28.4 C
Jakarta

Partai Ummat: e-Voting Berbasis Blockchain Tak Hanya Hemat 90T tapi juga Kurangi Pelanggaran dan Korban Jiwa Petugas

Baca Juga:

 JAKARTA, MENARA62.COM – Tim kajian Partai Ummat mengenai e-Voting berbasis blockchain menemukan bahwa teknologi baru ini tidak hanya menghemat keuangan negara sampai 90 triliun rupiah, tetapi juga mampu mengurangi kecurangan dan pelanggaran serta menghindari jatuhnya korban petugas pemilu seperti terjadi pada pemilu sebelumnya.

 

Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi yang sekaligus memimpin tim kajian e-Voting mengatakan dari 110 triliun rupiah anggaran Pemilu 2024, sejumlah 76,6 triliun rupiah dialokasikan untuk KPU. Sebesar 54,9% atau 42,08 triliun rupiah di antaranya akan digunakan untuk membayar honor badan ad hoc.

 

Ridho melanjutkan pada Pemilu 2019, badan ad hoc terdiri dari 7.201 PPK, 83.404 PPS, 809.500 KPPS, 130 Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), dan 783 Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN). Setiap PPK dan PPS beranggotakan tiga orang, setiap KPPS beranggotakan tujuh orang, dan masing-masing PPLN dan KPPSLN beranggotakan tiga hingga tujuh orang.

 

“Jika kita simulasikan, maka paling sedikit ada 5.941.054 orang dan paling banyak ada 5.944.706 orang yang masuk di badan ad hoc KPU. Tak heran jika setengah lebih anggaran KPU dipergunakan untuk honor badan tersebut. Jumlah ini belum termasuk jumlah pegawai KPU yang lebih dari 14 ribu orang,“ kata Ridho, Kamis (2/6).

 

Tim menemukan bahwa 21,97% anggaran KPU 2024 atau sebesar 16,84 triliun rupiah akan digunakan untuk kebutuhan surat suara, formulir, tinta, sampul, kelengkapan TPS, dan lain- lainnya. Pemilu 2019 membutuhkan 4 juta lebih kotak suara, 75 juta lebih keping segel, 51 juta lebih lembar sampul, 990 juta lebih lembar surat suara, 1,6 juta lebih alat bantu tunanetra, 2,1 juta lebih bilik suara, 1,6 juta lebih botol tinta, 62,2 juta lebih keping hologram, 561 juta lebih lembar formulir, dan 3,9 juta lebih lembar daftar pasangan calon dan daftar calon tetap.

 

Selanjutnya, kata Ridho, 1,02% atau sebesar 781,89 miliar rupiah untuk pemutakhiran data pemilih, 1,68% atau sebesar 1,29 triliun rupiah untuk pencalonan, dan 1,6% atau sebesar 1,23 triliun rupiah untuk sosialisasi. Yang terakhir, 18,83% atau sebesar 14,43 triliun rupiah akan digunakan untuk kebutuhan pendukung seperti pembangunan atau renovasi kantor, gedung arsip, pengadaan kendaraan, gaji pegawai KPU, belanja operasional kantor, dukungan IT, dan seleksi komisioner.

 

“Alokasi anggaran untuk Bawaslu adalah 33 triliun rupiah. Secara umum, dapat kita perkirakan, penggunaan anggaran oleh Bawaslu akan lebih banyak untuk kegiatan pengawasan, yang berarti tidak jauh dari kebutuhan sumber daya manusia, kegiatan, dan infrastruktur pendukung,“ kata Ridho.

 

Ridho melanjutkan paling tidak ada sekitar 834.080 pegawai Bawaslu, termasuk yang tetap dan yang ad hoc. Dari Pemilu 2019, dari total anggaran Bawaslu yang berjumlah 8 triliun rupiah, 964 miliar lebih di antaranya digunakan untuk belanja pegawai, seperti gaji. Kemudian 7,6 triliun rupiah lebih digunakan untuk belanja barang, seperti biaya perjalanan, dan 141 miliar lebih untuk belanja modal seperti renovasi bangunan.

 

Sebagai perbandingan, anggaran penyelenggaraan Pemilu 2004, 2009, 2014 dan 2019 berturut- turut adalah, 4,4 triliun, 8,5 triliun, 15,6 triliun, dan 25,6 triliun. Dengan demikian, kata Ridho, anggaran Pemilu 2024 adalah 19 kali lipat lebih besar daripada biaya Pemilu 2004, dan tiga kali lipat daripada Pemilu 2019.

 

Kecurangan dan Korban Jiwa dalam Pemilu

 

Ridho Rahmadi mengatakan luasnya wilayah RI yang terdiri dari lebih dari 17 ribu pulau dan 190 juta lebih pemilih memungkinkan timbulnya banyak pelanggaran serta kecurangan pemilu, kebutuhan sumber daya yang banyak, dan biaya yang sangat tinggi.

