Oleh : Ace Somantri
BANDUNG, MENARA62.COM – Umat tidak bosan bertanya-tanya terus setiap ada perbedaan dua hari raya, kenapa pelaksanaan ibadah shaum dan shalat ied terjadi perbedaan saat Idulfitri maupun Iduladha di beberapa negara, termasuk warga muslim di Indonesia. Sahabat yang baik hati, hal itu baik untuk terus dipertanyakan dan tidak menjadi kebosanan bagi umat muslim. Pasalnya, bagi yang awam ilmunya akan tetap mempengaruhi alam pikiran dan sikapnya saat berinteraksi dan beraktifitas di masyarakat. Betul kata para ulama, ustadz dan kyai bahwa perbedaan dalam paham cabang beragama Islam harus saling menghormati manakala mengetahui dasar sebab dan alasan ilmu dan pengetahuannya, tidak karena militan dan taklid buta semata.
Perbedaan hal tersebut, bukan dibiarkan terus terjadi melainkan para ulama atau ilmuwan terus berupaya keras mencari cara dan ilmu pengetahuan yang pas dan tepat sehingga dapat dipertanggungjawabkan dihadapan umat maupun kelak dihadapan pengadilan hari akhir dikehidupan abadi. Selama ini, umat muslim pada umumnya sangat awam ilmu falak dan pengetahuan astronomi yang berkaitan dengan sistem dan siklus pergerakan benda-benda langit. Padahal ajaran Islam mewajibkan mencari ilmu, bahkan disarankan tidak ada batasan selama hidup hingga liang lahat. Dibalik kewajiban mencari ilmu sebenarnya ada konsekuensi hukum dan yang lainnya manakala tidak mengetahui dan tidak memahami akibatnya muncul keraguan, kebingungan dan yang lebih parahnya kebodohan karena tidak mau tahu dan tidak peduli ilmu pengetahuan tersebut.
Sangat wajar umat terus menerus dibingungkan, selain pada umumnya umat Islam gegara tidak berupaya ingin mengetahui pengetahuan dan ilmu mengenai sistem perhitungan waktu dalam beribadah. Termasuk ditambah dengan penyebaran pemahaman yang disampaikan, bahwa mempelajari dan memahami ilmu tersebut tidak wajib ainiyah atau fardiyah cukup diwakili oleh seseorang yang mengerti dan memahami, selebihnya yang lain mengikutinya. Hal itu salah satu penyebab umat Islam bingung, pasalnya yang memahaminya belum tentu memiliki kemampuan memberikan rasionalisasi ilmu pengetahuan tersebut kepada umat lainnya, sehingga tanpa disadari semakin banyak umat yang tidak faham dan bingung terhadap apa yang dikerjakannya.
Saat ini bukan lagi bertanya kenapa ormas Islam ini dan ormas Islam itu berbeda, yang harus ditanyakan adalah mempertanyakan kepada diri sendiri dan membangun kesadaran harus bagaimana kita ikut turut mempelajari, minimal mengerti untuk diri sendiri hal ihwal apa dan bagaimana ibadah yang harus dikerjakan. Kalaupun ikut turut serta kepada orang lain, kelompok dan ormas Islam yang ada harus tetap atas dasar kesadaran nalar dan intelektual yang mendekati rasionalitas keilmuan syari’at Islam. Kita semua yakin, manusia itu mahluk berpikir yang memiliki keunggulan dibanding mahluk lainnya, sehingga menghadapi dinamika perbedaan sebaiknya menjadi triger untuk memotivasi mencari dan menggali ilmu tersebut, bukan saling cela dan menyalahkan satu dengan yang lainnya.
Boleh jadi, selama ini umat muslim pada umumnya abai dan tak peduli apapun perbedaan yang terjadi dalam beragama Islam yang menyangkut dinamika ibadah yang ditimbulkan dari perkembangan sains dan teknologi karena mendapatkan doktrin bahwa ilmu sains dan teknologi serta ilmu selain pengetahuan ilmu ritual ta’abudi merupakan kewajiban kifayah yang merasa dan dirasa cukup diwakili orang lain, akhirnya tanpa disadari lama-lama mendatangkan kebingungan dan keraguan hati dalam dada. Kiranya, fenomena ini sebaiknya menjadi perhatian kepada siapapun yang memahami dan mengerti ditengah-tengah masyarakat muslim khususnya untuk saling memberi informasi dan pengetahuan sesama muslim yang dapat dipertangungjawabkan dengan penuh keikhlasan dan ketulusan.
