31.6 C
Jakarta

Novelet Rembulan DBK – 84. #Menyembunyikan ” Sakit Perut

Baca Juga:

  1. #Menyembunyikan ” Sakit Perut “

Banyak teori pendidikan anak yang ditawarkan dari yang klasik hingga modern. Dari eranya Socrates, Aristoteles hingga Frued, Maslow, Maxwell dan masih banyak lagi. Namun dariĀ  sekian banyak itu, ternyata, kata ustadz kampung kami, tidak lebih hebat dari nasehat Luqman Al-Hakim kepada anaknya. Terekam dalam QS Luqman 12-19. Belum lagi tafsirnya yang panjang dan detail. Terserah. Kita mau pakai Mazhab yang mana. Aku sendiri cenderung ke nasehat Luqman ini. Meski dalam perjalanan ikhtiar juga tidak mudah. Berdarah-darah. Tidak jarang kami ini “sakit perut” bukan dalam arti yang sebenarnya.

Jadi dari perjalanan Rohman ke pondok hingga sekarang, tidak semudah langsung mau dan nurut. Kemudian di pondok selama 3 tahu no problem. Tidak. Ada episode kehidupan yang sering membuat kami ini mereview kembali niat awal.

Aku tidak pernah cerita kepada Lik Jarto tetangga sebelah dan saudara yang lain, apalagi orang tua kami, kalau Rohman pingin berhenti mondok di tengah jalan. Alasan tidak kerasan. Atau pernah satu saat pergi dari pondok, pulang, ketika aku tanya jawabnya enteng saja : boring. Gak ada kegiatan. Pingin pulang. Sementara kalau liburan di rumah seminggu dua minggu penggunaan HP sudah over dosis.

Biarlah orang lain tahunya kami baik-baik saja dalam mendidik anak.

” Aku gak mau nerusin di pondok pak?'” lolong Rohman melengking lewat HP. Sabtu sore.

” Kenapa mas?” Jawabku mencoba menenangkan. Dan sengaja aku panggil dengan sebutan mas..agar dia merasa tersanjung.

” Pokoknya gak mau”

” Iya tapi kan ada sebabnya”

“Panjang…”

” Panjang seberapa, coba ceritakan pelan-pelan. Besok bapak sampaikan ke ustadz pondok,”

“Gak mau. Bapak gak boleh cerita ke ustadz.”

” Terus agar masalah Rohman selesai, kalau gak cerita ke ustadz pondok bagaimana?”

“Pokoknya gak mau nerusin,”

Itu hanya salah satu masalah. Coba..aku gak boleh cerita ke ustadz tapi maunya masalah selesai.Ā  Beberapa yang lain membuat kami sakit perut. Tetap kami jalani.

Sabtu sore itu rintik hujan satu-satu membasahi dedaunan dan genteng rumahku. Dengan sepeda motor kesayangan aku antar Rohman kembali ke pondok pesantren tengah hutan jati itu.

“Sekarang diantar, besok pagi gak telephon minta dijemput lho..” candaku.

Rohman paham. Sejurus dia meninju punggungku. Sambil tertawa hingga nampak.gigi serinya yang berbaris rapi, bak buah mentimun.

Pulang dari mengantar Rohman, Lik Jarto tetangga sebelah sudah siap menjemput diteras depan rumah. Sarung kotak-kotak kesayangan, bagian bawahnya sudah tertarik ke atas, karena sering nya dipakai.

“Ponakan sudah kembali ke pondok, le?” Tanya Lik Jarto dengan menyebut ku le. Karena aku dianggapnya masih kecil. Minimal jika dibandingkan dengannya.

“Sudah Lik. Sudah hampir 2 minggu di rumah. Kebanyakan maen HP. Biar kembali belajar agama,” kataku sambil membenahi mantel yang tadi menemaniku ke pondok saat turun hujan.

“Wah. Sudah ‘alamat’ gak denger suara adzan Rohman yang bagus dan khas le, kalo yang adzan Rohman jammaahnya banyak. Beda jauh kalau yang adzan bapaknya, hehe.” Lik Jarto ngeles aku. Dalam arti yang sebenarnya. Karena memang suara aku cempreng jika dibandingkan Rohman. Tapi aku tidak tersinggung dengan canda Lik Jarto. Toh memang demikian realita nya.^^

 

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!