Oleh : Ace Somantri
BANDUNG, MENARA62.COM – Regenerasi sesuatu yang pasti dan alami, hal itu sifat mahluk hidup yang berada di alam semesta, baik itu manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Bagi manusia, regenerasi sudah semestinya bagian dari sunnatullah. Keharusan yang hakiki meregenerasi sebagai mahluk utama yang mulia dari pada mahluk lainnya yang berada di alam semesta. Apabila tidak terjadi regenerasi keturunan manusia berikutnya dapat dikatakan melawan fitrah sebagai mahluk mulia yang berakal, sangat mungkin apabila melawan secara disengaja tanpa alasan salah satu bentuk pengingkaran ajaran yang menjadi sunnatullah. Regenerasi keturunan sesuatu yang seharusnya, sehingga ajaran menikah diwajibkan. Secara tidak langsung perbuatan regenerasi suatu kewajiban, kecuali ada kehendak-Nya bagi pasangan manusia belum mendapatkan generasi keturunannya.
Dapat difahami, bahwa perbuatan dan tindakan melanggengkan keturunan menjadi beranak pinak, bukti nyata regenerasi dalam habitat manusia melalui cara menikah yang sesuai tuntunan ajaran agama, khususnya ajaran Islam. Titik tekannya bahwa regenerasi pada dasarnya suatu kewajiban fardiyah berlaku kepada siapapun melalui cara-cara yang sesuai syari’at. Dalam kontek sosiologi keluarga, siapapun mereka yang sudah dewasa secara ekonomi, mental dan spiritual wajib merencanakan secara matang meregenerasi keluarganya melalui pernikahan yang sah menurut hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di negara. Proses tersebut wajib diikuti sebagai standar mutu dan standar operasional prosedur yang mengikat dalam ikatan suci berharap generasinya sehat dan kuat.
Kaitannya dalam regenerasi kepemimpinan sangat pas dan tepat, karena hakikat regenerasi pimpinan dalam komunitas manusia sama wajibnya seperti halnya melanggengkan keturunan. Alasannya sederhana, manusia itu diciptakan menjadi pemimpin, dan kemudian generasi berikutnya menggantikan posisi orang tua, dan begitu juga seterusnya anak berikutnya bergantian secara simultan. Hal itu yang difahami bentuk sunnatullah yang hakiki, sehingga orang tua akan berusaha mempersiapkan generasi berikutnya lebih baik, jikalau dipersiapkan baik dan sungguh-sungguh maka akan muncul generasi lebih baik dari orang tuanya, begitu pun dalam komunitas manusia dalam meregenerasi harus dipersiapkan lebih jauh sebelum pada saatnya yang tepat untuk menjadi seorang pemimpin, minimal pemimpin diri dan keluarganya.
Bagaimana dalam konteks organisasi sosial kemasyarakatan, khususnya masyarakat Islam di Indonesia yang banyak berkumpul dalam persyarikatan, perhimpunan dan entitas lainnya yang sejenis. Hal tersebut di atas, maksud dan maknanya dapat dijadikan sandaran tepat dalam pengembangan pengelolaan entitas pada sebuah institusi nirlaba maupun entitas bisnis. Bahwa menjadi suatu kewajiban melakukan regenerasi kepemimpinan pada entitas sosial dalam rangka melangengkan eksistensi organisasi yang dinamis dalam kiprah nyata di masyarakat. Dalam tatanan sosial, harus dibedakan antara entitas-entitas yang bersifat pribadi maupun institusi komunitas sosial kemasyarakatan. Sehingga cara meregenerasi pimpinannya berbeda metode dan pendekatannya.
Khusus bagi persyarikatan Muhammadiyah, model dan pola regenerasinya sudah memiliki sistem yang relatif baku dan terstruktur. Hanya saja implementasinya banyak yang harus di perbaiki, sekalipun sudah di anggap baik dan bagus oleh warga persyarikatan bukan berarti tidak ada celah kekurangan, sangat mungkin ada yang harus diperbaiki dan memerlukan adaptasi perkembangan dan tuntutan warga persyarikatan Muhammadiyah, khususnya dalam kultur dan struktur tradisi regenerasi kepemimpinan pada masing-masing level tingkatan persyarikatan.
Di antara salah satu contoh yang dapat dijadikan catatan perbaikan, manakala calon pimpinan harus mengalami 1).Jenjang pengkaderan dan pengalaman terstruktur dari pimpinan persyarikatan terendah hingga level lebih tinggi berikutnya. 2). Waktu yang lama “aktif dan produktif” berkiprah di Pimpinan, Majlis dan Lembaga Muhammadiyah. 3). Membuat karya-karya monumental yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan spiritual. Contoh tersebut merupakan sedikit dari sekian banyak hal yang dapat dibuatkan dalam sistem kepemimpinan yang berharap melahirkan pimpinan persyarikatan yang hanya sekedar, apalagi hanya untuk memperkuat nilai tambah untuk karir jabatan dimana mereka bekerja, baik di lingkungan amal usaha persyarikatan atau di luar institusi Muhammadiyah. Hal itu fakta tersembunyi sangat mungkin terjadi, bahkan sangat mungkin pihak-pihak tertentu yang merasa melakukannya akan tetapi tidak menyadarinya telah berbuat hal tersebut.
Ada hal yang perlu disampaikan, bahwasanya dalam regenerasi pimpinan Muhammadiyah Pusat dan Wilayah ada yang terselip sering terlewati karena tersembunyi atau disembunyikan, yaitu promosi calon pimpinan potensial berasal dari kader-kader daerah tingkat cabang dan daerah. Mereka tidak kalah hebat, melainkan sangat mungkin lebih baik dan hebat dari pimpinan level atasnya. Saatnya kader-kader terbaik daerah untuk berkiprah nyata di persyarikatan di tingkat wilayah maupun pusat. Soal kompetensi sangat percaya, selain terbiasa berjibaku menangani kegiatan secara teknis langsung berhadapan head to head menjalankan program dan kegiatan kreatif, inovatif dan produktif. Sangat yakin, kader terbaik daerah dapat diberikan kesempatan lebar dan leluasa untuk diberi kesempatan menjadi pimpinan.
Kesempatan tersebut dalam beberapa periode kepemimpinan pusat dan wilayah Muhammadiyah ke belakang, rasanya sangat sulit terjadi dikarenakan ada egoisme personal dan institusional yang bersikap primordialisme. Kekakuan komunikasi dan koordinasi selama ini di lingkungan persyarikatan Muhammadiyah hampir terjadi di seluruh level pimpinan Muhammadiyah. Kader daerah yang potensial banyak terpendam bak mutiara dalam tumpukan dasar tanah dan bebatuan bumi alam semesta. Hal tersebut dibutuhkan suara bersama antar ketua dan wakil pimpinan daerah merekomendasikan dan memilih calon-calon pimpinan berkarakter adiluhung dan mandiri yang senantiasa menginspirasi. Wallahu’alam. (*)