YOGYAKARTA, MENARA62.COM– Praktisi pengajaran BIPA (Bahasa Indonesia bagi penutur asing) dari 10 negara ambil bagian dalam Simposium Internasional Pengajaran BIPA (SIPBIPA). Para praktisi tersebut berasal dari kawasan Asia, Afrika, Amerika, dan Eropa.
Mereka yang dihadirkan sebagai narasumber tidak sekadar untuk berbagi praktik baik pengajaran dan pengembangan bahan ajar BIPA, tetapi juga untuk membandingkan hingga menyelaraskan strategi pengajaran dan pengembangan bahan ajar BIPA dengan pegiat dan pengajar BIPA di Indonesia.
“Pemahaman para narasumber terhadap kondisi pengajaran BIPA di luar Indonesia itu, akan dimanfaatkan untuk meramu strategi pengajaran BIPA dan pengembangan bahan ajar BIPA lintas budaya yang mengacu pada karakteristik dan kebutuhan pemelajar BIPA,” papar Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Prof. Dr. Dadang Sunendar dalam siaran persnya, Rabu (23/8).
Dalam forum tersebut para narasumber diharapkan dapat bertukar dan mengharmonikan gagasan dengan pengajar dan pegiat BIPA di Indonesia, sebagai sesama pelaku diplomasi kebahasaan dan pendidikan. Tujuannya untuk merumuskan konsep pemanfaatan pengajaran BIPA lintas budaya guna memperkuat misi penyebaran bahasa negara dalam rangka mempertajam visi penginternasionalan bahasa Indonesia.
Menurut Dadang, pengajaran BIPA merupakan strategi terdepan untuk melaksanakan penyebaran bahasa negara dalam rangka meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional.
Tanpa intervensi formal dari pemerintah, pengajaran BIPA telah bergerak sendiri seiring dengan tingginya minat dan kebutuhan masyarakat internasional terhadap penguasaan bahasa Indonesia. Prakarsa dan partisipasi mandiri dari pengajar BIPA untuk menggerakkan roda pengajaran BIPA ini patut dihargai dan terus didorong dengan tetap meningkatkan mutu pelayanan pengajarannya.
Dikatakan Dadang, kualitas pengajaran diyakini akan terjamin jika ada upaya terpadu, sistematis, dan berkelanjutan untuk meningkatkan mutu pengajar dan perangkat pembelajaran, seperti kurikulum dan bahan ajar. Karena itu, Badan Bahasa berkomitmen untuk selalu mendorong dan mendukung penyelenggaraan forum-forum ilmiah ke-BIPA-an.
Dengan makin banyaknya forum-forum ilmiah di bidang pengajaran BIPA, Badan Bahasa berharap agar berbagai kendala pembelajaran BIPA dapat ditemukan solusinya dan bermacam inovasi dapat dikembangkan agar mutu pengajarnya makin terjamin serta sumber belajarnya makin beragam dan mudah diakses.
Dampak positif yang diharapkan dengan meningkatnya mutu pengajaran BIPA adalah makin bertambahnya jumlah penutur asing yang mampu berbahasa Indonesia dan makin luasnya wilayah penggunaan bahasa Indonesia di luar Indonesia.
Seminar dan Lokakarya (Semiloka) Internasional Pengajaran BIPA terakhir kali digelar di Jakarta pada 2007 oleh Badan Bahasa (pada waktu itu bernama Pusat Bahasa). Karenanya SIPBIPA 2017 yang mendapat dukungan dari Balai Bahasa Provinsi DI Yogyakarta kali ini sangat penting dan strategis.
SIPBIPA 2017 mengusung tema “Membingkai Mosaik Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing”. Dalam tema tersebut terkandung maksud bahwa beragam gagasan para pengajar dan pegiat BIPA berdasarkan pengalaman masing-masing merupakan mosaik konsep yang akan amat bermakna danbermanfaat apabila dikemas dalam satu gambaran dan pemahaman yang utuh dan menyeluruh tentang kondisi, potensi, kendala, dan tantangan pengajaran BIPA, baik di luar Indonesia maupun di Indonesia sendiri.
Selain Prof Dadang, simposium menghadirkan pembicara Kepala Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan, Prof. Emi Emilia, M.Ed., Ph.D. sedang pembicara yang merupakan praktisi pengajaran BIPA dari sejumlah lembaga penyelenggara program BIPA di sepuluh negara adalah Siriporn Maneechukate (Maejo University, Thailand), Gao Shiyuan (Beijing Foreign Studies University, Cina), Koh Young Hun (Hankuk University of Foreign Studies, Korea Selatan), Nguyen Thanh Tuan (University of Social Science and Humanities, Vietnam), Hara Mayuko (Osaka University, Jepang), dan Antonia Soriente (Università degli Studi di Napoli L’Orientale, Italia).
Lalu Christa Saloh-Foerster (Universität Bonn, Jerman), Tata Survi (Balai Bahasa Victoria, Australia), Tamrin Subagyo (Suez Canal University, Mesir), Margaretha Sudarsih (Defense Language Institute Foreign Language Center, Amerika Serikat), Indriyo Sukmono (Yale University, Amerika Serikat) dan Elisabeth Arti Wulandari (University of Montana, Amerika Serikat dan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta)