Judul : No Justice, No Peace!
Penulis : Rochmad Widodo dan Dede Sulaeman
Penerbit : Penerbit Biografi Indonesia
Cetakan : I, 2017
Tebal : xvi+242 halaman
ISBN : 978-602-5556-01-2
Pemikir politik yang spiritualis, Thomas Aquinas (1226-1274) mengatakan, penguasa negara harus menjadi pembela dan penjaga keadilan. Keadilan memiliki makna hakiki bagi keabsahan kekuasaan penguasa, karena tujuan Tuhan menganugerahkan kekuasaan adalah agar ia mewujudkan keadilan di dunia ini. Dengan adanya keadilan akan tercipta perdamaian.
Oleh karena itu, hukum perlu dijadikan sebagai panglima, dan lebih hebat lagi, sebagai raja, karena raja yang mampu mengendalikan panglima, sehebat apa pun panglima itu. Meski kalimat ini seringkali hanya menjadi ungkapan langit yang sukar dibumikan, tapi hukum harus jelas supaya kekuasaan tidak sewenang-wenang, dan hukum juga harus bisa menciptakan dan menjaga kemerdekaan individu.
Jika hukum sudah mampu menciptakan dan menjaga kemerdekaan individu-individu dalam sebuah negara, maka keadilan akan tercipta dan dapat dirasakan oleh rakyat. Thomas Aquinas memberi penekanan lebih pada penguasa sebagai penjaga keadilan. Menurut Aquinas, penguasa negara harus menjadi pembela dan penjaga keadilan. Karena keadilan memiliki makna hakiki bagi keabsahan kekuasaan penguasa, sebab tujuan Tuhan menganugerahkan kekuasaan adalah agar ia mewujudkan keadilan di dunia ini.
Aquinas menjelaskan, untuk menjadi pembela keadilan itu, penguasa diberikan hak menetapkan hukum. Penguasa menjadi legislator yang mengatur komunitas politik. Dan, hukum yang dirumuskan penguasa tentu saja harus berdasarkan prinsip-prinsip hukum kondrat dan tidak boleh bertentangan dengan hukum abadi Tuhan yang telah mengatur alam semesta ini (hal 12).
Di sinilah urgensinya penguasa yang memegang kekuasaan. Benny K Harman, seorang yang duduk di lembaga legislatif, secara khusus Komisi III yang membidangi persoalan-persoalan hukum di negeri ini, memandang penguasa akan menjadi pembawa berkat dan kesejahteraan bagi masyarakatnya, sebagaimana gagasan Aquinas.
Salah satu yang menjadi sorotannya adalah soal kemiskinan. Jika membedah data BPS, salah satu daerah yang tergolong miskin adalah Nusa Tenggara Timur (NTT). Faktor inilah yang membuat banyak tenaga kerja NTT pergi keluar negeri sebagai TKI/TKW.
Menurutnya, kemiskinan yang mendera banyak orang di NTT – dengan angka lebih 22 persen penduduk – perlu disikapi secara positif dan optimisme. Sikap yang perlu ditunjukkan adalah NTT harus bangkit dari kemiskinan dengan langkah-langkah memperluas lapangan kerja supaya lebih banyak orang lagi yang memperoleh pekerjaan. Ia berpendapat, kemiskinan harus dilawan dengan berusaha bekerja keras dan cerdas secara bersama-sama.
Oleh karena itu, kata dia sudah saatnya NTT merancang langkah-langkah yang lebih terukur agar bisa bangkit dan keluar dari telikung kemiskinan. Secara detail Benny menawarkan solusi-solusi konkret yang dapat dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan di NTT.
Di antara yang menjadi sorotannya: tenaga kerja; sumber daya alam; intensifikasi pertanian dan peternakan; integrasi produksi dan industri pertanian; infrastruktur; reformasi birokrasi; iklim investasi; dan solidaritas masyarakat.
Inilah gagasan Benny K Harman – yang tertuang dalam buku biografi “No Justice, No Peace” – yang patut dibaca dan diinterpretasi untuk mewujudkan rasa keadilan di masyarakat, terutama yang masih tertinggal semisal NTT. Buku setebal 258 halaman ini membedah gagasan Benny K Harman, seorang aktivis kemanusiaan yang duduk sebagai anggota DPR RI.
Buku bertema hukum dan keadilan ini menawarkan sepaket figur dan gagasan pemikiran seorang putra daerah NTT kepada publik. Alih-alih sebagai buku hukum yang tekstual, buku ini sengaja dibuat berbeda. Tidak hanya sekadar berupa gagasan, namun juga ada sosok lakon yang dapat dijadikan sebagai teladan dan inspirasi. (Diresensi Dede Sulaeman, alumnus Magister Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana, Jakarta).