28.2 C
Jakarta

Mungkinkah Pemda Memanfaatkan Cukai Rokok untuk Tangani Covid-19?

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Pandemi COVID-19 tidak hanya berimbas pada sektor kesehatan. Efek domino dari wabah yang melanda hampir semua negara di dunia tersebut dipastikan bakal memunculkan resesi ekonomi global.

Karena itu, di banyak negara, target-target pertumbuhan ekonomi mulai direvisi total. Revisi tersebut terjadi kata Prof Dr Chandra Fajri Ananda, Guru Besar FEB Universitas Brawijaya Malang  karena tidak ada satupun negara yang optimis ‘aman’ dari hantaman krisis ekonomi ini, sekalipun negara tersebut merupakan negara maju.

“Krisis ekonomi terjadi seiring pandemic COVID-19 yang sudah dirasakan oleh hampir semua negara,” kata Prof. Chandra.

JP Morgan misalnya, memberikan analisisnya bahwa pertumbuhan ekonomi dunia akan mengalami minus hingga 1,1 persen. Demikian juga dengan lembaga donor dunia IMF dan The Economist Intelegence Unit yang memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia berada pada angka minus 2,2 persen.

Ancaman krisis ekonomi dunia juga akan dialami oleh Indonesia. Prof Chandra melihat pemerintah telah menyadari potensi krisis tersebut dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu lalu. Menkeu menyampaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada pada angka 5 persen pada 2019 akan terjun bebas antara 2,2 persen atau 2,3 persen. Asumsi itu pun berlaku jika wabah COVID-19 bisa selesai pada Mei 2020.

“Syarat lainnya adalah pertumbuhan ekonomi China. Jika negara tersebut segera dapat memulihkan perekonomiannya, maka Indonesia bisa berharap dapat menghindari pertumbuhan ekonomi pada angka minus,” lanjut Prof Chandra.

Mengapa ekonomi China memiliki hubungan signifikan dengan perekonomian Indonesia? Prof Chandra mengingatkan bahwa kegiatan ekspor impor Indonesia dengan China dalam kurun waktu 2-3 tahun terakhir ini cukup besar. Jika China mampu bangkit dari keterpurukan setelah dilanda wabah COVID-19, tentu ini menjadi berita menggembirakan bagi hubungan dagang antar dua negara tersebut.

“Tetapi jika Mei kita belum mampu menyelesaikan wabah COVID-19, bisa jadi prediksi Menkeu bahwa pertumbuhan ekonomi kita akan terkoreksi hingga nol bahkan negative bisa menjadi kenyataan. Jadi kuncinya ada pada penanganan COVID-19. Ini bukan sekedar masalah kesehatan,” tambah Prof Chandra.

Bagi Prof Chandra, menyelesaikan wabah COVID-19 di Indonesia cukup pelik. Karena wabah COVID-19 mengikuti eskalasi persebaran penduduk dari Jakarta ke daerah lain di Indonesia. Sepanjang mobilitas penduduk dari Jakarta sebagai epicentrum COVID-19 ke daerah lain misal dalam bentuk mudik lebaran tidak dicegah, maka mustahil COVID-19 bisa diselesaikan pada Mei.

“Kecuali ada gerakan massif dari seluruh pemerintah daerah, seperti rapid test massal, dan kebijakan pendukung lainnya. Ini bisa menyelesaikan persebaran COVID-19 dengan cepat,” katanya.

Jangan ada PHK

Menurut Prof Chandra, pertumbuhan ekonomi dalam negeri selama ini banyak ditopang oleh konsumsi rumah tangga mencapai sekitar 5 persen. Tetapi konsumsi rumah tangga sangat bergantung pada PDP. Karenanya jika pada masa wabah COVID-19 ini banyak terjadi PHK, orang-orang yang bekerja di sektor informal kehilangan pekerjaan, maka tingkat konsumsi masyarakat juga akan turun mendekati 2 persen atau 3 persen. Akibatnya pertumbuhan ekonomi domestic pun terjadi kontraksi, bisa tinggal 1 atau 1,5 persen.

“Jadi untuk kuncinya ada pada tingkat konsumsi rumah tangga,” tambahnya.

Karena itu Prof Chandra meminta agar pemerintah berjuang untuk meminimalisir kasus-kasus PHK dan menjaga agar sektor informal terus hidup. Meski untuk menghindari PHK memang bukan pekerjaan mudah ditengah krisis ekonomi global. Adanya kebijakan kartu prakerja nasional dan pengalihan alokasi anggaran yang dimiliki daerah, diharapkan dapat meminimalisir dampak negative dari memburuknya perekonomian nasional.

Prof Chandra menjelaskan sejatinya resesi akan terjadi jika dari sisi demand atau permintaan terganggu. Dan salah satunya karena masyarakat tidak memiliki pendapatan akibat PHK atau sektor informal mati suri.

