten Kepulauan Mentawai diresmikan pada September 2019. Meski sejak Mei 2020 proyek listrik yang menerangi tiga desa di Pulau Siberut tersebut tidak lagi beroperasi normal, setidaknya dapat menjadi bukti bahwa potensi pohon bambu di kabupaten tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi biomassa.
Mengutip laman mentawaikita, warga setempat berharap listrik biomassa kembali bisa beroperasi normal. Karena dengan beroperasinya Plant PLTBm Madobag dan Matotonan di Siberut Selatan serta Plant Saliguma di Siberut Tengah, warga tidak perlu bergantung sepenuhnya pada pasokan listrik PLN yang sering padam.
“Kami senang ada listrik biomassa ini karena kalau PLN mati, tidak perlu pakai lentera,” kata Aman, warga Desa Saliguma, awal Juli 2021.
Beroperasinya Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) di Pulau Siberut tersebut berdampak pada peningkatan rasio elektrifikasi di Kabupaten Kepulauan Mentawai menjadi 51% dari semula 46%. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai menargetkan rasio elektrifikasi hingga 100% dengan pemanfaatan energi baru terbarukan tersebut.
Listrik biomassa di Kabupaten Kepulauan Mentawai bukanlah PLTBm yang pertama. Tahun 2014, Pemda Gorontalo juga membangun PLTBm Pulubala dengan bahan baku berupa jonggol jagung. PLTBm yang dibangun oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) tersebut menjadi PLTBm pertama di Indonesia.
Pada Maret 2020, proyek pengembangan energi ramah lingkungan berbahan baku tanaman juga dikembangkan di Kabupaten Kampar, Riau. Pilot Plant Pembangkit Listrik Tenaga (PLT) Biogas Palm Oil Mild Efluent (POME) yang dibangun BPPT bekerja sama dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V diresmikan pada Maret 2020. PLT Biogas tersebut berhasil menyalurkan 700 KW listrik untuk mendukung operasional Pabrik Palm Kernel Oil di Tandun, milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V.
Kepala BPPT Hammam Riza mengatakan PLT Biogas di Kabupaten Kampar ini merupakan upaya dari BPPT untuk menerapkan energi baru terbarukan (EBT) dengan memanfaatkan limbah cair pabrik kelapa sawit. Selama ini limbah tersebut masih dibuang dan belum dimanfaatkan secara optimal.
“Padahal limbah cair kelapa sawit dapat diproses menjadi bahan bakar antara lain biogas, hidrogen, methanol, atau dikonversi menjadi listrik,” tutur Hammam dalam keterangan tertulisnya.
Menurutnya, biogas dapat memberikan kontribusi sekitar 489,8 juta m3 untuk mencapai target bauran energi EBT sebesar 23% pada tahun 2025.
“Bila seluruh limbah POME dapat diproses menjadi listrik maka akan menghasilkan 1,5 GW. Kemudian, kalau ingin dimanfaatkan sebagai bahan bakar, maka dapat menghasilkan sekitar 3,24 juta ton LPG atau 56,54% dari total kebutuhan LPG nasional. Ini dampaknya besar untuk menekan impor minyak,” terangnya.
Indonesia saat ini adalah penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Dari 850 atau lebih pabrik kelapa sawit di Indonesia diperkirakan tidak lebih dari 10% yang sudah memiliki Biogas Plant.
Di luar 3 kabupaten tersebut, pemerintah juga telah mengembangkan PLTBm dibeberapa lokasi antara lain PLTBm Tanjung Batu Kepulauan Riau, PLTBm Tempilang Bangka Belitung, PLTBm Sidarap di Sulawesi Selatan, PLTBm Bondohuka di NTT, PLTBM Piru di Maluku dan sebagainya. Belum lama ini tepatnya Mei 2021, pemerintah juga mengembangkan proyek listrik biomassa di Wapeko Kabupaten Merauke, Papua dengan kapasitas 3,5 MW. PLTBm yang PT Merauke Narada Energi milik PT Medco direncanakan dapat memenuhi 50 persen kebutuhan listrik penduduk Meurake.
Optimalkan Potensi Biomassa
Sebagai negara megabiodiversitas dengan jumlah spesies tanaman mencapai lebih dari 20 ribu, Indonesia menjadi negara dengan potensi biomassa yang sangat besar. Sumber biomassa tersebut tidak hanya dari kelapa sawit, bambu, atau batang sagu, tetapi juga singkong, karet, jagung, tebu, jerami, tanaman kemiri sunan, nyamplung, jarak pagar, eceng gondok, dan algae. Sebagian besar tanaman tersebut belum diproduksi dalam skala massal untuk dimanfaatkan sebagai sumber biomassa.
