YOGYAKARTA, MENARA62.COM – Isu pembenturan agama dengan negara, dan pengamalan Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia menjadi persoalan dan tantangan yang mengancam persatuan bangsa Indonesia. Dalam perdebatan publik dan isu sosial politik di Indonesia, seringkali dibenturkan dengan isu ideologi dan agama, serta tidak jarang merembet ke suku dan ras. Tidak heran jika kontestasi politik di Indonesia selalu menghadirkan polarisasi yang ekstrim di tengah masyarakat.
Isu-isu lain yang membenturkan agama dan negara adalah radikalisme dan ekstrimisme yang terus berkembang di tengah masyarakat. Padahal dalam konteks Indonesia, agama seharusnya tidak menjadi kambing hitam atas pembenturan isu itu sendiri, namun hubungan antara agama dan negara seharusnya dapat bersifat simbiotik.
Berkenaan dengan masalah tersebut, agama harus dihadirkan dengan narasi yang tepat agar mampu saling mengisi hingga menjadi fungsi sinergis yang harmonis. Sebab sejatinya tanpa menjadikan agama sebagai landasan hukum formal, agama telah menjadi falsafah landasan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Merespon hal tersebut, Pusat Studi Muhammadiyah (PSM) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia menyelenggarakan Diskusi Kebangsaan dengan tajuk “Moderasi Indonesia: Islam Tengah dan Tantangan Persatuan Bangsa”. Diskusi Kebangsaan ini dilaksanakan secara hybrid (daring dan luring) pada Kamis (10/2/2022) bertempat di Amphiteater Gedung Pascasarjana UMY dan disiarkan secara daring melalui saluran Youtube Pusat Studi Muhammadiyah.
Diskusi Kebangsaan ini dibuka langsung oleh Bachtiar Dwi Kurniawan, S.Fil.I., MPA, selaku ketua PSM UMY. Dalam sambutannya, Bachtiar mengutarakan pentingnya keseimbangan ummat dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Kita sebagai umat dalam mengarungi kehidupan yang beragam ini, harapannya kita tidak berlebihan; baik ektrem kanan maupun ekstrem kiri,” terang Bachtiar.
Ia kemudian menambahkan bahwa saat ini dalam mempelajari agama, kita disuguhkan menu kajian yang sangat banyak dan mudah diakses. Sehingga, jangan sampai kita terjebak dalam hal tersebut dan menjadi penghancur persatuan bangsa dan negara ini.
Acara ini menghadirkan beberapa pembicara diantaranya Hendra Darmawan, M.A selaku Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Muh. Alfian Jafar, S.H.I., M.Hum selaku Pakar Hukum Nasional, dan Diyah Puspitarini, S.Pd., M.Pd selaku Ketua Umum Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah.
Selain pembicara, diskusi ini juga menghadirkan pembicara penanggap di antaranya Ir. Ibnu Mahmud Bilalludin yang merupakan anggota DPR RI dan Arif Noor Hartanto, S.IP yang merupakan ketua Dewan Perwakilan Daerah Partai Amanat Nasional (DPD PAN) Kota Yogyakarta.
Jalan Panjang Moderasi
Dalam kesempatann tersebut, Diyah Puspitarini, S.Pd., M.Pd mengutarakan bahwa saat ini dalam menjalankan moderasi keagamaan dikehidupan berbangsa dan bernegara masih memiliki banyak tantangan. Tantangan tersebut diantaranya adalah kasus intoleransi yang masih menyentuh angka 50% (Sumber: Maarif Institute, Wahid Institute dan Setara Institute). Juga terkait dengan radikalisme yang masih menjadi isu sentral di negara ini.
“Moderasi masih menjadi jalan panjang Islam berkemajuan Muhammadiyah, pekerjaan yang tidak mudah dan terkadang melelahkan,” ucap Dyah.
Ia kemudian menambahkan bahwa menyikapi hal tersebut diperlukan kontribusi dan kolaborasi dengan berbagai pihak dalam memasifkan gerakan moderasi.
Hal senada diungkapkan oleh Ir. Ibnu Mahmud Bilalludin selaku pembicara penanggap. Ia mengungkapkan bahwa tiap generasi punya tugas sejarah yang berbeda-beda di dalam ruang dan waktu masing-masing. “Kita semua punya tantangan untuk memperjuangkan moderasi beragama atau Islam Tengah ini sendiri agar menjadi gerakan kita bersama,” terang Ibnu.
Muhammadiyah dan Moderasi
Muhammadiyah turut mengambil peran dalam menarasikan moderasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik dari awal berdiri hingga saat ini. Dalam kiprahnya, moderasi Muhammadiyah diimplementasikan dalam beberapa ranah seperti sosial politik, pendidikan, kesehatan, kemanusiaan dan lain sebagainya.
Hendra Darmawan, M.A. juga mengungkapkan bahwa Muhammadiyah konsisten untuk bersikap terbuka terhadap perubahan dan memandang perbedanaan sebagai sunnatullah. “Muhammadiyah memandang berbagai perbedaan dan keragaman adalah sunnatullah, rahmat dan khazanah intelektual yang dapat memperluas wawasan dan mendorong kemajuan,” terang Hendra.
Dalam menjalankan konsep moderasi, Muh. Alfian Jafar, S.H.I., M.Hum memaparkan tiga syarat utama diantaranya: 1) Pengetahuan yang Cukup, 2) Jangan terbawa emosi dalam menjalankan agama, dan 3) bersikap selalu hati-hati. “Selain 3 syarat tersebut, kewajiban kita sebagai persyarikatan (Muhammadiyah) lalu apa? Yaitu adanya pengamalan Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dan Pancasila itu sendiri,” tambah Alfian.
Sementara itu, Arif Noor Hartanto, S.IP yang juga sebagai pembicara penanggap menerangkan bahwa diskursus terkait Islam Tengah atau Moderasi Islam harus terus dihadirkan. Hadirnya diskusi-diskusi yang mengangkat tema Moderasi Islam menandakan adanya problematika terkait dengan persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam cara pandang Islam.
Ia juga mengutarakan bahwa dalam membincang moderasi islam, tidak lagi kita sibuk dalam perdebatan yang membenturkan Islam dan Negara. Namun, bagaimana moderasi islam ini dapat menjadi solusi permasalahan tersebut.
“Islam tengah dalam sistem kenegaraan harus memiliki kekuatan gaya sentripental, sehingga mampu menarik dan memusatkan kekuatan di sekitarnya. Juga harus memiliki karakter yang dapat membawa manfaat, menghadirkan kedamaian, mendorong kemajuan, dan memberikan pengayoman,” tambah Arif.
Melalui diskusi ini, harapannya dapat terbangun diskursus Islam Tengah dalam Moderasi Keindonesiaan. Selain itu, juga dapat memberikan konsep terukur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta menjawab tantangan persatuan bangsa.