26.7 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan (bagian 55)

Baca Juga:

#Cita-cita Boleh Saja Tidak Sama.

Mentari mulai meninggi. Terasa panas di pori-pori. Ketika kami bertiga turun dari mobil sejuta umat itu. Semula ragu. Jika tidak ada teman wali yang menengoknya. Untung ada temannya. Ragu? Ya, lebih upaya menjaga perasaan santri lain, jika Rohman kelihatan ditengok sendiri. Meski mereka, para santri diam. Namun batinnya pasti menjerit. Berontak. Kami empati. Karena ada temannya, kami jadi merapat. Meski tidak dengan langkah mantap. Apalagi sigap. Tetap saja ada sesuatu rasa yang tidak “lepas”.

Namun melihat sikap para ustadz lebih well come, kami masuk. Meski tetap di pinggir lapangan. Pojok. Agar tidak mencolok. Kami datang membawa sedikit bekal minum. Tepatnya tambahan minum untuk teman-teman Rohman. Haus pasti usai main bola. Khawatir tidak cukup, kami lebihkan. Juzz jambu yang dibuat istri tadi pagi lepas subuh. Karena pemain cukup banyak, aku mengamati pertandingan dibuat gelombang. Rohman aku lihat dapat gelombang dua. Kami datang, dia masih main. Biasa posisi di sayap gantung. Bukan striker murni. Mungkin pelatihnya paham, tubuhnya relatif kecil, kalah desak dengan lawan yang ada diposisi defender. Sayap gantung, lebih untung. Dia punya peran memberikan assit. Umpan kepada striker murni yang ada di mulut gawang. Aku masih bisa lihat lari Rohman memang masih gesit.Ligat. Kadang meliuk-meliuk seperti layang-layang putus. Karena terlalu lama mengolah si kulit bundar, kadang pelatih atau teman satu team setengah berteriak :”Umpan-umpan..”

Namun, tidak tahu ujung pangkalnya, saat aku mau keluar dari jok depan. Rohman sudah berhambur ke kami. Rupanya saat di lapangan tadi dia lihat kami datang. Padahal sudah pelan-pelan. Melipir. “Sudah ijin pelatih,le?” tanya istri, sambil mengeluarkan es juz dari dask-board samping. Langsung disambarnya. Tandas. “Pelatih yang nyuruh,” katanya masih ngos-ngos-an. Nafasnya naik turun. Keringat membanjiri keningnya. Rambut ikal nya lagi-lagi tidak teratur. Seorang jarang disisir. Percakapan akhirnya tak terbendung, lagi-lagi dengan ibunya. Aku hanya menyela, sekali dua. Itupun setelah aku pikir bukan pertanyaan penting. Asal nanya. Sementara Fauzan, tanpa ekspresi ketemu adiknya. Landai. Flat. Meski beberapa kali aku goda, “Ini adik, mas,” Namun Fauzan kembali asyik dengan dirinya sendiri. Aku memaklumi. Rohman justru yang mengajak salaman kakaknya. Namun Fauzan, tetap tanpa ekspresi kangen. Datar. Rohman-pun memahaminya.
“Capek?” pertanyaan istri mengawali. Yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan.
“Biasa saja, bu,”
“Lah, minumnya langsung habis,”
“Haus,”
“Pingin jadi pemain bola?” gantian aku.
“Ahli IT, pak,”
“Ahli IT, tapi hafidz ya?” istri menyela
“Maka besok carikan pondok yang ada IT,”
“Tapi IT itu ada masanya,” istri
“Maksudnya?”
“Memang sekarang sedang diatas, tapi ada saatnya IT akan habis,”
“Masak?” Rohman, mendongak
“Iya, semua akan kembali ke alam, ke masa lalu,”
” Padahal, aku pingin jadi hacker,”
“Oh, apa itu le?” istri bertanya aku lihat, ibunya falah kurang faham dengan profesi yang satu ini. Sehingga aku lihat dahinya sedikit mengkerut. Tanda kurang setuju.
“Mencari data orang lain, yang mau berbuat jahat,” jawab Rohman.
“Apa tidak yang lain saja, le?” istri, mulai khawatir.
“Gak papa kok. Justru membantu negara,” katanya Rohman berkilah.
“Kalau bapak?” lagi Rohman bertanya, kali ini sambil pinjam HP yang aku bawa.
“Aku sih, pinginnya jadi guru ngaji saja, mendalami. Jadi kamu bisa fokus,”
Prit..priit..terdengar peluit pertanda pertandingan bola sesi atau gelombang 3 dimulai. Rohman aku minta berbaur dengan teman-temannya. Aku gak enak terlalu lama bersama kami. Dia menggangguk. Tanpa penyesalan. Lari cepat. Bak busur lepas dari sarangnya. Dalam hitungan menit sudah sampai lapangan hijau.
Kami menghela nafas. Panjang. Mohon ampun. Mengapa berpikir terlalu jauh? (bersaambung)

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!