Selain bersumber dari tanaman, biomassa juga dihasilkan dari limbah peternakan dan sampah. Di Jakarta dan Denpasar, sampah telah disulap menjadi sumber energi listrik bagi warga setempat.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan potensi biomassa berbasis limbah pertanian maupun tanaman di Indonesia sangat menjanjikan. “Indonesia merupakan negara agraris sehingga potensi biomassa sangat besar,” kata Dadan dalam keterangan tertulisnya Mei 2021.
Kementerian ESDM menghitung, potensi biomassa yang dimiliki Indonesia mencapai 31.654 MW. Dari kapasitas sebesar itu, saat ini baru terpasang 1.8889,8 MW dengan jumlah kapasitas on grid sebesar 206,02 MW dan jumlah kapasitas off grid sebesar 1.683,78 MW atau sekitar 5,7%.
Diakui Dadan, saat ini pemerintah tengah mengupayakan adanya terobosan pemanfaatan biomassa guna mengurangi peran batu bara yang masih dominan secara nasional dan mendorong capaian target bauran EBT hingga 23% pada tahun 2025. Biomassa menjadi salah satu alternatif EBT yang terus dikembangkan pemerintah di samping tenaga surya, panas bumi, angin, hidro dan termal samudera.
Pengembangan biomassa ini dilakukan di tengah isu perubahan iklim dan makin menipisnya cadangan energi berbahan bakar fosil. Berbagai sumber merilis bahwa cadangan terbukti (proven reserve) minyak bumi fosil di Indonesia diperkirakan akan habis kurang dari 10 tahun, dan batu bara hanya tersedia sampai kurang dari 28 tahun.
Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Andriah Febby Misna mengatakan beberapa rencana strategis pengembangan percepatan biomassa yang dilakukan pemerintah antara lain memperbaiki tata kelola pengusahaan bioenergi termasuk revisi Peraturan terkait Pembelian Tenaga Listrik dari Energi Terbarukan, mendorong peningkatan kapasitas PLT Biomassa (project pipeline), mendorong pembangkit Captive Power untuk menjual kelebihan listrik pada PT PLN (Persero) dengan skema Excess Power.
Kemudian melakukan co-firing pelet Biomassa pada existing PLTU, pengembangan PLT Biomassa skala kecil untuk Wilayah Indonesia bagian timur dan 3T secara massif, pengembangan hutan tanaman energi dan pemanfaatan lahan-lahan sub optimal untuk biomassa melalui kerja sama dengan KLHK, K/L terkait dan Pemda.
“Pemerintah juga mendorong penggunaan limbah agro industri termasuk re-planting perkebunan sawit untuk pembangkit listrik serta mendorong produksi dan pengembangan pellet biomassa dan RDF yang bersumber dari sampah dan limbah biomassa untuk energi,” kata Febby pada Webinar Energi Terbarukan bertajuk Prospek Kompor Biomassa Sebagai Alternatif Pemenuhan Energi Rumah Tangga dan Industri Kecil di Era New Normal (11/6/2021).
Jembatan Transisi Energi
Para ilmuwan memperkirakan secara keseluruhan, bumi akan kehabisan bahan bakar fosil pada sekitar 120 tahun dari sekarang. Ketika saat itu tiba, dunia perlu bertransisi produksi energi untuk mempertahankan gaya hidup modern. Di sinilah energi biomassa dapat menjadi penyelamat. Biomassa sangat fleksibel dan dapat digunakan untuk mengganti sebagian besar bensin dan juga minyak.
Baca juga:
- PT PLN Batam dan PT Panbil Utilitas Sentosa Tandatangani MoU untuk Pengembangan PLTU Tanjung Sauh
- RUU EBT Penting untuk Menciptakan Mekanisme Pasar dan Permintaan Energi Terbarukan
Tatang H Soerawidjaja, anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) mengatakan berbeda dengan sumber daya fosil yang hanya terdapat di sejumlah lokasi dengan cadangan yang relatif amat besar di tiap lokasi, maka sumber-sumber energi terbarukan tersedia dihampir semua tempat di dunia, hanya kerapatannya relatif sangat kecil. Bentuk-bentuk energi terbarukan mulai dari sinar matahari, biomassa, tenaga air, panas bumi, tenaga angin, tenaga arus laut, energi ombak hingga energi termal samudera dan nuklir.
Dari sekian banyak jenis energi terbarukan, biomasa adalah satu-satunya sumber energi terbarukan yang merupakan sumber daya bahan bakar alias mampu menggantikan bahan bakar fosil dalam semua pasar energi. Jadi, di sisi hulu, bioenergi merupakan jembatan transisi vital peralihan sistem energi berbasis sumber daya fosil ke sistem energi berbasis sumber daya energi nir karbon.
“Biomassa juga menjadi satu-satunya energi terbarukan yang dewasa ini bisa diekspor atau diperdagangkan secara internasional,” kata Tatang di sela Focus Group Discusion bertema Penguasaan dan Pengembangan Teknologi dalam Rangka Penguatan Sentra Energi dan SDA, Jumat (19/2/2021).
