32.1 C
Jakarta

Kajian Tarjih UMS Bahas Hukum Shalat Arbain, Safar, dan Rawatib bagi Musafir

Baca Juga:

SOLO,MENARA62.COM – Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) kembali menggelar Kajian Tarjih pada Selasa (11/2/2025), dengan membahas tiga topik utama: Shalat Arbain, Dasar Hukum Shalat Sunnah Safar, dan Dasar Hukum Shalat Rawatib bagi Musafir. Kajian ini menghadirkan Dr. Imron Rosyadi, M.Ag., sebagai narasumber utama.

Dalam pemaparannya, Imron menegaskan bahwa Majelis Tarjih Muhammadiyah berpegang pada prinsip bahwa dalam ibadah, segala sesuatu dianggap batal kecuali ada dalil yang memerintahkannya.

”Oleh karena itu, semua fatwa tarjih harus didasarkan pada dalil yang kuat,” kata Imron yang juga sebagai Kepala Lembaga Pengembangan Pondok Islam dan Kemuhammadiyahan (LPPIK) UMS.

Terkait Shalat Arbain, Imron menjelaskan bahwa ibadah ini sering dilakukan oleh jamaah haji berdasarkan hadis dari Anas bin Malik yang menyebutkan keutamaan shalat 40 waktu berturut-turut di Masjid Nabawi. Namun, Majelis Tarjih Muhammadiyah menilai hadis tersebut berstatus dha’if, sehingga shalat Arbain bukan merupakan ajaran yang harus dilakukan oleh warga Muhammadiyah.

Sebagai gantinya, Muhammadiyah berpegang pada hadis lain yang menyebutkan bahwa shalat di Masjid Nabawi memiliki keutamaan setara 1.000 kali shalat di tempat lain. Oleh karena itu, warga Muhammadiyah tetap dianjurkan shalat di Masjid Nabawi, namun dengan niat mengharap keutamaan shalat di masjid tersebut, bukan untuk menjalankan Shalat Arbain.

Dalam pembahasan Shalat Sunnah Safar, Imron merujuk pada Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah Jilid 1, yang mendefinisikan shalat ini sebagai shalat sunnah yang dilakukan saat hendak bepergian atau setelah kembali dari perjalanan.

Dua hadis utama yang menjadi dasar hukum shalat ini adalah Hadis Jabir bin Abdullah dan Hadis Ibnu Mas’ud. Hadis Jabir bin Abdullah, yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW selalu mengerjakan dua rakaat shalat saat kembali dari perjalanan (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis Ibnu Mas’ud, yang meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan seseorang yang hendak bepergian untuk mengerjakan shalat dua rakaat (HR. Thabrani).

“Majelis Tarjih memahami bahwa meskipun hadis ini menggunakan fi’il amr (kata kerja perintah), hukum shalat ini tetap sunnah, bukan wajib,” tegas Imron.

Imron juga membahas hukum shalat sunnah rawatib bagi musafir, yaitu shalat sunnah yang dilakukan sebelum atau sesudah shalat fardu. Berdasarkan fatwa Tarjih yang dimuat dalam Majalah Suara Muhammadiyah No. 2 Tahun 2014, shalat musafir tidak dibatasi oleh jarak atau waktu tertentu.

Hadis dari Ibnu Umar menyebutkan bahwa Rasulullah SAW tidak menambah shalat lebih dari dua rakaat saat dalam perjalanan (HR. Bukhari dan Muslim). Namun, riwayat lain dari Nafi’ menyebutkan bahwa Ibnu Umar tetap mengerjakan shalat sunnah fajar (qabliyah ssubuh) dan witir saat safar (HR. Bukhari).

Berdasarkan hadis-hadis tersebut, mayoritas ulama berpendapat bahwa shalat sunnah rawatib boleh ditinggalkan saat safar, kecuali qabliyah Subuh yang tetap dianjurkan. Namun, jika ada kelapangan, musafir tetap diperbolehkan mengerjakan shalat sunnah rawatib. (*)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!