JAKARTA, MENARA62.COM – Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB) Pontjo Sutowo mengatakan perlunya kesadaran kolektif kita bersama akan pentingnya memperkokoh Budaya Bangsa dalam era globalisasi dan ancaman perang modern dewasa ini yang dikenal sebagai Perang Generasi-IV. Karena kita tidak mungkin menghindar dari arus globalisasi dengan segala pengaruhnya termasuk penetrasi kebudayaan yang begitu gencar.
“Penetrasi kebudayaan itu bisa yang dilakukan dengan cara damai atau penetration pasifique maupun penetrasi kekerasan atau penetration violant, sehingga tidak terhindarkan masuknya aneka-ragam budaya asing yang bertentangan dengan Pancasila dan nilai-nilai ke-Indonesiaan,” kata Pontjo saat memberikan sambutan pada pembukaan Diskusi Kelompok Terarah (DKT) bertema Pendidikan sebagai Wahana Mengokohkan Budaya Bangsa hasil kerjasama antara Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dengan YSNB, Aliansi Kebangsaan, dan Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri (FKPPI), pekan lalu.
Diakui Pontjo, pada saat yang bersamaan, seperti telah kita ketahui bersama, ranah budaya juga telah menjadi salah satu “medan tempur (battle-field)” dari Perang Generasi-IV dewasa ini dalam rangka menghancurkan sebuah bangsa dari dalam dirinya sendiri (self distruction).
“Dalam konteks perang kebudayaan ini, bahkan tanpa kita sadari, saat ini sudah terjadi hegemoni budaya (cultural hegemony) oleh negara-negara tertentu atas negara-negara lain,” ujar Pontjo.
Selain karena alasan-alasan tersebut, urgensi mengokohkan budaya bangsa menurut Pontjo, juga didasari oleh kesadaran bahwa budaya sangat erat kaitannya dengan kemajuan sebuah bangsa. Studi untuk mengetahui hubungan antara budaya dan pembangunan atau kemajuan suatu bangsa/negara sudah lama menjadi fokus perhatian berbagai kalangan.
Pontjo menambahkan, dari berbagai studi yang sudah dilakukan oleh para pakar peneliti telah ditemukan bahwa budaya merupakan faktor penentu keberhasilan (determinant factor) maju atau mundurnya suatu bangsa. Bahkan, UNESCO sudah sampai pada kesimpulan bahwa budaya adalah sebagai peluang untuk mengembangkan, menggerakkan, dan menghubungkan pembangunan yang berkelanjutan. Pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan memegang peranan sangat penting di sini, karena pendidikan pada dasarnya dapat membentuk kebudayaan itu sendiri.
Sementara itu, Rektor Unesa Nurhasan dalam kata sambutannya mengharapkan DKT ini dapat melahirkan pemikiran-pemikiran strategis tentang pendidikan Indonesia ke depan. Yakni pendidikan Indonesia yang visioner yang tetap berakar kuat pada nilai-nilai budaya Indonesia.
Beberapa hal yang penting yang harus digarisbawahi adalah seperti membasiskan kebudayaan dalam pendidikan, peran perguruan tinggi sebagai pusat kebudayaan, peran guru dalam membentuk kebudayaan nasional di tengah gempuran budaya global.
“Dan yang tidak kalah penting adalah bagaimana menyiapkan atau beradaptasi dalam proses belajar dalam era pandemi ini, apakah perlu kurikulum yang dipadatkan atau ada kurikulum adaptasi dalam era pandemi,” ujarnya.
Baca juga:
- Pontjo Sutowo Ingatkan Proses Pendidikan Tak Boleh Abaikan Kebudayaan
- Sejumlah Pengamat Angkat Bicara, Ini Urgensi Revisi UU Sisdiknas
- Pendidikan Nasional Terpuruk, Revisi UU Sisdiknas Mendesak
Muchlas Samani, Rektor Unesa periode 2009-2014, mengatakan bahwa pendidikan itu prosesnya dilakukan saat ini, tetapi untuk menyiapkan anak-anak kita ke depan. Karena kita dididik di masa lalu, tidak bisa pengalaman kita dulu tersebut langsung diaplikasikan sekarang untuk masa depan.
Mengutip pendapat para pakar pendidikan, maka dalam rangka menyusun revisi UU Sisdiknas harus berpijak dalam dua hal yaitu pertama seperti apa kira-kira konfigurasi dunia ini 20 tahun yang akan datang, ujarnya. Ketika anak-anak kita sudah selesai sekolah dan terjun ke masyarakat untuk berpartisipasi sebagai anak bangsa ini. Kedua adalah kemampuan dan karakter seperti apa yang perlu disiapkan dan dikembangkan agar dia mampu berperan sangat baik ketika dia sudah dewasa.
Muchlas melanjutkan, seperti apa profil anak bangsa yang kita impikan? Jawabnya adalah “orang Indonesia” yang berdaya dalam era knowledge based economy-society bukan “orang asing” yang hebat dan tinggal di Indonesia. Yang dimaksud oleh “orang Indonesia” adalah yang berperan aktif mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka sesuai pembukaan UUD 1945. Cirinya adalah melindungi bangsa dan tumpah darah (nasionalisme, patriotisme), memajukan kesejahteraan umum lahir-batin (keadilan sosial), mencerdaskan kehidupan bangsa (bangsa yang cerdas), dan melaksanakan ketertiban dunia (diplomasi yang berkeadilan).
“Pendidikan adalah proses pembudayaan membentuk menjadi “orang Indonesia” agar tidak menjadi “orang asing” di negerinya sendiri,” tukas Muchlas.
Sementara itu Ahmad Rizali, ketua bidang Pendidikan NU Circle, berkaitan dengan pertanyaan bahwa pendidikan sebagai pembentuk kebudayaan yang berarti guru adalah agen pembentuk budaya, mengatakan bahwa target perbaikan mutu hasil belajar murid Indonesia yang rendah (dari capaian PISA dan AKSI) akan sulit dicapai jika mutu guru tidak diperbaiki dengan seksama dan tepat. Karena guru langsung di bawah komando Kabupaten/Kota maka seringkali mereka dikooptasi dan terpaksa terlibat dalam politik lokal yang menyulitkan pengembangan diri mereka secara berkelanjutan.
Meminjam gagasan didirikannya Badan Pengelola Hilir (BPH) Migas dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mungkin ada baiknya didirikan Badan Pengelola Guru (BPG) yang memiliki otoritas semua kebijakan yang terkait dengan urusan guru sejak dari PreServis (pendidikan di LPTK) hingga Inservis (mengajar), perlindungan dan pensiun serta guru tidak tetap (honorer).
“Ditjen GTK dapat memainkan peran seperti Dirjen Migas dan Provinsi/Kab/Kota seperti perusahaan-perusahaan migas. Dengan adanya BPG, semua kebijakan tentang Guru dapat dikelola terpusat namun dalam pelaksanaan sangat kontekstual/lokal dan kurang dipengaruhi urusan politik,” jelasnya.
Ki Darmaningtyas dari Tamansiswa mengutarakan kekawatirannya tentang adanya RUU Cipta Kerja yang mengadopsi beberapa pasal dalam pendidikan namun menghilangkan frasa tentang kebudayaan. Ini dapat membuat ruh kebudayaan akan hilang dari pendidikan dan ditakutkan pendidikan hanyalah sebatas pendidikan saja bukan lagi sebagai pembentuk budaya. Lebih lanjut lagi hanya dikaitkan dengan tenaga kerja saja.