Itu artinya jika Indonesia mampu mengoptimalkan produksi biomassa, maka tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan energi dalam negeri, tetapi juga sekaligus mengekspornya. Dengan demikian, biomassa dapat menjadi sumber penghasilan negara masa depan.
Keberadaan bahan bakar biomassa sebagai bentuk bahan bakar hidrokarbon cair ini jelas Tatang juga amat penting terkait iklim transportasi dan industri. Karena hingga kini dan minimal 2 dekade ke depan, kendaraan transportasi dan alat-alat berat industri dirancang dan diproduksi untuk berbahan bakar hidrokarbon cair (BBM).
“Demi kontinuitas perekonomian memasuki era bioekonomi dan zaman energi nir-karbon pun kita perlu menyediakan bahan bakar hidrokarbon cair terbarukan. Itu mengapa biomassa amat strategis dikembangkan,” katanya.
Tatang menjelaskan asam-asam lemak, yaitu komponen utama minyak lemak nabati seperti minyak sawit dan minyak kelapa adalah hidrokarbon rantai sedang-panjang yang terkontaminasi CO2 disalah satu ujung molekulnya. Untuk mengubahnya menjadi produk hidrokrabon atau minyak bumi terbarukan, cukup dengan menyingkirkan CO2-nya.
Ia mengingatkan bahwa Indonesia merupakan produsen minyak lemak nabati terbesar di dunia dan masih memendam berbagai pohon produktif penghasil minyak lemak yang bisa dikembangkan. Potensi tersebut harus dikembangkan untuk pemenuhan energi masa depan.
Ketahanan Energi Nasional
Ketersediaan energi biomassa di Indonesia yang melimpah dan sudah terkonsentrasi menurut geografis, hingga kini pemanfaatannya belum optimal. Salah satu indikasinya adalah masih rendahnya kapasitas terpasang yang baru mencapai 5,7 persen dari potensi yang ada. Selain itu banyak proyek PLTBm yang sudah dikembangkan di daerah, tetapi dalam perkembangan berikutnya tidak berjalan sesuai harapan.
Karena itu, pemerintah perlu lebih serius lagi dalam pengembangan proyek PLTBm ini. Penggalian potensi energi biomassa di daerah-daerah mendesak untuk segera dilakukan, agar energi tidak lagi terpusatkan pada energi berbahan bakar fosil.
Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo pada Focus Group Discusion bertema Penguasaan dan Pengembangan Teknologi dalam Rangka Penguatan Sentra Energi dan SDA, Jumat (19/2/2021) menjelaskan wilayah Indonesia yang terdiri dari lebih 17.500 pulau membuat transmisi dan distribusi listrik maupun energi minyak bersumber fosil menjadi persoalan yang sangat rumit. Interkoneksi jaringan listrik hanya mungkin ekonomi untuk pulau-pulau besar dan di sejumlah pulau relatif kecil di dekatnya.
Baca juga:
- Sumber Energi Fosil Menipis, Saatnya Indonesia Kembangkan Energi Baru Terbarukan
- Kurangi Emisi, Penggunaan Sumber Energi Terbarukan Mendesak
“Pengembangan biomassa adalah solusinya di samping energi terbarukan lainnya seperti tenaga surya, tenaga angin, energi hidro dan lainnya. Karena hampir semua daerah memang memiliki potensi energi biomassa yang berbeda-beda,” kata Pontjo.
Bagi Pontjo, pemanfaatan EBT tidak hanya akan mempercepat bauran energi 23%, tetapi sekaligus sangat strategis untuk meningkatkan ketahanan energi nasional (energi security). Dengan bauran energi, maka Indonesia tidak akan tergantung hanya kepada satu sumber energi saja untuk mencukupi kebutuhan di sektor transportasi, industri dan kelistrikan.
“Sejarah membuktikan bahwa isu energi sangat erat kaitannya dengan ketahanan nasional suatu negara. Karena itu, 70 persen konflik antar negara yang terjadi di belahan bumi ini dipicu oleh perebutan energi. Misalnya saja konflik yang terjadi di kawasan Timur Tengah atau disebut “Arab Spring” yang dipicu oleh perebutan energi dan minyak bumi dari berbagai negara,” lanjut Pontjo.
Pontjo sepakat dengan pernyataan Tatang bahwa energi dalam sistem perekonomian modern ibarat oksigen bagi manusia. Tanpa oksigen manusia akan mati, tanpa energi maka perekonomian juga akan mati.
Karena itu setiap bangsa akan berupaya menjaga keterjaminan pasokan energinya dengan berbagai upaya, termasuk Indonesia.
“Memanfaatkan biomasa dan juga EBT lain tentu tidak harus menunggu energi berbahan fosil habis atau bumi semakin rusak. Indonesia bisa memulainya sekarang secara serius,” tutup Pontjo. (kurniawati)