31.8 C
Jakarta

Jilbab

Baca Juga:

Seperti biasa ketika sedang tidak ada acara keluar kota, Pak Bei selalu menyempatkan nyambangi warung soto di Rest Area Sartondho JEMAWAN, Jatinom, Klaten. Rest Area milik Bumdes JEMAWAN ini digagas oleh Pak Bei bersama Pak Kades, dan pilihan usaha pertama berupa warung soto ini pun sepenuhnya digagas oleh Pak Bei dengan memanfaatkan jaringan pertemanannya yang luas. Maklum saja, Pak Bei memang penggemar soto dari dulu. Hampir tiada hari tanpa makan soto, di mana saja dan kapan saja.

Setiap berkunjung ke warung, aktivitas Pak Bei yang utama adalah menyapa dan memperhatikan kinerja semua karyawan, dari tukang parkir, koki, pelayan, tukang cuci-cuci, hingga kasir. Untuk mengontrol kualitas masakan, tak lupa Pak Bei juga memesan semangkok soto, soto sapi atau soto ayam, dan segelas teh nasgithel. Sambil menikmati “soto tanpa micin” itu, Pak Bei bisa bertegur sapa dan beramah-tamah dengan pengunjung lain. Bila waktu dhuhur tiba, Pak Bei pun menyempatkan sholat di mushala, sekaligus untuk mengontrol kinerja tenaga kebersihan. Bila kamar mandi dan mushola kotor, tentu Pak Bei akan menegur karyawan yang giliran piket di hari itu.

Tapi betapa kaget Pak Bei ketika mau masuk kamar mandi, dari kamar sebelah makjegagik keluar seorang lelaki yang sudah sangat dikenalnya, Sasa, sahabatnya yang kerja sebagai juru parkir di warung soto Kartongali Jolotundo.

“Loh Sa, kok di sini,? tanya Pak Bei spontan.

“Hehehe….iya, Pak Bei. Mampir, mau numpang sholat,” jawab Sasa yang juga tampak kaget.

“Ya sudah sana ambil wudhu dulu. Kita sholat bareng,” kata Pak Bei dan langsung masuk kamar mandi.

“Sasa dari mana tadi?” tanya Pak Bei usai sholat dhuhur dan wiridan sebentar.

“Tadi dari warung langsung ke sini, pengin ketemu dan ngobrol dengan Pak Bei?”

“Kok tumben siang-siang, Sa. Ada apa?” tanya Pak Bei sambil mengajak sahabatnya pindah duduk ke teras mushola. Pak Bei memberi aba-aba ke salah satu pelayan untuk mengantar 2 gelas teh.

“Kita ngobrol di sini, Sa,” kata Pak Bei sambil mengeluarkan rokok dan korek dari sakunya. Ada cerita apa, Sa?”

“Soal jilbab, Pak Bei.”

“Weeh…ada apa soal jilbab?”

“Pengin tahu saja, tiba-tiba dalam dua hari ini kok ramai berita soal jilbab,” kata Sasa sambil tangannya mengambil sebatang rokok lalu menyulutnya.

“Orang-orang protes karena ada sekolah negeri yang mewajibkan semua murid putrinya berjilbab. Yang satunya lagi tentang seorang tokoh politik yang menikahkan anak gadisnya pakai bahasa Arab, tetapi anak gadisnya itu tidak pakai jilbab. Orang-orang pun pada nyinyir,” lanjutnya.

Pak Bei sudah menangkap yang maksud sahabatnya. Pasti itu kasus yang terjadi pada satu SMAN di Bantul dan satunya lagi peristiwa mantu Gubernur DKI yang dihadiri tokoh-tokoh politik nasional itu.

“Berita gitu saja kok digagas, Sa. Mbokya biarin saja. Besok juga akan hilang dan ganti berita lain lagi.”

“Bukan begitu, Pak Bei. Kali ini saya jadi pengin tahu pendapat Pak Bei soal jilbab. Pak Bei kan juragan jilbab, punya usaha konveksi aneka jilbab. Masa tidak terusik ada berita miring soal jilban begitu?”

“Aku biasa saja, Sa.”

“Jujur sajalah. Bagaimana Pak Bei melihat peristiwa seorang siswi yang protes karena diwajibkan berjilbab itu? Banyak orang yang ikut mengecam aturan sekolah itu, lho?”

“Ya biarin saja, Sa. Lha wong pekerjaan orang yang protes itu memang mencari-cari masalah yang bisa dikecam di media agar jadi terkenal, lha kok digagas. Biasanya mereka hanya ingin kondang seolah-olah pembela hak kaum minoritas, Sa.”

“Kok Pak Bei sinis begitu?”

“Bukan sinis, Sa. Tapi jaman memang sudah berubah.”

“Maksudnya?”

