Ashari,S.IP*
Masyarakat yang literated ditandai dengan kebiasaan gemar membaca, menjadi harapan masyarakat yang mempunyai masa depan lebih baik dalam sumbangsih terhadap bangsa. Agar perangkatnya memadahi maka perlulah dibangun Perpustakaan Kampung. Dari mana memulai ?
Literasi media adalah kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pencitraan media. Kemampuan untuk melakukan hal ini ditujukan agar pemirsa sebagai konsumen media (termasuk anak-anak) menjadi sadar (melek) tentang cara media dikonstruksi (dibuat) dan diakses. Akan berkembang pengertian Literasi Digital, Literasi Informasi dan Literasi Sains.
Lepas dhuhur, tanpa program saya bertemu dengan teman lama. Saya mengenalnya lewat buku-bukunya. Novel, Kumpulan Puisi dan beberapa buku Tips Praktis lainnya. Setelah ngobrol, akhirnya dia menawarkan kepada saya untuk membuat perpustakaan kampung. Katanya dia punya banyak teman penerbit. Sehingga buku akan lebih mudah. “Ayolah cari tempat, aku yang cari bukunya,” ajaknya.
Gayung bersambut. Sebenarnya dalam hati saya pun sudah lama ingin membangun perpustakaan kampung yang cukup representatif. Meskipun agak pesimis di tengah gerusan digital yang mewabah. Dengan modal buku sendiri, keluarga dan kolega, saya ingin wujudkan impian itu. Bukankah pepatah mengatakan : Di mana ada kemauan pasti dibalik itu ada jalan. Kendatipun belum dapat dukungan yang maksimal. Maka pertemuan dengan teman lama tersebut menyulut ‘gairah’ untuk dapat mewujudkan perpustakaan kampung.
Membaca Membuka Jendela Dunia
Teori lama : Membaca membuka jendela dunia. Masih ampuh. Mantra ini akan terus saya gelorakan kepada diri dan anak-anak muda kampung untuk mewujudkan keinginan ini. Bahkan lebih tegas lagi saya katakan, hanya dengan membaca masa depan dapat berubah lebih baik. Saya katakan orang akan berbuat sesuai dengan yang dipahami, dan tingkat pemahaman seseorang tergantung sejauh mana ia atau kita membaca. Rupanya mantra ini mulai membius sebagian remaja kami. Perlahan- lahan keinginan itu akan terwujud. Embrio Perpustakaan Kampung.
Membaca mempunyai peran strategis dan signifikan dalam mengangkat derajat masyarakat. Sudah banyak dibahas perihal manfaat membaca ini. Dari yang menambah wawasan sampai mengurangi budaya oral.
Tulisan ini mencoba lebih menukik pada upaya bagaimana membangun entitas perpustakaan di tingkat dusun. Tatarannya diatas keluarga. Alasannya. Biasanya kalau keluarga masing-masing sudah mempunyai perpustakaan pribadi. Meski kuantitas dan kualitasnya berbeda. Itupun biasanya lebih untuk konsumsi keluarga itu sendiri.
Maka, tidak berlebihan dipikirkan bagaimana membangun perpustakaan ditingkat padusunan. Yang kalau dirata-rata setiap dusun mempunyai KK (kepala keluarga) 200 an. Jumlah anggota masyarakat berkisar 500 – 600 orang. Angka ini sebenarnya sebuah kekuatan untuk mem-back up buku-buku yang musti disediakan. Generasi kita sebaiknya dibangun dengan budaya membaca sejak dini. Bagaimana mungkin mereka-anak-anak kita akan senang membaca kalau sarana dasarnya saja tidak ada.
Ide awal ini bisa dilontarkan ketika pertemuan ditingkat RT/RW yang biasanya diadakan setiap selapan sekali. Pro dan kontra pasti ada. Kendala disebelum dimulai juga ada, biasanya juga dari dalam sendiri. Tidak apa. Namun kalau kemudian masyarakat merasakan manfaatnya, maka lambat laun ide ini akan penuh dukungan. Bahkan bukan tidak mungkin dari luar, termasuk ditingkat desa akan mensupport – bisa berupa dana, buku atau paling tidak saran-saran strategis yang bisa dimanfaatkan oleh pengelola untuk mengembangkan perpustakaan dusun. Sukur-sukur Pak Lurah menyediakan tanah kas desanya barang berapa meter untuk membuat bangunan permanen. Kalaupun toh belum mungkin, bisa memanfaatkan rumah warga yang jembar (lega)
Dari mana memulai
Biasanya memulai sesuatu lebih sulit ketimbang melanjutkan. Namun kita masih ingat, langkah seribu pastilah dimulai dari langkah yang pertama. Maka beberapa langkah kecil yang bisa dilakukan oleh pengelola ditingkat dusun, syukur-syukur pengelolanya adalah pemuda-pemudi yang masih mempunyai idealisme/semangat dan waktu relatif longgar dibandingkan orang tua.
