JAKARTA – Pemerintah daerah baik tingkat propinsi maupun kabupaten/kota memiliki peran penting dan strategis dalam mendukung implementasi program jaminan sosial. Melalui kebijakan dan regulasinya, Pemda menjadi penentu arah keberhasilan JKN dan Jamsos Ketenagakerjaan.
Demikian kesimpulan Rapat Koordinasi yang digelar Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), yang diikuti Ketua APEKSI, perwakilan BPJS Kesehatan, dan Perwakilan BPJS Ketenagakerjaan.
Soeprayitno, anggota DJSN dari unsur asosiasi pemberi kerja, mengatakan pemerintah telah menerbitkan Inpres No 8 Tahun 2017. Melalui Inpres tersebut Gubernur, Bupati dan Walikota diinstruksikan untuk mendorong terlaksananya program JKN baik dari sisi regulasi, kepesertaan, pelayanan , pembayaran iuran dan pemberian sanksi.
“Tetapi sampai saat ini masih banyak Pemda yang belum memiliki aturan turunan dari Inpres tersebut baik untuk JKN maupun BPJS Ketenagakerjaan,” katanya.
Khusus untuk program JKN, diakui Soeprayitno masih banyak Pemda yang belum maksimal dalam pendataan penduduk. Ini menyebabkan belum semua penduduk bisa mendaftarkan diri menjadi peserta JKN.
Selain itu dari segi pelayanan kesehatan, banyak Puskesmas yang sampai saat ini tidak memiliki tenaga dokter dan tidak memiliki saran prasarana penunjang. Terutama puskesmas yang berada di daerah terpencil atau terbelakang (miskin). Akibatnya puskesmas belum bisa menegakkan diagnosa 144 jenis penyakit dengan benar.
“Ini menyebabkan angka rujukan ke fasilitas kesehatan tingkat pratama menjadi tinggi. Pasien pun menumpuk di rumah sakit, dan tidak tertangani dengan baik,” lanjutnya.
Penemuan DJSN tersebut hampir sama dengan keluhan yang disampaikan oleh Pemda. Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) Airin Rachmi Diany, dalam sambutan tertulis yang dibacakan Wakil Walikota Tangsel Benyamin mengatakan pelayanan JKN masih banyak dikeluhkan oleh masyarakat. Mulai dari penolakan pasien oleh sejumlah rumah sakit, banyaknya pasien yang dipaksa pulang meski kondisinya belum layak pulang, adanya pasien yang dibebani biaya administrasi, biaya obat dan biaya darah serta banyaknya pasien yang harus menunggu antrean berbulan-bulan untuk mendapatkan tindakan seperti operasi.
Pemda kurang responsif BPJS TK
Sementara untuk BPJS Ketenagakerjaan ditemukan banyaknya Pemda yang tidak responsif terhadap program pemerintah tersebut. Pemda enggan mengalokasikan anggaran untuk BPJS TK mengingat kepesertaan BPJS TK menjadi tanggungjawab perusahaan pemberi kerja.
Disisi lain, DJSN lanjut Soeprayitno, masih ditemukan banyaknya pegawai dilingkungan pemerintah yang belum menjadi peserta BPJS TK dengan berbagai alasan.
DJSN juga mempertanyakan soal kepesertaan BPJS TK bagi tenaga kerja yang bekerja pada organisasi. Pekerja dilingkungan organisasi merupakan penerima upah tetapi belum jelas menjadi kewajiban siapa soal pembayaran iuran BPJS TK.
Pemerintah telah menargetkan pada 2021, setidaknya 80 persen tenaga kerja sudah menjadi anggota BPJS TK. Tetapi dari 26 juta lebih pekerja saat ini, baru sekitar 7 juta yang menjadi anggota BPJS TK.
Agar pelaksanaan dua program sosial tersebut berjalan optimal, DJSN merekomendasikan perlunya BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan meningkatkan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat.
“Terlebih untuk BPJS Kesehatan, akhir tahun ini sudah harus mencapai universal health coverage,” tandasnya.