Oleh : Vitria Lazzarini Latief
Beberapa waktu lalu kita dihebohkan dengan kasus prostitusi daring yang melibatkan artis. Ada juga bahkan kasus anak sebagai pekerja seks yang terbongkar belum lama ini di Jawa Barat. Persoalan prostitusi sebetulnya bukan kali ini saja terjadi. Sepanjang tahun 2018 kepolisian telah berhasil membongkar jaringan prostitusi daring di berbagai wilayah Indonesia.
Bermunculannya kasus prostitusi daring telah membuka mata bahwa prostitusi menjadi semakin dekat dengan masyarakat. Jika 20 tahun lalu, pengguna jasa prostitusi harus ke lokalisasi, menempuh jarak sekian kilometer, berpapasan dengan banyak orang, serta melawan rasa takut diketahui, atau istilah jaman sekarang terciduk oleh orang yang mereka kenal. Saat ini, mereka bisa dikatakan jauh lebih “mudah, nyaman, dan terjamin kerahasiaannya” karena dapat dilakukan melalui gawai yang dimiliki. Dengan kata lain, hanya sejangkauan jari. Perkembangan dunia digital, telah disalahgunakan untuk memudahkan akses terhadap prostitusi.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia, dimandatkan pemerintah untuk menanggapi dan menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. Lembaga ini menyatakan, prostitusi sarat dengan nuansa kekerasan. Lebih lanjut Komnas Perempuan menyatakan, hasil dari pemantauan dan pendokumentasian menunjukkan, perempuan yang terlibat dalam industri prostitusi merupakan korban perdagangan orang. Mereka perempuan dalam kemiskinan, korban eksploitasi dari orang terdekat, perempuan dalam jeratan muncikari, bahkan bagian dari gratifikasi seksual (memberikan hadiah berupa pemuas seks).
Lantas, pertanyaan yang muncul kemudian, jika memang sebagai korban mengapa mereka bisa tetap beraktivitas bebas? Jika mereka korban, mengapa berbelanja barang mewah? Jika mereka korban, mengapa mereka meminta untuk terlibat?
Penanganan korban, baik anak maupun remaja dalam dunia prostitusi, bukanlah mudah dan sederhana. Persoalannya tidak sesederhana seperti menjawab soal matematika yang jawabannya pasti. Jika ditilik dari aspek psikologis, pengalaman menjadi korban kekerasan, utamanya kekerasan seksual, bisa saja melatarbelakangi seseorang terjebak dalam prostitusi.
Pengalaman kekerasan, utamanya kekerasan seksual, baik dalam bentuk pelecehan, pemaksaan, eksploitasi, maupun manipulasi, dapat membuat seseorang kehilangan penghargaan terhadap dirinya. Jika kondisi ini tidak didukung oleh sumber daya pribadi, seperti ketangguhan dan kemampuan untuk memecahkan masalah yang efektif, serta sumber daya lingkungan yang peduli dan mendukung, tentu tekanan yang dihadapi akan terasa semakin berat.
Kondisi itu ditambah lagi dengan nilai yang ada di masyarakat yang menjunjung tinggi kesucian perempuan, serta adanya penghayatan bahwa hanya perempuan baik yang akan mendapatkan laki-laki yang baik. Tentu, hal ini akan semakin meningkatkan perasaan frustrasi, buntu, tidak memiliki pilihan sehingga membuatnya semakin sulit untuk menghindar atau keluar dari jeratan prostitusi. Mereka yang terjebak dalam prostitusi menunjukkan dampak psikologis berkepanjangan.
Dampak ini mempengaruhi seluruh aspek kehidupannya. Perasaan bersalah, takut, malu, kehilangan harga dan kepercayaan diri, perasaan tidak berdaya, frustrasi, kemarahan, bahkan sampai merasa hilang rasa. Itu adalah beberapa emosi negatif yang dirasakan oleh mereka yang terjebak dalam dunia prostitusi.
Ketika berinteraksi dengan orang lain, korban kuat tertampil ketidakpercayaan dan cenderung tertutup. Secara tampilan umum, bisa saja mereka menampilkan pribadi yang penuh percaya diri dan ceria, namun dalam dirinya sangat bertolak belakang. Tuntutan pekerjaannya, mengharuskan mereka tampil menyenangkan, baik ketika dilihat maupun ketika diajak bicara. Kondisi ini membuat mereka banyak menutupi keadaan diri yang sesungguhnya. Hal ini harus dilakukan, karena ketidakpuasan pengguna jasanya dapat berdampak fatal pada keselamatan mereka.
Pengalaman dalam penanganan korban prostitusi selama ini menunjukkan, perlunya keterlibatan lintas profesi dan sektor. Pelibatan ini bertujuan agar tidak melulu berfokus pada satu aspek yang dianggap menjadi sumber utama penyebab seseorang menjadi korban prostitusi. Pendekatan medis, psikologis, dan spiritual, perlu diiringi dengan aspek pemberdayaan. Aspek itu meliputi pendidikan, peningkatan ketrampilan, serta penguatan komunitas yang mendukung upaya pemulihan dan pemberdayaan.
Orangtua saat ini khawatir, bagaimana menghindarkan anak dari jeratan prostitusi, baik sebagai pelaku maupun pengguna, terlebih saat ini hampir semua anak mahir menggunakan gawai. Berikut cara menghindarkan anak dari jeratan protitusi:
- Sampai saat ini kedekatan antara orang tua dan anak tetap menjadi kunci utama. Kedekatan akan membuka jalur komunikasi dua arah antara orangtua dan anak. Kedekatan memungkinkan orangtua untuk memantau anak secara langsung, serta memungkinkan untuk mengarahkan anak. Kedekatan juga membuat anak percaya kepada orangtuanya. Kedekatan juga memungkinkan orangtua untuk mengenali apa yang menjadi trend, apa yang sedang meresahkan, serta apa yang menjadi keinginan anaknya. Kedekatan membuat anak menghabiskan banyak waktu dengan orangtua dibandingkan dengan gawai miliknya.
- Selain kedekatan, latih kemandirian dan sikap asertif anak agar ia mampu mengembangkan konsep diri yang positif.
- Dampingi anak ketika ia menghadapi kesulitan dalam hidupnya sesederhana apapun masalah yang mereka alami. Dengan demikian, anak dapat belajar mengatasi permasalahannya secara mandiri dan mengetahui bahwa Anda selalu ada bersamanya.
- Pengawasan dalam penggunaan gawai dan mengajarkan berinternet sehat juga menjadi penting. Dampingi anak ketika mengerjakan tugas, beri batasan dalam berinternet, ajari apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam berinternet, dan sampaikan tentang hal-hal yang perlu diwaspadai dalam berinternet.
Penulis : Vitria Lazzarini Latief, Senior Consultant Global Leadership Indonesia