25 C
Jakarta

Pontjo: Hidup Matinya Bangsa Ditentukan oleh Pendidikan

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo mengatakan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan tugas konstitusional yang menjadi tanggungjawab kita bersama. Pendidikan juga merupakan investasi yang akan menentukan masa depan dan kemajuan peradaban bangsa. Bahkan pendidikan merupakan persoalan hidup matinya seluruh bangsa (education is a matter of life and death for the entire of nation) .

“Kita semua tentu sepakat bahwa nasib bangsa ini sangat bergantung pada kontribusi pendidikannya,” kata Pontjo pada Bedah Buku berjudul Pendidikan yang Berkebudayaan karya Yudi Latief, pakar Aliansi Kebangsaan, Jumat (13/11/2020).

Dengan demikian sistem pendidikan nasional mengemban misi atau amanah masa depan bangsa. Hal ini pernah dikemukakan Daoed Joesoef (2001), bahwa sistem pendidikan nasional dituntut untuk mampu mengantisipasi, merumuskan nilai dan menetapkan prioritas dalam suasana perubahan yang tidak  pasti agar generasi mendatang tidak menjadi mangsa dari proses yang semakin tidak terkendali di zaman mereka dikemudian hari.

“Jangan menanti apapun dari masa depan karena kita sendirilah yang harus menyiapkan,” lanjut Pontjo yang juga Dewan Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bhakti.

Menurutnya dalam konteks menyiapkan masa depan tersebut, sistem pendidikan nasional kita tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh globalisasi. Kita tidak mungkin menghindari dari arus globlisasi dengan segala pengaruhnya termasuk penetrasi kebudayaan, yang begitu gencar sehingga tidak terhindarkan masuknya aneka ragam paham/ideology asing yang bertentangan dengan Pancasila dan nilai keindonesiaan. George Ritzerz dalam buku the Globalization of Nothing (2005) mengingatkan bahwa globalisasi budaya sangat berbahaya karena dapat menghilangkan idealisme suatu bangsa.

“Yudi Latief dalam buku ini menuliskan dengan pola dasar mentalitas Indonesia yg bersifat sintetis, seharusnya bangsa ini bisa menghadapi penetrasi globalisasi tersebut tanpa menimbulkan gegar budaya Ia juga menyarankan agar ada arus balik dari globalisasi (reverse globalization) seperti gangnam style Korea Selatan yang menembus Hollywood, India dengan industri film Bollywoodnya,” katanya.

Namun dengan kelemahan kepercayaan diri dalam karakter dan kapasitas nalar ilmiah kreatif, rasanya sulit bangsa Indonesia mengambil manfaat dari globalisasi atau jangan-jangan malah jadi korban.

Selain menghadapi penetrasi budaya melalui globalisasi tanpa kita sadari bangsa ini juga menghadapi medan pertempuran budaya.

“Diberbagai kesempatan saya mencoba menggugah kesadaran dan kewaspadaan kolektif kita bahwa perang generasi IV dewasa ini, untuk menghancurkan sebuah bangsa, lebih mengutamakan penggunaan senjata non militer (soft power) seperti penghancuran nilai, budaya, perusakan moral generasi masa depan bangsa, ekonomi, politik sert bidang kehidupan nasional lainnya,” jelas Pontjo.

Dalam konteks perang kebudayaan, kata Pontjo, saat ini sudah terjadi hegemoni budaya (cultural hegemony) oleh negara-negara tertentu atas negara-negara lain. Dalam konteks inilah pendidikan kita tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan. Sebagai wahana penyemaian nilai-nilai dan pembangunan budaya, pendidikan nasional sudah seharusnya tetap berakar kuat pada bangsa sendiri yakni pendidikan yang tidak meninggalkan akar sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia.

“Menurut hemat saya pendidikan yang tidak didasari oleh budaya bangsa akan menghasilkan generasi yang tercabut dari kebudayaan bangsanya sendiri. Pendidikan yang tidak menyatu dengan kebudayaan akan cenderung asing dan akan ditinggalkan oleh masyarakat. Hanya dengan pendidikan yang berakar pada budaya sendiri bangsa ini akan selamat menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian,” tukas Pontjo.

Keterkaitan pendidikan dengan kebudayaan juga semakin menemukan relevansinya, karena budaya merupakan faktor penentu keberhasilan (determinant factor) maju atau mundurnya sebuah peradaban bangsa.

