JAKARTA – Meski Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan vaksin Capak dan Rubella (MR) haram, tetapi Kementerian Kesehatan akan tetap melanjutkan program imunisasi MR di sejumlah daerah di Indonesia.Program tersebut bahkan mendapatkan dukungan dari MUI.
Dalam pertemuan yang melibatkan semua kepala dinas kesehatan dari seluruh Indonesia, Menkes Nila F Moeloek mengingatkan bahayanya jika tidak dilakukan imuniasi MR pada anak-anak. Karena itu semua dinas kesehatan sepakat melanjutkan program imunisasi MR yang sempat terhenti pasca diumumkannya hasil penelitian MUI terkait kehalalan vaksin MR.
Tiga hari pasca diterbitkannya Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 33 tahun 2018, Menteri Kesehatan RI, Nila Farid Moeloek, didampingi Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI, Anung Sugihantono, dan Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam, menghadiri pertemuan yang mengundang semua Kepala Dinas Kesehatan dan Pimpinan MUI dari 34 Provinsi seluruh Indonesia.
“Kami menggelar pertemuan dengan semua kepala dinas dalam rangka penyebarluasan informasi secara utuh kepada pemegang program kesehatan (khususnya terkait program imunisasi) di daerah serta masyarakat mengenai pentingnya mendapatkan imunisasi MR,” kata Menkes, Kamis (23/8).
Seperti kita ketahui, dua hari lalu (21/8), MUI telah mengeluarkan Fatwa Nomor 33 tahun 2018 yang menyatakan bahwa para ulama bersepakat untuk membolehkan (mubah) penggunaan vaksin Measles Rubella (MR) yang merupakan produk dari Serum Institute of India (SII) untuk program imunisasi saat ini. Keputusan ini didasarkan pada tiga hal, yakni kondisi dlarurat syar’iyyah, keterangan dari ahli yang kompeten dan dipercaya menyatakan bahwa terdapat bahaya yang bisa timbul bila tidak diimunisasi, dan belum ditemukan adanya vaksin MR yang halal dan suci hingga saat ini.
Fatwa MUI
Adanya Fatwa Nomor 33 tahun 2018 lanjut Menkes telah memberi kejelasan, sehingga tidak ada keraguan lagi di masyarakat untuk bisa memanfaatkan vaksin MR dalam program imunisasi yang sedang dilakukan saat ini sebagai ikhtiar untuk menghindarkan buah hati dari risiko terinfeksi penyakit Campak dan Rubella yang bisa berdampak pada kecacatan dan kematian.
“Imunisasi sangat bermanfaat untuk menjauhkan kita dari mudarat (baca: penyakit berbahaya) yang bisa mengancam jiwa anak-anak kita, melindungi generasi agar tumbuh menjadi bangsa yang sehat, cerdas dan kuat, serta membawa maslahat untuk umat,” tutur Menkes Nila.
Sinergi dalam semangat yang sama, yakni melindungi generasi pewaris negara dan menyehatkan masyarakat, bertepatan dengan keluarnya Fatwa MUI tersebut, Menteri Dalam Negeri RI, Tjahjo Kumolo, juga telah menerbitkan surat dukungan pelaksanaan imunisasi MR fase II kepada seluruh Gubernur, Bupati dan Walikota di 28 Provinsi di Luar Pulau Jawa.
Di samping itu, Kementerian Kesehatan juga akan terus mendukung dan mendorong para akademisi, peneliti dan ilmuwan untuk terus mencari dan menggali teknologi kesehatan dengan tetap menjadikan pertimbangan keagamaan sebagai panduan.
Beban Berat Penyakit Campak dan Rubella
Berdasarkan data yang dipublikasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2015, Indonesia termasuk 10 negara dengan jumlah kasus campak terbesar di dunia. Kementerian Kesehatan RI mencatat jumlah kasus Campak dan Rubella yang ada di Indonesia sangat banyak dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Adapun jumlah total kasus suspek Campak-Rubella yang dilaporkan antara tahun 2014 s.d Juli 2018 tercatat sebanyak 57.056 kasus (8.964 positif Campak dan 5.737 positif Rubella).
Tahun 2014 tercatat 12.943 kasus suspek Campak-Rubella (2.241 positif Campak dan 906 positif Rubella); Tahun 2015 tercatat 13.890 kasus suspek Campak-Rubella (1.194 positif Campak dan 1.474 positif Rubella); Tahun 2016 tercatat 12.730 kasus suspek Campak-Rubella (2.949 positif Campak dan 1.341 positif Rubella); Tahun 2017 tercatat 15.104 kasus suspek Campak-Rubella (2.197 positf Campak dan 1.284 positif Rubella); dan s.d Juli 2018 tercatat 2.389 kasus suspek Campak-Rubella (383 positif Campak dan 732 positif Rubella).
