25 C
Jakarta

OPINI: Politik Meja Makan Jokowi

Baca Juga:

Oleh:  Doddy Salman (Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara)

Jikalau kita mau cermat sedikit, makan adalah aktivitas yang sempat naik daun di republik ini. Tengoklah berita juru warta cetak, daring dan layar kaca.Setidaknya saat tahun lalu,kata-kata nasi goreng,ikan bakar, mie goreng, mie godhog mendadak tampil bersama dengan kata presiden, partai politik, persatuan bangsa dan NKRI. Makan tiba-tiba tak sekedar menghapus lapar dengan waktu pagi,siang dan malam sebagai pengaturnya. Makan kini menjadi aktivitas politik yang eksistensinya begitu tinggi diakui para politikus.Persoalan mutakhir bangsa yang rumit dan berasa pahit diurunrembugkan bersama kelezatan hidangan yang disajikan. Meja makan pun mendadak menjadi site of democracy, situs demokrasi, saat para aktor politik bangsa ini berkhidmat bermusyawarah mencari kemaslahatan umat. Lalu, bagaimana kita memaknai fenomena masuknya makanan dalam kancah demokrasi Indonesia mutakhir?

Kajian makanan (food study) sebagai bagian keilmuan memang terbilang baru. Makanan ,baru belakangan disadari, menyembunyikan makna yang kuat (Sutton,2001). Makanan, dalam perspektif Pierre Bordieu,dapat menjadi pembeda (distinction) antara kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain. Dalam tulisannya Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste ia menjelaskan bagaimana pilihan makanan antara guru, profesional dan para pengusaha memiliki makna tersendiri.(Bordieu,1979).Di Amerika misalnya, bir dan kopi dianggap sebagai minuman yang mewakili demokrasi karena harganya murah, ada di mana-mana dan rasa dan bentuknya yang sama (Sutton,2001). Di Indonesia, ungkapan Bung Karno jangan menjadi bangsa tempe menegaskan bahwa makanan adalah simbol sosial sekaligus politik.

Adalah Presiden Joko Widodo alias Jokowi sebagai promotor utama melambungnya aktivitas makan di kancah politik Indonesia. Prabowo, Megawati, Surya Paloh adalah sebagian tokoh masyarakat yang terlibat upaya menegakkan demokrasi dari meja makan.Jauh sebelumnya ada netizen, budayawan, hingga komedian datang untuk sambung rasa tepa selira dalam perjamuan oleh orang nomer satu Indonesia. Sambil makan tentunya,dari meja makan, Jokowi seperti mengingatkan bahwa selain cinta (love), keamanan (security) ada makanan (food) sebagai tiga kebutuhan dasar manusia.

Kebutuhan dasar tersebut menjadi bagian tak terpisahkan manusia sebagai entitas yang hidup bersama. Di sini makanan punya makna sebagai kebajikan sosial (food as social good).Menurut David M. Kaplan dalam bukunya The Philosophy of Food, makanan dalam makna kebajikan sosial adalah sesuatu yang manusia dapat gunakan, alokasikan dan tukarkan dengan cara yang konsisten dengan makna yang berlaku di masyarakat (Kaplan,2013).Makan bersama presiden dan para tokoh politik sembari membincangkan masalah bangsa pun berbobot sebagai kebajikan sosial.

Bila kita cermati aktivitas makan bersama para tokoh politik yang dilakukan Jokowi, dengan mengunjungi atau dan mengundang tokoh politik,mulai gencar dilakukan jelang dan sesudah unjuk rasa 4 November 2016 lalu.Bingkai politik menjelaskan bahwa kegiatan presiden yang dilabeli pers sebagai “safari politik” tersebut adalah langkah konsolidasi ke dalam saat menjawab aksi tersebut. Tafsiran ini tidaklah salah. Namun harus kita ingat bahwa pertemuan tersebut selalu menyertakan acara makan bersama. Makan bersama sesungguhnya bukan sekedar simbol keakraban namun lebih dari itu sebagai adanya simbol kepercayaan (symbol of trust) di antara para pemimpin bangsa. Mengonsumsi makanan, kata Kaplan (2013) adalah latihan dalam epistemologi kepercayaan.

Dalam konteks komunikasi kepresidenan (presidential communication) Joko Widodo sadar dirinya bukanlah hanya sebagai pembawa pesan (messenger) lewat pidato, rapat atau wawancara. Lebih dari itu presiden adalah pesan (message) itu sendiri. Pertemuan di meja makan yang digagasnya sejatinya adalah pesan tersendiri. Bahwa demokrasi tidaklah selalu muncul di jalanan.Demokrasi bisa hadir juga di meja makan. Demokrasi tidaklah selalu berarti puluhan ribu orang dengan poster, bendera dan pengeras suara. Demokrasi bisa berarti walau hanya berdua bersama piring, gelas dan sendok makan.

Bila kita tengok ke belakang, politik makan bersama ala Jokowi sesungguhnya sudah dilakukannya sejak menjadi walikota Solo. Kisah sukses pemindahlokasian 989 pedagang yang tergabung dalam 11 paguyuban melalui “lobi meja makan” menjadi catatan tersendiri. Diperlukan 54 kali perjamuan sebelum niat Jokowi memindahkan mereka diutarakan. Loji Gandrung pun menjadi saksi di perjamuan yang ke-54 tak ada pedagang yang menolak rencana Jokowi.

Sangatlah elok jika politik meja makan Jokowi ini tidak berlaku untuk para elit politik saja. Para keluarga korban Hak Asasi Manusia, misalnya tentu layak untuk dihadirkan di meja makan istana. Perjamuan itu sedikit banyak akan mengobati luka mereka yang sudah lama mereka derita.Sehingga pemerintahan nawa cita ini punya bukti serius akan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Makan bersama yang dilakukan Jokowi dan para elit bangsa ini adalah representasi dari kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan di meja makan. Mungkin suatu hari nanti makan bersama ini menjadi konvensi kenegaraan tak tertulis. Bahwa siapapun presiden Indonesia akan menyelesaikan persoalan sosial politik di meja makan.

———————————————————-

Doddy Salman adalah Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) dan juga Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara yang memiliki minat dalam bidang Komunikasi Politik. Saat ini sedang menyelesaikan program doktoral pada Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!