Kebersamaan dalam Deradikalisasi
Oleh Ardian Wiwaha
Pembahasan mengenai makna deradikalisasi dewasa ini masih cukup kontroversial. Hal ini disebabkan oleh timbulnya pemikiran dan asumsi non ilmiah dari beberapa kelompok yang menganggap bahwa deradikalisasi hanyalah proyek kepentingan barat.
Perlu diketahui bahwa deradikalisasi merupakan produk yang lahir dari pemahaman dan bentuk pemaknaan pemikiran-pemikiran yang radix atau mengakar. Memahami makna radikalisasi secara utuh merupakan sebuah proses yang tidak spontan dan membutuhkan banyak tahapan. Oleh karenanya, untuk mengubah pemikiran yang radikal dalam pemahaman deradikalisasi, diperlukan keterlibatan dari banyak pihak untuk membuat proses deradikalisasi berjalan sesuai ekspektasi.
Deradikalisasi berasal dari kata radikal atau radix (dalam bahwa Yunani) yang mendapat imbuhan “de” dan akhiran “sasi”. Kata deradikalisasi diambil dari istilah bahasa Inggris “deradicalization” dan kata dasaranya radical. Radikal pada dasarnya berasal dari kata “radix” dalam bahasa Latin artinya “akar”. Maka yang dimaksud “deradikalisasi” adalah sebuah langkah untuk merubah sikap dan cara pandang yang dianggap keras menjadi lunak, toleran, pluralis, moderat, dan liberal.
Di dalam Journal of the Terrorism Research Initiative, deradicalization or disengangement menjelaskan perbedaan penggunaan istilah deradikalisasi (bahasa Indonesia) atau kata deradicalization yang telah digunakan oleh Counter-Terorisme Implementation Task Force (CTITF). Menurut salah satu tokoh terorisme Horgan, deradicalize dimaksudkan sebagai suatu perpaduan dari dua istilah yang memiliki pengertian untuk membuat para teroris meninggalkan atau melepaskan aksi terorisme berbentuk kekerasan.
Menurut tokoh Cilluffo dan Saathof, menjelaskan bahwa proses radikalisasi berjalan melalui dua tahapan, yakni radikalisasi individu dan radikalisasi kelompok.
Radikalisasi individu merupakan hasil dari proses radikalisasi yang berjalan dengan sendirinya (self radicalization). Biasanya dalam proses ini, objek yang menjalani proses radikal cenderung dikenal sebagai serigala tunggal (lone wolf) yang tidak harus terhubung langsung dengan jaringan teror, namun memiliki potensi dan kerentanan untuk direkrut dalam sebuah jaringan teror.
Sedangkan tahapan kedua yakni radikalisasi kelompok, merupakan proses dimana suatu kelompok yang telah memiliki pemikiran radikal terus berusaha mencari target individu yang dapat dimanfaatkan hingga direkrut agar bisa menjadi anggota di kelompok tersebut.
Pencegahan Terorisme dengan “Radikalisasi”
Dalam bingkai pencegahan terorisme, terdapat dua strategi yang digunakan yakni kontra radikalisasi dan deradikalisasi. Program kontra radikalisasi diarahkan pada masyarakat secara umum dalam rangka membentengi dan menguatkan daya tangkal masyarakat dari pengaruh paham radikalisme. Adapun kegiatan yang dilakukan dalam hal ini seperti pelatihan, seminar, workshop, hingga kegiatan lain yang dapat menimbulkan semangat dan rasa “awas” dari masyarakat terhadap segala tindakan yang terkontaminasi dengan unsur radikalisme dan terorisme.
Sementara itu, program deradikalisasi ditujukan kepada pemutusan terhadap proses radikalisasi sebuah objek mulai dari proses pra, identifikasi, indoktrinisasi, hingga jihadisasi sekalipun. Karena itulah muncul ide dan gagasan untuk bekerja sama dengan kelompok lain guna menggerus eksistensi paham radikal yang berpotensi membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mengutip salah satu pernyataan tokoh pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Kertopati bahwa penangangan terhadap aktifitas dan kegiatan radikal-terorisme tidak hanya dilakukan oleh satu atau dua subjek saja. Namun peranan TNI, Polri, BIN, serta ke-17 Lembaga Kementerian/Non-Kementerian lainnya memang dibutuhkan untuk membuat konsep dan penanganan tindak radikalisme-terorisme yang bersifat holistik dan integratif. Sehingga penanganan perihal radikalisme-terorisme tidak hanya “mentok” pada bagian surface atau permukaan saja, namun arah pemikiran radikal dan ekstrimis memang juga harus dibasmi dengan pendekatan yang radikal dan mengakar kepada masyarakat.
Wajar apabila Indonesia dapat dikatakan dalam kondisi darurat terorisme saat ini. Karena tanpa adanya peranan dari seluruh aspek dan golongan di internal masyarakat, mimpi untuk membasmi kegiatan teror di bumi Pancasila hanya akan menjadi sebuah konsep dan pemikiran yang bersifat utopis semata. Oleh karena itu, mulailah mengubah stigma negatif tentang pemahaman deradikalsasi dan berpartisipasi untuk menegakkannya demi kemajuan Indonesia tanpa kebencian. *** (Penulis adalah mahasiswa FISIP Universitas Indonesia)