Pertama – Para pengelola mulai mengumpulkan buku-buku miliknya yang ada di rumah, dijadikan satu.Dikasih nomor. Dan diklasifikasi, dibedakan mana buku agama, ekonomi, sosial budaya, politik sampai buku anak-anak yang mudah dicari. Awalnya tentu tidak lengkap. Artinya perpustakaan belum bisa melayani maksimal anggota masyarakat. Namun lambat laun, saya yakin jika serius akan bertambah koleksinya bukunya.
Kedua – Sinergi. Perlu menggandeng semua unsur yang ada dalam dusun itu untuk pelan-pelan membantu program yang mencerahkan ini. Pernah menyanksikan Film Laskar Pelangi? Kita dibuat menangis. Kagum dengan kegigihan anak-anak dusun yang belajar dengan kondisi seadanya-namun ternyata mampu berprestasi dan dapat mengalahkan mereka yang mempunyai fasilitas lebih.Pengelola sebaiknya mempunyai konsep yang jelas, meski sederhana, mau dibawa kemana perpustakaan dusun tersebut, paling tidak untuk rentang 3-5 tahun ke depan. Koleksi buku bisa diperoleh tidak hanya dari mereka yang masih muda-muda, bahkan tidak jarang bapak-ibu kita yang sudah sepuh yang dulunya aktif di kantor atau menjadi guru, mereka biasanya masih mempunyai koleksi buku. Meskipun sudah usang. Lusuh.Gak apa-apa. Yang penting dapat menambah koleksi perpustakaan tersebut.
Ketiga – Perlu petugas yang konsisten. Posisi petugas yang ajeg ini penting bagi berlangsungnya kegiatan tersebut. Sebab kalau hari ini buka, besok lusa tutup, besoknya lagi buka. Konsumen (masyarakat) bingung. Dan akhirnya akan menurunkan kepercayaan. Yang tadinya orang akan dengan senang hati menyumbangkan bukunya atau bahkan dana, menjadi enggan karena ketidak konsistenan pengelola dalam hal ini petugas. Petugas bisa sukarelawan (volunters) atau mereka sengaja diberi honor. Mereka dapat diambilkan dari keluarga tidak mampu, pemuda/pemudi putus sekolah. Bahkan mereka yang masih aktif belajar pun tidak masalah. Yang penting, sekali lagi konsisten. Kalau memang harus tutup, tidak masalah, tetapi ada keterangannya. Misalnya Perpustakaan dusun, tutup setiap hari Minggu atau Jumat.
Keempat- Dibuatlah aturan main meminjam. Ini penting. Mekanisme dan tatacara sederhana musti harus ada. Meski hanya perpustakaan ditingkat dusun, namun jika dikelola dengan baik, akan memberikan konstribusi positip bagi masyarakat pengguna.
Kelima – Membuat tempat yang representatif. Bertahap memang. Awalnya kita bisa sistem sewa. Syukur ada yang mewakafkan sebagian rumahnya untuk perpustakaan ini. Tidak ada salahnya pengelola mengadakan sharing dengan pejabat setempat untuk mendapatkan tempat ini. Siapa tahu dengan komunikasi dua arah ini akan didapat solusi alternatif tempat yang lebih mapan sokur-sokur strategis dan gratis. Realitas baru dalam dunia pendidikan kini makin sulit. Artinya jika anak/siswa tidak sungguh-sungguh belajar, maka akhirnya siswa hanya akan menjadi pelengkap saja.Bukan lagi sebagai subyek dalam proses belajar mengajar.
Epilog :
Salah satu cara belajar efektif adalah dengan membaca. Jika siswa tidak mempunyai bacaan yang memadahi maka mereka bisa ‘lari’ ke perpustakaan dusun ini. Ini saya kira awalan yang bagus untuk membangun masyarakat literasi, yang gemar membaca sebagai indikasinya, dimulai dari membangun perpustakaan ditingkat bawah, yakni kampung. Berani memulai ? Sekian
Penulis – Mengajar PPKn SMP Muhammadiyah Turi Sleman. Finalis PTK OlympiCAd Nasional di Semarang 2019. Opini pribadi