33.1 C
Jakarta

Islam dan Politik di Indonesia : Kesalahpahaman Terhadap Muhammadiyah (bagian 3 dari 6 tulisan)

Baca Juga:

Oleh: Ma’mun Murod Al-Barbasy

Komposisi Jabatan Menteri

Begitu juga untuk jabatan menteri. Karena jatah menteri Masyumi juga tidak banyak, maka tidak selalu Muhammadiyah mendapat jatah menteri, dan Muhammadiyah menyadari betul akan konstelasi politik yang terjadi di tubuh Masyumi saat itu. Ditilik dari komposisi kabinet yang berasal dari Masyumi, Muhammadiyah tidak tampil mendominasi. Pada Kabinet Presidensial (Agustus-Nopember 1945), Muhamamdiyah dapat 1 menteri, NU 1, PSII 1, dan non-unsur 1. Pada Kabinet Sjahrir I (November 1945-Maret 1946) Muhammadiyah dapat 1 menteri. Pada Kabinet Sjahrir II (Maret-Oktober 1946), Muhammadiyah dapat 1 menteri, PSII 1 menteri dan non-unsur 2 menteri. Kabinet Sjahrir III (Oktober 1946-Juni 1947), Muhammadiyah dapat 2 menteri, non-unsur 2 menteri, NU 2 menteri. Sementara pada kabinet-kabinet berikutnya setelah PSII keluar dari Masyumi, Muhammadiyah tak mendapatkan satu menteri pun pada Kabinet Amir Syarifuddin I (Juli-November 1947). Pada kabinet ini Masyumi juga tak mendapat jatah menteri karena tidak ikutserta di dalamnya. Sementara PSII dapat 5 menteri. Pada Kabinet Amir Syarifuddin II (November 1947-Januari 1948), Muhammadiyah dapat 2 menteri, non-nsur 2 menteri, NU 1, dan PSII 4 menteri. Pada Kabinet Hatta I (Januari-Agustus 1948), Muhammadiyah dapat 1 menteri, non-unsur 2 menteri dan NU 1 menteri. Pada Kabinet Sjafruddin/PDRI (Desember 1948-Juli 1949), Muhammadiyah tidak dapat jatah menteri, sementara non-unsur dapat 1 menteri. Pada Kabinet Hatta II (Agustus-Desember 1949), Muhammadiyah dapat 1 menteri, non-unsur 2 menteri dan NU dapat 1 menteri. Kabinet Susanto (Desember 1949-Januari 1950), Muhammadiyah tanpa menteri, non-unsur 1 menteri, dan NU 1 menteri. Kabinet Halim (Januari-September 1950), Muhammadiyah dapat 1 menteri dan non-unsur 1 menteri. Kabinet RIS (Desember 1949-September 1950), Muhammadiyah dapat 1 menteri, non-unsur 2 menteri dan NU 1 menteri. Kabinet Mohammad Natsir (September 1950-April 1951), Muhammadiyah dapat 1 menteri, non-unsur 2 menteri, NU 1 menteri, dan PSII 1 menteri. Kabinet Sukiman (April 1951-April 1952), Muhammadiyah dapat 3 menteri, non-unsur 1 menteri, dan NU 1 menteri. Kabinet Wilopo (April 1952-Juli 1953) Muhammadiyah dapat 4 menteri dan PSII 1 menteri.

Sementara pada kebinet-kabinet berikutnya setelah NU keluar dari Masyumi posisi politik Muhammadiyah di kabinet juga tidak cukup menggembirakan. Kalau nalar yang dipakai bahwa NU keluar dari Masyumi karena dimarjinalkan oleh Muhammadiyah, tentunya selepas NU keluar dari Masyumi, Muhammadiyah-lah yang harusnya tampil mendominasi. Pada Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Agustus 1955), karena Masyumi tidak terlibat, Muhammadiyah pun tak mendapatkan jatah menteri. Sementara NU mendapat 3 menteri dan PSII 2 menteri. Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956), Muhammadiyah 1 menteri, non-unsur 3 menteri, NU 2 menteri dan PSII 2 menteri. Dan Kabinet Ali Sastroamidjojo II (Maret 1956-Maret 1957), Muhammadiyah dapat 2 menteri, non-unsur 3 menteri, NU 6 menteri, PSII 2 menteri, dan Perti 1 menteri. Secara keseluruhan, selama masa Demokrasi Liberal ini, Muhammadiyah mendapat 18 menteri dan NU mendapat 21 Menteri. Justru yang lebih kerap mendapat jatah menteri adalah kelompok non-unsur dalam Masyumi. Non-unsur yang dimaksud di sini adalah kelompok di luar Muhammadiyah, NU, PSII dan Perti.

Terkait dengan jabatan Menteri Agama, selama Demokrasi Liberal, NU lebih kerap menduduki jabatan Menteri Agama dibanding dengan NU. Tercatat Muhamamdiyah hanya pernah menduduki jabatan Menteri Agama sebanyak empat kali periode pemerintahan dengan tiga orang, yaitu Rasyidi pada Kabinet Syarir I (14 November 1945-12 Maret 1946) dan Kabinet Syahrir II (12 Maret 1946-2 Oktober 1946), KH. Ahmad Asyari pada Kabinet Amir Syarifuddin I (3 Juli-9 Oktober 1947), KH. Fakih Usman pada Kabinet Halim (21 Januari-6 September 1950) dan Kabinet Wilopo (3 April 1952-30 Juli 1953).

Bandingkan dengan NU yang berhasil menduduki jabatan Menteri Agama sebanyak 13 kali periode pemerintahan dengan 4 orang, yaitu KH. Wahid Hasyim pada masa Kabinet Presidensil (19 Agustus 1945-14 November 1945), Kabinet RIS (20 Desember 1949-6 September 1950), Kabinet Mohammad Natsir (6 September 1950-3 April 1951), Kabinet Sukiman Suwirjo (27 April 1951-3 April 1952), KH. Fathurrahman Kafrawi masa Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946-26 Juni 1947), KH. Masykur pada Amir Syarifuddin II (11 November 1947-29 Januari 1948), Hatta I (29 Januari 1948-4 Agustus 1948), Hatta II (4 Agustus 1949-20 Desember 1949), Kabinet Susanto, 20 Desember 1949-21 Januari 1950), Ali Sastroamidjojo I (30 Juli 1953-12 Agustus 1955), KH. Muhammad Ilyas pada Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955-19 Januari 1956), Ali Sastroamidjojo II (24 Maret 1956-14 Maret 1957), dan Kabinet Djuanda (9 April 1957-10 Juli 1959).

Menariknya, selama Perdana Menteri berasal Masyumi, yaitu pada masa Kabinet Natsir, Kabinet Sukiman, dan Kabinet Burhanuddin Harahap jabatan Menteri Agama selalu dijabat oleh tokoh NU. Fakta ini juga sekaligus menggugurkan anggapan di kalangan elit dan warga NU bahwa Muhammadiyah ingin selalu menguasai jabatan Menteri Agama. Kalau anggapan ini benar, tentu peluang lebih banyak dimiliki ketika Perdana Menterinya berasal dari Masyumi, yang katanya Muhammadiyah tampil mendominasi.

(Ma’mun Murod Al-BarbasyDosen Program Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta) — Brebes (23/06/2017).

 

tulisan pertama

tulisan kedua

tulisan keempat

tulisan kelima

tulisan keenam

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!