Menjaga agar perusahaan tidak melakukan PHK terhadap karyawan selama wabah COVID-19 berlangsung, lanjut Prof Chandra bisa dilakukan dengan berbagai kebijakan. Pertama menangguhkan kewajiban pajak, atau mengalihkan sebagian beban pajak perusahaan kepada negara. Pengalihan kewajiban PPH 21, PPH 22 dan PPH 25 kepada negara bisa dipertimbangkan oleh pemerintah untuk mengurangi beban perusahaan sehingga perusahaan tetap dapat mempekerjakan karyawannya.

“Dengan tidak ada PHK karyawan, maka tidak ada disrupsi pada aspek permintaan,” tukas Prof Chandra.

Kedua, pemerintah harus dapat menjaga suplai barang. Sebab jika masyarakat memiliki penghasilan, memiliki uang banyak, tetapi suplai barang tidak ada, percuma saja. Hal tersebut berlaku pula untuk kegiatan industry. Menurut Prof Chandra, jika suplai bahan baku produk terganggu, maka imbasnya terjadi kelangkaan barang.

“Agar suplai tetap terjaga, pemerintah bisa menempuh kebijakan pemberian insentif pada perusahaan yang tetap beroperasi dan tidak mem-PHK karyawan selama wabah COVID-19 berlangsung. Insentif tersebut bisa dalam bentuk pembebasan bea masuk bahan baku,” katanya.

Di sisi lain, distribusi barang ke masyarakat juga harus diawasi ketat. Pemda bisa melakukan pembatasan pembelian dari masyarakat untuk menghindari penimbunan dan kelangkaan barang di pasaran. Dengan menjaga keseimbangan supplay and demand maka chaos bisa dihindari.

Cukai Rokok untuk Atasi COVID-19?     

Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 19/PMK.07/2019,  Menteri Keuangan sudah mengatur tentang berbagai pengelolaan dana bagi hasil seperti Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam  dan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT).

Peraturan Menkeu tersebut memberikan peluang bagi daerah untuk memanfaatkan dana bagi hasil guna mengatasi wabah COVID-19. Termasuk juga industry rokok dan hasil olahan tenbakau. Meski pemerintah telah menaikkan cukai rokok, faktanya pada Januari-Februari 2020, cukai rokok tidak mengalami penurunan bahkan mencapai target.

Hasil dari cukai rokok ini sesuai aturan bisa digunakan untuk lima hal seperti melindungi orang yang terkena dampak rokok, menguatkan industry dari pengusaha rokok menjadi pengusaha non rokok juga pengembangan social ekonomi masyarakat.

“Jadi saya pikir, aturannya memang membolehkan penggunaan cukai rokok untuk membantu menangani dampak COVID-19,” tambahnya.

Pemerintah sendiri lanjut Prof Chandra juga telah memberikan keleluasaan daerah untuk merealokasikan anggarannya. Realokasi anggaran tersebut bahkan boleh dilakukan tanpa perlu ijin DPRD.

Realokasi anggaran telah dilakukan pemerintah daerah. Misalnya Jawa Timur mengalihkan anggaran untuk penanganan COVID-19 mencapai Rp2,3 triliun, Jawa Tengah sekitar Rp2,8 triliun, DKI Jakarta Rp3 triliun dan Jawa Barat sekitar Rp2,8 triliun.

Prof Chandra mengaku beberapa daerah berkepentingan dengan industry rokok, sebut saja Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sektor tersebut diperkirakan menyerap tenaga kerja hampir 7 juta orang mulai dari hulu hingga ke hilir. Belum lagi adanya fakta bahwa hingga saat ini industry rokok merupakan penopang penerimaan negara yang cukup besar, yang belum bisa digeser oleh industry apapun.

Hal lainnya adalah bahwa industry rokok bahan bakunya berasal dari dalam negeri. Meski ada juga beberapa perusahaan rokok yang mulai mengimpor bahan baku dari China.

Tetapi dengan ketersediaan bahan baku berupa tembakau lokal, maka ketika ada masalah dengan impor bahan baku, industry rokok bisa tetap survive karena ada bahan baku lokal.

Prof Chandra memprediksi bahwa salah satu industri yang bisa bertahan selama wabah COVID-19 adalah sektor pertanian atau hortikultura termasuk industry rokok. Produk pertanian seperti jeruk, manggis, dan lainnya saat ini sangat laris di pasaran.

Pun dengan industri rokok. Meski cukai rokok naik sejak November 2019 lalu, faktanya konsumsi rokok masyarakat tetap tinggi.

“Mungkin agak aneh memang namanya rokok itu kalau stress malah merokok, jadi malah naik. Kalau dari data susesnas kalau ada kenaikan harga rokok itu mereka untuk pangannya tetap tapi konsumsi pendidikan seperti les-les dikurangi, dan rokoknya tetap sehingga prosentase rupiahnya membeli rokok dengan harga rokoknya naik jadi naik. Atau kedua, mereka membuat rokok linting sendiri, seperti itu, tapi kebiasaan merokoknya tetap,” katanya.

Meski industry rokok memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional, menurut Prof Chandra bukan berarti kemudian membatalkan kebijakan yang sudah ada yang diterbitkan tahun 2019.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!