JAKARTA, MENARA62.COM – Rencana pemerintah bakal menetapkan formulasi harga batubara khusus pasar domestik (Domestic Market Obligation) masih menjadi perdebatan. Ikatan Ahlli Geologi Indonesia (IAGI) menyatakan, formulasi harga batubara, sebaiknya didiskusikan dahulu antara pemerintah, selaku pengelola kebutuhan energi di dalam negeri, dan pengusaha pertambangan batubara.
Akhir pekan lalu, Ketua Kebijakan Publik IAGI Singgih Widagdo mengatakan, semua pihak hendaknya melihat harga batubara domestik sebagai persoalan visi jangka panjang. “Mestinya ini telah ditetapkan pemerintah jauh sebelum PLTU Batubara mendominasi bauran energi di Indonesia,” kata Singgih.
Singgih menyebut, kebijakan penetapan harga jual batubara mengikuti Harga Batubara Acuan (HBA) menjadi salah satu keberhasilan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Di sini termasuk kewajiban pengusaha tambang batubara melakukan pembayaran royalti batubara sebelum menjual batubara ke pihak lain. Mekanisme pembayaran royalti di muka ini menunjukkan ketegasan pemerintah memberlakukan filosofi perpindahan kepemilikan sumber daya alam (batubara) dari negara kepada pihak kontraktor tambang.
Itu sebabnya pemerintah semestinya memisahkan antara harga batubara di dalam negeri dengan harga batubara untuk kepentingan ekspor. Pemisahan harga jual batubara untuk pasar domestik dan ekspor ini bukan saja mempertimbangkan nilai ekonomi semata, namun juga menjadi rasional bagi masyarakat dalam menilai pemerintah, mengelola sumberdaya alam untuk kepentingan rakyat.
Saat ini muncul tuntutan dari berbagai pihak, agar sebagai eksportir batubara terbesar di dunia, Indonesia semestinya dapat memainkan perannya dalam mempengaruhi harga batubara di pasar internasional. Adanya perbedaan harga antara pasar domestik dan ekspor, idealnya menjadi pemikiran kepentingan oleh berbagai pihak, seperti Kementeriaan ESDM, Kementerian Keuangan, pemerintah daerah, dan juga investor pertambangan.
Dengan memisahkan harga domestik dan ekspor, yang semestinya telah ditetapkan, maka perdebatan di saat indeks harga batubara menyentuh diatas US$100 telah dapat diantisipasi sebelumnya dengan menggunakan satu formulasi. Untuk kepentingan jangka panjang, maka Kementerian ESDM tidak perlu terburu-buru atas dorongan naiknya belanja energi primer, membuat keputusan memisahkan harga batubara domestik dan ekspor melalui perubahan Peraturan Pemerintah (PP). Namun demikian hal ini lebih baik diarahkan untuk kepentingan jangka panjang, bagaimana batubara semestinya lebih dapat dikelola sebagai energi untuk kepentingan ekonomi nasional jangka panjang.
Kebijakan DMO Batubara
Awal 2018, Kementerian ESDM telah menetapkan persentase minimal penjualan batubara untuk kepentingan dalam negeri sebesar 25% dari rencana produksi tahun 2018 yang disetujui. Diharapkan dengan persentase tersebut, kewajiban DMO naik menjadi 121 juta ton. Kementerian ESDM menyatakan batas atas produksi tahun ini sebesar 485 juta ton.
Angka ini dihitung dar realisasi produksi tahun 2017 sebanyak 461 juta ton ditambah 5% toleransi ekspansi produksi yang bisa diberikan ESDM. Selama 2017, penyerapan batubara DMO batubara tercatat 97 juta ton. Jumlah ini lebih rendah dari target yang diwajibkan, sebesar 121 juta ton.
Karena itu ada usulan agar DMO diletakkan atas dasar national coal logistic chain secara menyeluruh atas industri pertambangan batubara yang telah terbangun seperti saat ini. Semestinya DMO tidak diletakkan sebagai ruang yang terbuka, di mana semua perusahaan dapat memasok batubaranya ke berbagai pengguna batubara.
Dari sisi kapasitas produksi, volume DMO, loading capacity, discharging facilities di pihak pemakai dan belum lagi masalah kualitas batubara, akan menjadi parameter yang semestinya dipertimbangkan terlebih dahulu. Termasuk juga perlu pertimbangan jika sudah terjadi kontrak jangka panjang yang telah dimiliki oleh PLN dan Independent Power Producer (IPP) untuk memasok batubaranya.