SEMARANG, MENARA62.COM — Peringatan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo, Selasa (5/7/2022) tentang kondisi sosial masyarakat pada pemilu 2024 agar tidak ada polarisasi di masyarakat, memang cukup berdasar. Pengalaman pada beberapa pelaksanaan pemilu terkahir, memperlihatkan segregasi yang memprihatinkan.
“Polarisasi tidak boleh lagi terjadi pada Pilpres, Pileg, dan Pilkada Serentak 2024,” kata Listyo Sigit Prabowo, saat Peringatan HUT Ke-76 Bhayangkara di Akademi Kepolisian Semarang, seperti dilansir situs Antaranews.com.
Polarisasi atau pecah belah antarmasyarakat, menurut Listyo, masih dirasakan hingga saat ini. “Hal ini sangat berbahaya bagi keberagaman dan kemajuan Indonesia,” katanya lagi.
Tidak heran, jika Listyo kemudian menegaskan, agar polarisasi tak boleh lagi terjadi pada Pemilu 2024. Pasalnya, konflik sosial dan perpecahan akan menjadi kemunduran bagi Bangsa Indonesia.
Kedewasaan
Problemnya, masyarakat dan partai politik serta termasuk juga politisi di dalamnya, belum punya “pemahaman” yang sama tentang politik. Di satu sisi, partai dan politisi tenang-tenang saja, dengan semua gaya serta ideologi yang dipasarkannya, disisi lain, masyarakat terlalu menganggap serius, apa yang dipasarkan oleh parpol, politisi dan tim kampanyenya.
Kedewasaan dalam berpolitik, tampaknya belum menjadi bagian dari kehidupan politik di Indonesia. Gejalanya, pemilu yang harusnya bisa menjadi bagian dari demokrasi untuk menggilirkan secara legal kekuasaan, sering menyisakan “permusuhan” mendalam. Disisi lain, publik yang seharusnya ikut menyelesaikan konflik politik dalam parlemen, sering membuat langkah ekstra parlementer. Langkah itu dilakukan untuk mendesakkan keinginan dan kepentingannya, yang dirasakan diabaikan oleh partai di parlemen.
Meski ada sumbatan dalam saluran kepentingan ke partai politik, yang diwujudkan dalam fraksi di parlemen, namun langkah ekstra parlementer sering dianggap sepi. Apalagi, jika langkah itu tidak membuahkan hasil. Untuk berhasil, aksi ekstra parlementer harus amat masif dan simultan. Ini pernah terjadi pada saat bergulirnya reformasi di Indonesia. Namun, biaya politiknya memang amat mahal.