Sedikit dari banyak pengetahuan orang lain, melalui tulisan ini memberikan informasi hal ihwal fenomena perbedaan faham mengenai idul adha. Disarikan dari media onliine pwmu.jateng, ada beberapa penegasan yang disampaikan oleh wakil ketua Majalis Tarjih PP Muhammadiyah, Kyai Abdul Fattah bahwa perbedaan kerap kali berbeda dikarenakan beberapa hal yang harus dipahami umat muslim. Pertama, khusus bagi Muhammadiyah sistem penanggalan beberapa dekade ini menggunakan kriteria Wujudul Hilal di mana penegasan awal penanggalan bulan hijriyah terjadi manakala bulan muncul di atas ufuk saat matahari terbenam pada tanggal akhir bulan berjalan. Secara astronomis, pergerakan bulan semakin ke barat tinggi hilal (hijriyah) semakin tinggi dan semakin ke timur hilal maka semakin rendah, alasannya dikarenakan terbit bulan dari barat. Dan berbeda terbit matahari yang muncul dari timur.
Kedua, perlu diketahui bahwa waktu shalat di Indonesia kurang lebih 4 (empat) jam lebih dulu dari Saudi Arabia, sementara Iduladha di Indonesia lebih lambat. Termasuk harus diketahui, waktu perhitungan waktu untuk shalat yaitu berbasis pergerakan matahari yang terbit dari timur, dan untuk shaum dan Iduladha berbasis pergerakan bulan yang muncul dari barat. Ketiga, saat ini yang menjadi pegangan paham sistem perhitungan tanggal dan bulan hijriyah di Indonesia, baik itu pendekatan Wujudul Hilal maupun Rukyat, salah satu syaratnya harus terjadi ijtimak (konjungsi), yaitu bertemunya 3 (tiga) benda langit; bulan, matahari dan bumi dalam satu garis lurus.
Keempat, karena patokannya ijtimak (konjungsi) sebagai dasar melihat posisi hilal apakah sudah masuk pada posisi di atas ufuk atau masih dibawah ufuk. Jika masih di bawah ufuk belum masuk awal bulan, begitu teori Wujudul Hilal. Termasuk visibiltas hilal dengan derjat ketinggian yang berbeda. Sekarang studi kasus Idul Adha tahun 1445 Hijriyah terjadi perbedaan Saudi Arabia dengan Indonesia, hal ini dikarenakan ada beberpa prinsip diatas yaitu terjadinya pergerakan bulan, dimana menurut perhitungan atas dasar astronomis saat ijtimak (konjungsi), posisi hilal di kota Jeddah-Saudi Arabia sudah diatas ufuk +1°11’32”, dalam teori WH hal itu sudah masuk awal bulan, sehingga pada tanggal 7 Juni 2024 sudah masuk tanggal 1 Dzulhijah 1445 Hijriyah. Sementara di Indonesia diwaktu yang sama saat ijtimak, di Yogjkarta-Indonesia posisinya -3° 32′ 39″ . Karena minus tiga derajat, kriteria WH menegaskan hilal masih dibawah ufuk, sehingga baru tanggal 8 Juni 2024 mulai tanggal 1 Dzulhijah 1445 Hijriyah.
Yang menjadi pertanyaan dan heran, kenapa Saudi Arabia selama ini menggunakan pendekatan Rukyat, di kasus Iduladha tahun ini dengan ketinggian Hilal posisi pada +1° 11’32” relatif secara antronomis tidak dapat dirukyat, namun untuk Idul Adha tahun ini kemungkinan keputusannya menggunakan alasan dan dasar yang lain yaitu “Sepanjang ada seseorang yang mengaku melihat hilal (bulan) dan bersedia diambil sumpah, maka keputusan itu yang menjadi ketetapan Saudi Arabia sebagai keputusan akhir yang harus dijalankan. Sementara di Indonesia, resmi Kementerian Agama RI kriterianya bersepakat dengan kriteria MABIMS beberapa negara Asean, adapun ketinggian hilal di atas ufuk +3°.
Dalam waktu dekat, Muhammadiyah berupaya keras untuk mewujudkan ummatan wahidan dalam konteks kalender hijriyah. Insyaallah, sependek yang diketahui bahwa Muhammadiyah tahun yang akan datang akan memulai menggunakan pendekatan kalender hijriyah global dimana, dasar dan pijakannya akan membuat rumusan kalender hijriyah yang berlaku untuk semua umat muslim diseluruh dunia. Hal ini, salah satu komitmen Muhammadiyah menjalankan amanah kongres tingkat Internasional dan peduli terhadap kesatuan dan persatuan umat Islam didunia, semoga dalam implementasinya diberikan jalan kebaikan dan keberkahan untuk umat Islam di Indonsia dan masyarakat muslim didunia. Wallahu’alam.
Bandung, Juni 2024