32.5 C
Jakarta

Pendidikan Gratis Masih Jadi Jualan Paling Laku Kampanye Pilkada

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Pendidikan masih menjadi jualan paling laku dalam ajang pemilihan kepala daerah. Meski pada kenyataannya, banyak daerah yang masih menghadapi problem pendidikan yang cukup rumit dan kompleks terutama terkait akses, sarana dan prasarana.

“Janji pendidikan gratis diumbar ke mana-mana. Pada kenyataannya, pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya gratis, masih banyak pembiayaan pendidikan yang dibebankan kepada masyarakat,” papar Rahmat S. Syehani, Praktisi Pendidikan di sela pemaparan hasil Riset Evaluasi Pendidikan Nasional- Perilaku Korupsi Tidak Dipengaruhi Oleh Tingkat Pendidikan yang digelar Dompet Dhuafa University, kemarin.

Indonesia yang sudah merdeka 71 tahun, hingga kini masih belum berhasil memberikan akses pendidikan yang merata bagi seluruh anak bangsa. Di sebagian wilayah terutama pedalaman, daerah terpencil dan terluar, pendidikan masih menjadi barang mahal dan langka. Sarana dan prasarana pendidikan yang ada masih sangat minim.

Berbeda dengan kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota besar lainnya. Pendidikan sudah bergeser fungsi sebagai bagian dari status sosial dan cita-cita mendapatkan jabatan tertentu usai lulus. Orang memiliki kebebasan memilih sekolah yang diinginkan sesuai kemampuan finansiil dan harga strata sosial yang diinginkan.

Menurut Rahmat, potret penyelenggaraan pendidikan di Indonesia banyak dipengaruhi oleh persoalan politik. Misalnya pergantian pemerintahan, pergantian menteri pendidikan dan lainnya. Konsekuensinya banyak kebijakan pendidikan yang berubah-ubah, kurang fokus dan persoalan mendasar menjadi kurang tersentuh.

Dompet Dhuafa University telah melakukan survei terkait program pendidikan di Indonesia. Survei yang dilakukan tahun 2016 terkait persepsi masyarakat tentang program pendidikan tersebut melibatkan 449 responden dari 8 propinsi yaitu DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.

“Ini adalah penelitian evaluasi pendidikan yang dikaitkan dengan berbagai persoalan strategis dan mendasar terkait persoalan pendidikan di Indonesia. Hasilnya akan menjadi sumber informasi sangat penting bagi para pengambil kebijakan pendidikan dan pelaku pendidikan. Bahkan beberapa data hasil penelitian juga sangat relevan dengan berbagai sektor yang terkait pendidikan,” kata Ahmad Juwaini, Direktur Dompet Dhuafa University.

Evaluasi terkait persepsi masyarakat terhadap pembangunan pendidikan ini lanjut Ahmad berangkat dari konsep dasar bahwa keadilan dalam mendapatkan pendidikan harus diperjuangkan. Diantaranya  melalui praktik layanan pendidikan atas kebijakan pro-pendidikan yang dapat dipahami pemerintah dalam mengurangi ketimpangan pemerataan pendidikan.

Ia juga mengingatkan perlunya dibedakan antara tingkat actual ketimpangan (ketimpangan yang actual terjadi di masyarakat) dan tingkat persepsi  ketimpangan (persepsi responden tentang ketimpangan di masyarakat) serta penilaian normative tentang tingkat yang diinginkan dari ketimpangan Pendidikan.

Survei yang menggunakan penilaian persepsi masyarakat sebagai alat evaluasi normative hasilnya adalah pertama, terkait program pendidikan gratis (Sekolah Gratis) menunjukkan bahwa 96% masyarakat menilai sekolah gratis masih diperlukan.

Kedua, optimalisasi penggunaan anggaran pendidikan  dimana 91% masyarakat menilai bahwa anggaran pendidikan belum digunakan secara optimal sedangkan 9% masyarakat menilai bahwa anggaran sudah digunakan dengan baik.

Ketiga, pemertaan akses terhadap pendidikan 92% masyarakat menilai bahwa pendidikan belum merata sedangkan 8% masyarakat menilai bahwa anggaran sudah digunakan.

Keempat, hubungan antara studi pendidikan dengan karir dimana 66 % masyarakat menilai bahwa tingkat pendidikan dipercayai mempengaruhi karir sesuai bidang studi pendidikannya, sedangkan 34% masyarakat menilai bahwa studi Pendidikan tidak mempengaruhi karir seseorang berdasarkan bidang studinya.

Selain itu survei juga menunjukkan pendapat masyarakat bahwa salah satu cara dalam pemerataan kesejahteraan adalah dengan peningkatan pendidikan. Yaitu 98% masyarakat menilai bahwa pendidikan akan bisa meningkatkan kesejahteraan atau mengubah nasib, sedangkan 6% masyarakat menilai bahwa dengan pendidikan tidak mampu mengubah ketimpangan atau nasib seseorang lebih sejahtera.

Semakin pentingnya pendidikan dalam peningkatan kualitas individu, masyarakat menilai pemimpin negara / presiden harus pula memiliki tingkat pendidikan yang mumpuni.  Dimana 59% masyarakat menilai bahwa seorang presiden harus memiliki tingkat pendidikan pascasarjana, 36% presiden minimal sarjana dan hanya 5% presiden minimal SMP SMA.

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!