32.5 C
Jakarta

KH. Ayat Dimyati, Guru dan Orangtua Muhammadiyah-ku (1)

Baca Juga:

 

Oleh : Ace Somantri

BANDUNG, MENARA62.COM – Teringat kala itu baru masuk kuliah, ada mata kuliah hadits namun saat itu dalam tatap muka perkuliahan kurang menarik dan dilanjut dengan dosen yang berbeda pun kurang menarik juga. Bukan dosennya kurang baik, apalagi tidak mumpuni sangat tidak mungkin. Apalagi dua orang tersebut terkenal ustadz atau kiyai cukup terkenal pada dua ormas Islam terbesar di Bandung. Kedunguanku kala itu telah menjadi awal mengenal seorang dosen yang kurang disenangi, justru menjadi orang tuaku. Sekalipun nilaiku pada akhirnya tidak memuaskan, namun realita berkata lain. Sejak diajak diskusi oleh kakak kelasku pada suatu organisasi kemahasiswaan extra kampus, dan ternyata dari beberapa narasumber pengantar diskusi ada dosen yang pernah mengajar ketika semester awal masuk. Beda ketika dalam perkuliahan dengan suasana diskusi walaupun hanya beberapa orang mahasiswa, kala itu kalau tidak salah hanya berempat di sebuah sekretariat gang Kujang cipadung.

Tema materi diskusi bagiku tidak menarik, namun ketika larut dalam diskusi ternyata narasumber cara berpikir keagamaannya nyentrik dan di luar keumuman yang didengar, boleh dibilang liberal. Di situlah pertama kepincut cara berpikir rasional dan logis tentang pemikiran keislaman oleh sosok dosen yang awalnya tidak disukai menjadi menggemari, bahkan saat itu menjadi titik awal sebagai aktifis ortom persyarikatan di kampus non perguruan tinggi Muhammadiyah. Tidak peduli jumlah peserta diskusi hanya beberapa orang, paling banyak 4 sampai lima orang saja tidak lebih setiap mengikuti kajian. Akhirnya tidak terasa jiwaku larut dalam pelukan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah hingga didaulat menjadi ketua umum komisariat IAIN SGD Bandung dalam kondisi boleh dikatakan hampir lost generation, karena kala itu yang bermusyawah kurang lebih hanya 15 orang mewakili berbagai fakultas.

Tradisi diskusi dalam kajian diteruskan, bahkan harinya ditambah. Tema-tema diskusi sangat variatif, so pasti dosen yang paling rajin mengisi Kiyai Haji Ayat Dimyati. Beliau seingat dalam memoriku tidak pernah menolak permintaan untuk mengisi kajian, bahkan boleh di kata tidak pernah telat jadwal yang ditentukan. Justru mahasiswa yang pada telat, selain menjadi narasumber tetap dan memberi materi dengan kajian menarik beliau pun menjadi donatur tetap. Dalam wajahnya selama kukenal, nyaris selalu terlihat tersenyum bahagia sekalipun pulang pergi dari rumah ke kampus bergelantungan dalam bis Damri. Siapapun aktifis mahasiswa Muhammadiyah di kampus mustahil tidak mengenal beliau, nalar intelektualnya selalu menginspirasi, ketawaduan menjadi bumbu perilaku, kesederhanaanya menteladani serta semangat juang kemuhammadiyahan sekaligus keislamannya mengikat emosi para aktifis Islam.

Pujian dari sejawat dosen sering terlontar baik dari para profesor termasuk dan tenaga kependidikan. Itu semua diketahui bukan hanya informasi, melainkan menyaksikan dengan mata sendiri karena kala itu sebagai mahasiswanya dan setelah lulus dilanjut menjadi asisten beliau. Kebaikan ahlak beliau menjadi perangainya, hampir tidak ada civitas akademik fakultas syariah menilai kurang baik, apalagi buruk. Justru sebagian besar sependek yang diketahui banyak dosen sejawat kadang merasa malu karena belum bisa meniru ahlak sebaik beliau. Dari perangai ahlak beliau, selain orangtuaku dia menjadi salah satu panutan hidupku, hingga terus memupuk jiwaku bangga menjadi kader persyarikatan. Nyaris sulit menemukan sosok seperti beliau, ungkapan ini ternyata banyak orang yang mengakui kekaguman nalar intelektual dan perangai ahlak yang baik pada dirinya. Juga tidak sedikit banyak mahasiswa di bantu penyelesaian akademik baik dari sisi pembiayaan maupun masalah lainnya.

Tidak berhenti menjadi mahasiswa dan asisten mengajar di kelas, selama itu juga beliau sudah dianggap sebagai orangtua angkat. Maka ketika melepas lajang, meminta beliau mendampingi dan mewakili orangtuaku meminang seseorang tambatan hati. Perasaanku sejak mengenal dekat, ketulusan hati beliau bukan hanya mengajarkan melainkan mendidik sebuah pengalaman hidup, nyaris tidak pernah melihat wajah dan muka kecewa selama kenal kecuali ketika beliau melihat karirku sebagai dosen dikampus yang pernah mengajar lebih 5 tahun lamanya di perlakukan tidak adil, sejak itu juga dia merekomendasikan untuk tidak lanjut mengajar di kampus tersebut. Karena beliau sangat kecewa melihat anak didiknya sekaligus kadernya diperlakukan tidak adil. Kejadian itu menjadi peristiwa pertama melihat wajah marah dan kecewa. Wallahualam

Bandung, September 2022

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!