Dalam hidup ini, selalu ada saat di mana kita merasakan kesedihan dan kekecewaan. Pada saat seperti itu, tidak jarang air mata menetes membasahi pipi. Bahkan, jika kesedihan dan kekecewaan itu sangat dalam, tanpa terasa kita akan menangis tersedu.
Menangis karena sakit, sedih serta kecewa adalah hal yang wajar dan manusiawi belaka. Menjadi tidak wajar, ketika kita terus-menerus menangisi peristiwa yang membuat kita sakit, sedih dan kecewa itu. Lebih tidak wajar lagi, ketika kesedihan serta kekecewaan itu membuat kita kehilangan semangat hidup, pesimis serta putus asa.
Al-Qur’an mengajarkan kepada kita tentang bagaimana cara yang tepat dalam menghadapi kekecewaan serta menyikapi kesedihan. “…Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” (Q.S. At-Taubah: 40). Ayat ini menegaskan bahwa jika kita menyadari sepenuh hati tentang kebersamaan Allah dalam setiap gerak dan langkah kehidupan yang kita jalani, maka tidak ada alasan bagi kita untuk bersedih hati, khawatir atau takut dalam menjalani hidup ini. Karena kita yakin, Allah pasti akan selalu memberikan yang terbaik untuk hamba-hamba-Nya.
Dalam ayat lain dinyatakan, “Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman.” (QS. Ali Imran:139)
Ayat ini menggugah kesadaran kita tentang hakekat keimanan kita kepada Allah. Jika kita memang orang yang benar-benar beriman, yakin dan percaya kepada Allah SWT, maka tidak ada alasan bagi kita untuk merasa lemah atau bersedih hati. Karena sesungguhnya kita adalah bagian dari kelompok hamba Allah yang paling tinggi derajat serta kedudukannya di antara makhluk-makhluk ciptaan Allah lainnya.
Keimanan seseorang akan menjadi kunci utama kedewasaan sikapnya dalam menghadapi beragam ujian dan cobaan hidup. Semakin tinggi iman seseorang, maka semakin siap dan dewasa dalam menghadapi pelbagai persoalan kehidupan yang menimpanya. Karena, dia yakin sepenuh hati bahwa Allah SWT. pasti akan memberikan solusi atas setiap persoalan yang dihadapinya.
Semakin rendah keimanan seseorang, maka semakin sulit untuk menerima kenyataan hidup yang dialaminya. Bahkan, pada titik tertentu, ketika dia tidak mampu lagi bersabar, dia akan putus asa serta frustrasi menghadapi hidup ini. Mereka itu, disebut oleh al-Qur’an sebagai orang-orang kafir, yang mengingkari nikmat serta keberadaan Allah SWT. “….Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah hanyalah orang-orang yang kafir.” (Q.S. Yusuf: 87)
Padahal kesedihan, kekecewaan, serta kesulitan yang menimpa seseorang, adalah salah satu cara Allah untuk menghapus dosa-dosanya. Nabi SAW pernah menyatakan, “Tidaklah seorang muslim ditimpa penyakit, kepayahan, kesedihan, bahkan kerisauan yang membuatnya galau, kecuali dengan itu Allah hapus dosanya.” (HR. Muslim)
Dengan demikian, maka ketika kesedihan datang menghadang, jadikanlah ia sebagai sarana untuk menimbang tingkat keimanan kita kepada Allah. Yakinkan diri bahwa Allah pasti tengah menyiapkan pengganti dari kesedihan yang kita alami, yaitu kebahagiaan tak terperi. Ketika musibah hadir menghampiri, jadikanlah ia sebagai sarana introspeksi diri atas sikap serta perilaku kita selama ini. Yakinlah bahwa ada pelajaran berharga yang ingin Allah sampaikan melalui persitiwa tersebut. Selalu ada hikmah di balik musibah, selalu ada pelajaran di balik ujian dan cobaan.
Menangislah bersama Al-Qur’an. Menangisi kealpaan diri dengan bersandar kepada kitab suci, akan membuat hati lebih berisi. Menangisi keadaan dengan mengadu kepada Al-Qur’an, akan menjadikan kita semakin dengan dengan Sang Pencipta.
Ruang Inspirasi, Rabu, 16 Desember 2020.