“Signifikansi budaya  terhadap kemajuan sebuah bangsa dikemukakan Yudi Latief dalam bukunya ini dengan sangat komprehensif,” aku Pontjo.

Yudi Latief, dewan pakar Aliansi Kebangsaan

Gunnar Myrdal pada tahun 1968 melakukan studi mengapa faktor budaya menjadi kendala utama untuk mencapai kemajuan dan modernisasi di negara Asia Selatan seperti India, Paskitan, Bangladesh dan Sri Lanka. Tetapi di negara-negara lain di Asia Timur (Jepang, Korsel Taiwan) justeru menjadi kekuatan penggerak pembangunan, kemampuan ekonomi dan modernisasi. Bahkan Jared Diamond dalam bukunya Collapse (2014) menyatakan kepunahan satu peradaban antara lain dimulai dari cara pandang yaitu terkait sistem nilai atau budaya, dan cara-cara penyelesaian yang ditempuh oleh bangsa tersebut terkait dengan tata kelola seperti dicontohkan runtuhnya Uni Sovyet atau Yugoslavia beberapa tahun lalu.

Pendidikan tak lepas dari kebudayaan

Mengingat demikian sginifikannya peran budaya bagi kemajuan peradaban sebuah bangsa maka menurut Pontjo, pendidikan tidak bisa lepas dari kebudayaan karena pendidikan menurut Ki Hajar adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan. Hal ini juga disampaikan dengan sangat jelas oleh Yudi Latif dalam buku ini.

Dari perspektif budaya, menurut Pontjo, Indonesia adalah multikultural. Karenanya pendidikan nasional yang harus dikembangkan adalah pendidikan yang berwawasan multikulturisme.

“Dalam pandangan saya, pertautan antara pendidikan dan multikultur merupakan solusi atas realitas budaya bangsa Indonesia yang beragam sebagai sebuah proses pengembangan seluruh potensi yang menghargai pluralitas dan heterogenitas sebagai kosekuensi keragaman kebudayan, etnis, suku dan agama,” katanya.

Keberagaman budaya di Indonesia merupakan kenyatakan historis dan sosial yang tidak bisa disangkal dan dinegosiasikan oleh siapapun. Keunikan budaya yang beragam tersebut memberikan implikasi pada pola pikir, tingkah laku dan katrakter yang seringkali berbeda satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu pergumulan antar budaya memberikan peluang terjadinya konflik manakala tidak terjadi saling memahami dan menghormati satu dengan lain.

Proses untuk meminimalisir konflik ini memerlukan upaya pendidikan yang berwawasan budaya lebih khusus multicultural dalam rangka pemberdyaan masyarakat yang majemuk dan heterogen agar saling memahami dan menghormati serta membentuk karakter yang terbuka terhadap perbedaan.

“Dalam pemikiran saya, pendidikan adalah investasi masa depan dalam lingkungan yang penuh dengan ketidakpastian namun harus tetap berakar kuat dalam bangsanya sendiri,” kata Pontjo.

Buku ini diakui Pontjo merupakan karya paripurna yang sangat fundamental dan komprehensif. Yudi telah berhaisl menguraikan dengan meyakinkan dan mengesankan pentingnya pendidikan nasional berwawasan sejarah dan berwawasan budaya.

Dengan cakupan yang komprehensif, penjelasan yang mendalam, serta argumentasi dan relevansi yang kuat, menurut Pontjo, buku ini bisa jadi buku sumber, baik untuk kepentingan studi pendidikan dan budaya maupun panduan praktis dalam merancang membangun dan melaksanakan sistem pendidikan nasional.

Dhitta Puti, seorang aktivis pendidikan mengatakan buku ini agak sulit untuk dibaca oleh kalangan para guru. Karena untuk dapat memahami buku ini, pembaca harus lebih dahulu familiar dengan konsep-konsep pendidikan seperti karya Ki Hajar Dewantara.

“Tetapi membaca buku ini memudahkan orang untuk menarik benang merah tentang sejarah pendidikan Indonesia yang demikian kompleks. Buku ini memudahkan kita memahaminya,” kata Dhitta.

Hal yang sama juga dikemukakan Cendekiawan Azyumardi Azra. Ia menilai bahwa buku karya Yudi Latief ini mampu memprovokasi pembaca untuk melakukan terobosan-terobosan pada pendidikan nasional.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!