 

Pada hari pemilu orang-orang diminta untuk hadir ke TPS untuk memberikan suaranya dengan cara mencoblos surat suara. Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang ada di setiap TPS kemudian menghitung suara dan mengirimkan rekapitulasi suara beserta kotak-kotak berisi surat suara ke Panitia Pemungutan Suara (PPS) di kantor desa, untuk transit sambil menunggu semua kotak suara masuk dari seluruh TPS yang ada di suatu desa.

 

Selanjutnya kotak suara dikirim ke Panitia Pemilih Kecamatan (PPK) di kantor kecamatan. Setelah genap kotak suara dan selesai rekapitulasi suara dari seluruh desa yang berada di suatu kecamatan, kotak-kotak suara tersebut dikirim ke Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPU) Daerah.

 

Dengan pola yang sama, pengiriman kotak-kotak suara dan rekapitulasi suara akan dilakukan hingga ke jenjang berikutnya, yakni KPU Provinsi dan KPU Pusat, sebelum akhirnya dilakukan rekapitulasi nasional.

 

Secara keseluruhan, proses ini dapat memakan waktu hingga satu bulan lebih. Menurut beberapa sumber, proses perjalanan rekapitulasi suara dan kotak suara di antara TPS dan PPK merupakan tahapan yang sangat rentan terhadap praktik kecurangan dan sangat memakan waktu.

 

Ada sekitar 4 juta kotak suara yang tersebar di 800 ribu lebih TPS, yang kemudian transit di 83 ribu kantor desa dan 7.000 kantor kecamatan.

 

“Dari alur di atas, dapat kita lihat di mana letak titik rentan kecurangan dan ketidakefektifan sistem pemilu tradisional, dan betapa sulit cara pengawasannya. Dari Laporan Bawaslu pada Pemilu 2019, ada 16.134 pelanggaran administrasi, 374 pelanggaran kode etik, 582 pelanggaran pidana, dan 1.475 pelanggaran hukum lainnya yang dilaporkan,“ Ridho menjelaskan.

Dia melanjutkan total ada sekitar 6 juta orang yang bertugas dalam penyelenggaraan dan pengawasan Pemilu 2019, 32 ribu personil TNI-Polri yang terlibat di dalam pengamanan, dan sekitar 12 juta orang perwakilan partai politik sebagai saksi.

 

“Selain itu proses penghitungan suara sangatlah melelahkan. Tercatat ada 894 petugas KPPS yang meninggal dunia, dan 5.175 di antaranya jatuh sakit. Ini berita sangat menyedihkan dalam perhelatan demokrasi modern,“ kata Ridho.

 

Namun jika mekanisme yang dipakai masih rapuh terhadap kecurangan dan tidak memiliki kemampuan untuk mengantisipasinya, kata Ridho, maka cita-cita bersama untuk mewujudkan demokrasi yang sehat akan selamanaya menjadi mimpi yang tidak pernah terwujud.

 

Berpikir Alternatif dan Inovatif

 

Untuk memecahkan masalah besar pemilu di tanah air tersebut, Partai Ummat mengajak bangsa Indonesia untuk berpikir alternatif dan inovatif, keluar dari tradisi yang dilakukan selama ini.

 

“Sebagai seorang akademisi dengan latar belakang Teknologi Informasi (TI), saya ingin mengusulkan penggunaan e-voting berbasis blockchain sebagai sebuah alternatif. Secara umum, e-voting adalah pemungutan suara menggunakan perangkat elektronik seperti komputer, yang biasanya terhubung ke jaringan internet,” Ridho menjelaskan.

 

Ridho melanjutkan berbagai negara telah menerapkan e-voting, dan Estonia adalah salah satu pionirnya. “Secara khusus yang dimaksud dengan e-voting di sini adalah pemungutan suara cukup menggunakan aplikasi yang diinstal di smartphone atau ponsel cerdas yang dimiliki oleh masing- masing pemilih.”

 

Data hasil pemilihan kemudian akan tersimpan dalam server dengan teknologi blockchain. Blockchain sendiri adalah sebuah konsep di mana setiap data baru yang akan dimasukkan ke dalam sistem harus divalidasi secara konsorsium terlebih dahulu.

 

Data yang tervalidasi kemudian dimasukkan ke dalam rantai blok data (sehingga disebut blockchain), yang terintegrasi dengan kriptografi. Seluruh blok data disimpan di pusat-pusat data yang banyak dan saling terhubung.

 

Sifat blockchain yang immutable atau append-only memastikan hanya penambahan data yang dimungkinkan. Sementara setiap upaya perubahan data di suatu blok data harus divalidasi ulang oleh semua blok data yang lain di setiap pusat-pusat data, Ridho menjelaskan.

 

“Kedua hal tersebut membuat sistem berbasis blockchain sangatlah aman dan hampir mustahil dibobol, berbeda dengan sistem IT tradisional yang hanya menggunakan satu pusat data yang jika pusat data tersebut dibobol oleh hacker, maka tamat riwayatnya,” tambah Ridho.