“Lebih dari tiga per empat dari total kasus yang dilaporkan, baik Campak (89%) maupun Rubella (77%) diderita oleh anak usia di bawah 15 tahun”, tutur Dirjen P2P Kemenkes RI, Anung Sugihantono.
Campak merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dan sangat mudah menular (ditularkan melalui batuk dan bersin). Gejala penyakit Campak adalah demam tinggi, bercak kemerahan pada kulit(rash) disertai dengan batuk dan/atau pilek dan/atau konjungtivitis yang dapat berujung pada komplikasi berupa pneumonia, diare, meningitis dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Ketika seseorang terkena Campak, 90% orang yang berinteraksi erat dengan penderita dapat tertular jika mereka belum memiliki kekebalan terhadap Campak. Kekebalan terbentuk jika telah diimunisasi atau pernah terinfeksi virus campak sebelumnya.
Komplikasi dari campak yang dapat menyebabkan kematian adalah Pneumonia (radang Paru) dan ensefalitis (radang otak). Sekitar 1 dari 20 penderita Campak akan mengalami komplikasi radang paru dan 1 dari 1.000 penderita akan mengalami komplikasi radang otak. Selain itu, komplikasi lain adalah infeksi telinga yang berujung tuli (1 dari 10 penderita), diare (1 dari 10 penderita) yang menyebabkan penderita butuh perawatan di RS.
Sementara itu, Rubella adalah penyakit akut dan ringan yang sering menginfeksi anak dan dewasa muda yang rentan dengan gejala yang tidak spesifik (tidak jelas) dan juga mudah menular.
Hal yang menjadi perhatian bidang kesehatan adalah efek teratogenik apabila virus Rubella menginfeksi anak yang berada dekat dengan wanita hamil, dan menularkan virus tersebut terutama pada masa awal kehamilan (pembentukan janin). Infeksi Rubella pada ibu hamil dapat menyebabkan keguguran atau kecacatan permanen pada bayi yang dilahirkan atau dikenal denganCongenital Rubella Syndrome (CRS) yang bisa berupa ketulian, gangguan penglihatan bahkan kebutaan, hingga kelainan jantung, bahkan otaknya bisa mengecil. Data dari 12 rumah sakit yang menjadi sentinel pemantauan kasus CRS selama lima tahun terakhir sampai dengan Juli 2018 telah menemukan 1.660 kasus suspek CRS.
Penyakit Campak atau Rubella bisa menyerang siapa saja baik lelaki maupun perempuan. Hingga saat ini, belum ada satupun pengobatan yang ditemukan yang dapat mematikan virus Rubella yang masuk ke dalam tubuh seseorang. Imunisasi merupakan satu-satunya upaya yang dapat kita lakukan yang paling efektif sebagai langkah pencegahan.
Imunisasi Campak Bukan Hal Baru
Sejak tahun 1982, Indonesia sudah melaksanakan pemberian imunisasi campak secara rutin untuk anak usia 9 bulan. Dalam kurun waktu tiga dasawarsa program imunisasi rutin campak ini berjalan, cakupan yang dicapai secara nasional sudah cukup tinggi namun tidak merata di seluruh wilayah sehingga menyisakan daerah kantong yang berpotensi terjadi kejadian luar biasa (misalnya: KLB Campak di Asmat di awal tahun 2018 lalu).
Di sisi lain, dengan mempertimbangkan situasi beban penyakit Rubella dan CRS di Indonesia, maka dilaksanakan introduksi (pengenalan) vaksin Rubella ke dalam program imunisasi rutin. Vaksin Rubella dikemas dalam bentuk kombinasi dengan vaksin Campak menjadi vaksin Measles Rubella (MR) dan mulai digunakan pada tahun 2017 lalu di 6 provinsi (pulau Jawa), dan saat ini mulai digunakan di 28 provinsi lainnya (luar pulau Jawa).
Berdasarkan hasil kajian terhadap situasi di Indonesia oleh Kemenkes bersama para ahli dari WHO dan akademisi dari beberapa Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kesehatan Masyarakat di Indonesia pada Oktober 2014 lalu, maka direkomendasikan agar dilakukan kampanye imunisasi MR dengan sasaran usia 9 bulan sampai dengan <15 tahun. Untuk dapat memutuskan mata rantai penularan maka diperlukan cakupan imunisasi minimal 95% di seluruh tingkat wilayah agar terbentuk herd immunity (kekebalan kelompok) seperti yang diharapkan.
Dampak Ekonomi Penyakit Campak dan Rubella
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan apabila seseorang terkena Campak tanpa komplikasi lebih kurang memakan biaya 2,7 juta rupiah per kasusnya. Lain cerita jika seorang anak menderita Campak dengan komplikasi radang paru atau otak, biaya pengobatan minimal lebih kurang menghabiskan hampir 13 juta rupiah per kasus, di luar biaya hidup yang dibutuhkan saat penderita mendapatkan perawatan.