26.7 C
Jakarta

Ketika Presiden Jokowi “Tersandera” Oleh Ahok

Baca Juga:

Oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy

Dalam berbagai media massa kemarin, diberitakan bahwa Mahkamah Agung (MA) menolak atau tidak mau mengeluarkan fatwa terkait dengan pengangkatan kembali Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Penolakan MA ini meskipun terkesan “banci”, namun masih lebih baik. Disebut “banci”, karena sebenarnya MA sudah mempunyai konsideran berupa Surat Edaran MA Nomor 11 Tahun 1964 (saat era Presiden Soekarno, sementara partai penguasa sekarang katanya yang paling paham Soekarno) terkait penghinaan terhadap agama, yang intinya bahwa agama merupakan unsur penting dalam pembangunan ruhaniyah, maka MA menginstruksikan barang siapa yang melakukan penghinaan terhadap agama harus dihukum dengan berat. Mestinya kalau cerdas dan menjunjung tinggi asas equality before the law, MA mengeluarkan fatwa dengan menghukum Ahok seberat-beratnya.

Kalaulah MA menghukum Ahok dengan berat sangat itu tepat sekali. Selain konsideran Surat Edaran MA, juga tiga lembaga “pemegang” mandat keislaman di Indonesia (disebut sesuai urut abjad): Muhammadiyah, MUI, dan NU tegas menyebut bahwa Ahok telah melakukan penistaan Islam dan al-Qur’an. KH Makruf Amin dan juga saksi ahli lainnya yang kebetulan juga menjadi pengurus MUI Pusat, dalam persidangan Ahok, tegas menyatakan bahwa Ahok telah menista Islam dan al-Qur’an. Begitu juga Wakil Rais Aam Syuriah PBNU KH Miftachul Akhyar dan Wakil Ketua PP Muhammadiyah sekaligus Wakil Ketua Umum MUI Pusat Prof Dr Yunahar Ilyas dalam persidangan Ahok kemarin, tegas menyatakan Ahok telah menista Islam dan al-Qur’an. Namun rupanya MA memilih “cuti tangan” dan sepertinya ada unsur “ketakutan” untuk bersentuhan dengan kasus Ahok.

Ketika MA tak sudi lagi untuk mengeluarkan fatwa, maka keputusan pemberhentian Ahok tentu berpulang kembali ke Mendagri Tjahyo Kumolo. Dan Mendagri seperti yang diberitakan kemarin, telah menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada Presiden Jokowi. Sikap Mendagri ini tentu sebatas menjalankan amanat aturan perundang-undangan yang memang mengamanatkan demikian. Dalam UU Nomor Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 83 Ayat 1 sampai 3 disebutkan bahwa: (1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (2) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan. (3) Pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.

Berangkat dari ketentuan Undang-Undang Pemerintahan Daerah di atas, maka tegas bahwa terkait dengan kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok, keputusan sepenuhnya untuk memberhentikan sementara, sepenuhnya di tangan Presiden Jokowi. Kalau Presiden Jokowi tidak mau memberhentikan sementara Ahok, maka berarti Presiden Jokowi telah melanggar undang-undang. Dan kalau merujuk pada UUD NRI Tahun 1945 Pasal 7A yang berbunyi bahwa “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden,” maka tidak bersedianya Presiden Jokowi untuk memberhentikan sementara Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta bisa berpotensi menjadi pintu masuk untuk melakukan pemakzulan terhadap Presiden Jokowi.

Pada posisi inilah, di mana Presiden Jokowi terlihat gamang dalam menyikapi kasus yang membelit Ahok, saya berpandangan bahwa Presiden Jokowi sebenarnya telah “tersandera” oleh Ahok. Tentu tidak perlu ditafsir terlalu jauh soal mengapa dan bagaimana Presiden Jokowi bisa “tersandera” oleh Ahok, karena tafsir di seputar masalah ini sudah berseliweran di mana-mana, di media sosial atau dalam obrolan-obrolan yang bersifat terbatas.

Padahal kalau kegamangan Presiden Jokowi dalam menyikapi kasus Ahok mungkin erat kaitanya dengan persoalan masa lalu ketika menjabat Gubernur DKI Jakarta atau terkait dengan “kehebohan” di seputar Pilpres 2014, justru kasus Ahok ini bisa menjadi “jalan yang lurus” (shirathal mustaqim) bagi Presiden Jokowi untuk memberhentikan Ahok dengan cara “berlindung” di balik Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Artinya kalaulah Ahok diberhentikan oleh Jokowi, bukan karena persoalan atau perseteruan politik antara Presiden Jokowi atau lebih jauh lagi misalnya antara PDI-P dengan Ahok, tapi semata karena posisinya sebagai Presiden yang harus menjunjung tinggi dan menjalankan amanat undang-undang.

Sekarang semua kembali berpulang kepada Presiden Jokowi, apakah mau memberhentikan sementara Ahok sebagaimana menjadi amanat Undang-Undang Pemerintahan Daerah, atau tetap mau “tersandera” oleh Ahok dengan cara melanggar Undang-Undang Pemerintahan Daerah, yang tentu berpotensi pada terjadinya pemakzulan. Wallahu A’lam. (Ma’mun Murod Al-Barbasy, Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!