“Dulu jaman aku masih sekolah di SMA Negeri, semua murid pakai seragam tapi modelnya tidak diatur. Semua pakai lengan pendek. Siswa pakai celana panjang, dan siswi pakai rok pendek di atas lutut, bahkan ada yang lebih pendek lagi hampir setinggi sidratul-muntaha. Temanku yang cowok dan ndugal suka pura-pura ngambil pensilnya yang sengaja dijatuhkan agar bisa ngintip paha teman-teman cewek.”

“Wah asyik ya. Dulu nasibku lulus SMP terus kerja jadi kernet angkot, gak neruskan sekolah.”

“Bayangkan saja, Sa, betapa kasihan Pak Guru jaman dulu. Sering pas lagi asyik nerangkan pelajaran, tetiba pandangannya terantuk pada paha mulus muridnya yang lagi terbuka. Ngelu ndhase, Sa. Pusing kepala. Pak guru juga manusia. Manusia biasa.”

“Kan malah seneng, Pak Bei.”

“Sa, sekolah itu bukan hanya tempat belajar ilmu, tapi juga tempat belajar adab dan kesopanan. Sudah sewajarnya pihak sekolah membuat aturan guna melatih anak didiknya lebih beradab dalam penampilan dan pergaulan.”

“Ya tapi pihak sekolah kan harus menghormati juga hak-hak muridnya, Pak Bei. Tidak boleh melarang dan memaksakan aturan. Inilah yang bikin orang tua suka protes.”

“Gampang itu, Sa. Kalau ada orang tua yang keberatan anaknya diatur dengan aturan-aturan di sekolah, suruh saja bikin sekolah sendiri atau diajari sendiri di rumah. Kan ada yang namanya home-schooling. Anaknya akan lebih bebas merdeka.”

“Wah susah, Pak Bei.”

“Sa, sekali lagi jaman sudah berubah. Jaman sekarang, anak gadis pakai rok pendek dan baju ketat itu sangat tidak sopan. Aurat itu harus ditutup, jangan dipamer-pamerkan, biar tidak hilang cahayanya. Bila sering diumbar, cahaya aurat akan pudar, jadi luntur keindahannya.”

“Rambut di kepala perempuan itu termasuk aurat apa bukan to, Pak Bei? Kok sampai ada sekolah mewajibkan siswinya pakai jilbab? Di sisi lain, banyak juga gadis-gadis muslimah yang tidak pakai jilbab, seperti anak Gubernur yang nikah kemarin itu, misalnya.”

“Sa, tolong dibedakan antara kasus sekolah yang berusaha mendidik murid-muridnya adab dan sopan-santun, dengan pilihan seseorang dalam penampilannya sehari-hari.”

“Maksudnya, Pak Bei?”

“Sa, ini kita ngobrol soal adab, lho, bukan soal hukum atau fikih. Soal sekolah tadi sudah jelas, kan? Itu soal aturan sekolah yang berusaha mendidik anak-muridnya agar bisa menjaga adab dan kesopanan. Namanya juga sekolah.”

“Iya, Pak Bei. Sudah wijang.”

“Soal penampilan keseharian, tentu kita akan melihatnya dari kacamata adab dan kesopanan juga. Ada perempuan yang pakai busana muslimah lengkap termasuk jilbab atau penutup kepala, tapi kurang beradab penampilan pergaulannya.”

“Ada juga, to?”

“Banyak, Sa. Bahannya tipis, modelnya ketat lagi. Itu bikin ngelu yang melihatnya.”

“Jadi tampak ting pecothot ya…”

“Banyak juga yang pakai baju longgar dan jilbab besar, syar’i katanya, tapi perilaku kesehariannya kurang baik dengan tetangga, dengan teman, dan dengan saudaranya, juga kurang santun pada anak-anak yatim dan fakir-miskin. Mereka tampak kaku dalam pergaulan, tidak ramah, karena lebih cenderung asyik memburu surganya sendiri.”

“Terus yang mbuldhus kepalanya tidak berjilbab bagaimana, Pak Bei?”

“Sa, penampilan seseorang itu biasanya berdasarkan keyakinan dan keimanannya. Ada yang meyakini rambut di kepala itu bukan termasuk aurat sehingga memakai jilbab tidak wajib. Sebagian lainnya meyakini bahwa memakai jilbab itu wajib bagi setiap perempuan. Tapi, Sa, inti hidup itu pada akhlaq. Akhlaq kita baik atau tidak dalam hubungan dengan Tuhan dan dalam hidup sehari-hari, dalam bermuamalah.”

“Terus, kalau Pak Bei sendiri cenderung yang mana? Yang pakai jilbab atau tidak?”

“Saya, Sa?”

“Iya.”

“Ya jelaslah, saya termasuk yang tidak mau pakai jilbab.”

“Ya iyalah. Kalau pakai jilbab, panggilanmu jadi Bu Bei, bukan Pak Bei….wkwkwk”

Sasa tampak sudah lega dan bisa tertawa. Pak Bei pun harus pulang ganti ngurus pekerjaan di rumah. Kedua sahabat glenak-glenik itu pun berpisah.

Penulis: Wahyudi Nasution

#serialpakbei
#jilbab

#Yogyakarta

 

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!