 

Dengan menggunakan teknologi e-voting, rekapitulasi suara dapat langsung dilakukan secara langsung (real time) dan akumulatif bersamaan dengan data suara yang masuk. Artinya secara teori, kata Ridho, jika tidak ada masalah teknis pada jalur komunikasi antara ponsel cerdas dengan infrastruktur sistem e-voting, seperti jaringan internet dan listrik, maka rekapitulasi suara akan selesai pada hari yang sama diselenggarakannya pemilu.

“Sebagai bentuk kehati-hatian, sebelum pengumuman hasil rekapitulasi nasional, kita bisa tambahkan beberapa hari untuk audit sistem guna memastikan setiap tahapan di dalam sistem e- voting berbasis blockchain ini telah dilakukan dengan benar. Dengan demikian, satu minggu adalah waktu yang rasional untuk menyelesaikan seluruh proses e-voting tersebut,” kata Ridho.

 

Dari aspek keamanan maupun keefektifan waktu, sistem e-voting berbasis blockchain jelas lebih aman dan lebih efektif secara waktu, kata Ridho.

 

“Tidak ada lagi cerita kertas dan kotak suara yang diganti di suatu tempat, karena semua proses dilakukan secara digital. Insya Allah juga tidak ada lagi berita petugas yang kelelahan sehingga meninggal dunia, karena proses perhitungan dikomputerisasi sedemikian rupa sehingga cepat dan tidak membutuhkan banyak tenaga manusia untuk menghitung secara manual,” Ridho menjelaskan.

 

Keamanan Teknologi Blockchain

 

Ridho Rahmadi menjelaskan yang membuat konsep blockchain lebih aman dan hampir mustahil untuk dibobol jika dibandingkan dengan sistem TI tradisional adalah sebagai berikut.

 

Pertama, sistem TI tradisional secara umum adalah sistem “kotak hitam” (perhatikan Gambar 1). Diistilahkan sebagai “kotak hitam”, karena pengguna sistem tidak tahu persis bagaimana proses yang dilalui masukan (dalam hal ini adalah data suara) hingga menjadi keluaran (dalam hal ini adalah rekapitulasi suara).

 

Proses di tengah-tengah yang tidak sepenuhnya transparan ini membuat kita kesulitan untuk memastikan bahwa data suara yang masuk hingga kemudian direkapitulasi adalah data yang valid.

Kedua, sistem tradisional seperti ini biasanya menggunakan satu pusat data atau tersentralisasi yang berfungsi sebagai penyedia layanan sekaligus penyimpanan data. Jika terjadi upaya hacking atau pembobolan pada pusat data tersebut, maka data yang ada dapat diubah atau bahkan dihilangkan. Ini sangat berbahaya bila terjadi pada data pemilu.

Gambar 1: Ilustrasi sistem Pemilu tradisional yang menggunakan konsep “kotak hitam”.

Sedangkan pada sistem berbasis blockchain, setiap data baru akan divalidasi terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam rantai blok data baru (perhatikan Gambar 2). Proses validasi data di sini menggunakan metode konsorsium otoritas, mengadopsi konsep Proof-of-Authority (POA).

Di dalam metode ini, setiap otoritas yang dilibatkan, seumpama KPU, Bawaslu dan pihak lain yang ditunjuk, akan memvalidasi data suara yang masuk lewat aplikasi.

 

Secara teknis, otoritas di sini adalah salah satu dari pusat-pusat data sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 2. Proses validasi dilakukan secara hibrid menggabungkan mekanisme otomatis dan juga pengecekan secara manual – yang tentu tetap dilakukan secara digital.

Gambar 2. Ilustrasi lebih detail tentang sistem e-Voting berbasis blockchain. Proses validasi data dilakukan dengan metode konsorsium otoritas. Data yang tervalidasi akan dimasukkan ke dalam blok data baru, dari rantai blok yang sudah ada.

Hanya data suara tervalidasi oleh otoritas yang akan dimasukkan ke dalam blok data baru di dalam blockchain (rantai blok data). Setiap pusat data akan menyimpan rantai blok yang sama. Demikian juga jika terjadi penambahan blok data baru, maka masing-masing pusat data akan melakukan pembaruan yang sama. Ini adalah konsep desentralisasi data, yang merupakan salah satu pembeda utama dari sistem tradisional yang tersentralisasi pada satu pusat data saja.

 

Sifat blockchain sendiri adalah append-only, immutable, yang berarti hanya penambahan data yang diizinkan. Dengan demikian histori data akan sangat terjaga dengan baik. Ini sangat relevan dengan kebutuhan pemilu yang perlu untuk melihat jejak detail setiap data yang masuk.

 

Upaya untuk mengubah data pada salah satu blok yang ada di blockchain memerlukan validasi dari konsorsium otoritas di semua pusat-pusat data. Dengan demikian, serangan terhadap sistem berbasis blockchain sangatlah sulit – kalau tidak mustahil – karena jika konsorsium menolak perubahan tersebut, maka otomatis upaya tersebut gagal.

Metode konsorsium otoritas ditambah dengan sifat blockchain yang immutable, dan juga konsep desentralisasi data, memastikan sistem e-voting berbasis blockchain insya Allah sangat aman dan hampir mustahil untuk dibobol.(*)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!