26.2 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan (bagian ke-15 )

Baca Juga:

Kiat Menjaga Hafalan

Dua minggu di rumah, Rohman bilang terasa cepat. Aku sendiri juga merasa sama. Tapi istri bilang, lama. Alasannya khawatir tidak bisa menjaga hafalan dengan baik. Karena konon hafalan bisa hilang kalau tidak sering dibaca. Dalam bahasa agama disebut murajaah. Pernah satu hari HP kami simpan. Tepatnya kami sembunyikan. Rohman cemberut. Muram durja.

“Kan cuma di rumah saja bu. Nanti kalau sudah di pondok, sudah gak kok. Yakin,” rengeknya meminta. Akhirnya aku juga yang luluh. Memberinya. Padahal istri kekeh tidak usah diberikan.

Pelan-pelan Rohman saya dekati dengan hati. Saya tanya, kenapa kalau di rumah kok bawaannya main HP terus dan game yang dicari. Belakangan aku tahu game yang berbayar. Saling jual beli permainan dengan HP. On Line. Jawabnya singkat, “Ya senang saja. Biar gak suntuk pak.”

Akhirnya aku temukan cara untuk mengalihkan dari permainan HP, dengan bersepeda. Kebetulan sejak kecil dulu usia MI awal, dia sudah senang bersepeda. Maka jadilah hampir setiap pagi, disisa waktu liburan di rumah, aku ajak dia sepeda-an. Disepanjang jalan dia bisa melihat pemandangan indah. Tak jauh beda dengan lokasi pondoknya yang jauh dari keramaian kota.
“Hampir sama dengan pondok ya pak. Suasana desa,” katanya masih diatas sedel sepedanya.
“Iyalah. Namanya juga desa. Cuma bedanya, kampung kita gak banyak pohon jati-nya le,”
“Bapak setiap hari sepedaan sama ibu?”
“Ya gak setiap hari, paling Sabtu Ahad, le?”
“Bapak pake sepeda yang besar, punya simbah kakung itu, atau pake punyaku?
“Pake punya mbah kakung. Sepeda onta le. Masih enak kok. Sekali kayuh, jauh jangkauannya. Cuma memang agak berat.”
“Jauh-jauh ya pak rute-nya.”
“Gak juga le, yang penting berkeringat.”
“Memang di pondok gak bisa sepedaan le?”
“Gaklah. Paling main bola, badminton, ping pong atau panahan.”
“Kamu kalau tidur, sampai larut gak, seperti kalau di rumah. Pasti tivi-nya yang menemi kamu tidur duluan.”
“Maksimal jam 10 malam pak. Sudah harus tidur. Kalau tidak bisa kena hukuman. Meskipun ustadz tidur di kamar bersama santri tapi ada CCTV yang bisa untuk memantau.”
“Pokoknya kamu harus taat sama aturan di pondok, le. Gak boleh macem-macem. Membantah. Semua itu demi masa depanmu. ”
“Biasa menghafal kapan le, yang efektif.”
“Habis subuh dan sore hari menjelang maghrib.”
” Jadi habis subuh tidak tidur ya le?”
“Gak lah. Makruh hukumnya pak. Bapak sering yaaa.”
“Pernah, tapi gak sering. Tahu kok mudharatnya. Banyak. Lemes. Gak semangat dan rasanya harinya pendek. Tahu-tahu sudah dhuhur, sudah siang. Padahal belum ngapa-ngapain, Berhenti dulu le.”

Kami berhenti. Bertiga. Fauzan kakaknya Rohman sengaja tidak ikut. Gak kuat kalau harus boncengkan. Sedangkan naik sepeda sendiri belum bisa. Padahal sudah lulus SMA. Gak papa. Kami sekeluarga memakluminya.
Setelah minum dan makan snack secukupnya. Aku tanya mau makan di mana? Soto atau bakso? Pilihnya yang garingan. O, kesukaannya belum berubah meski sudah di pondok. Saat istirahat itu, saya coba tanya beberapa ayat dalam Al-Quran untuk menyambungnya. Ternyata bisa. Juzz 2.
“Juzz 29 atau juz amma tetap sering dibaca lho le. Gak boleh disepelekan.”
“Iya lah. Juzz 30 dan 29, aku sering baca pak, paling sekali dua kali saja. Untuk menjaga hafalannya.”
“Kamu kalo ngaji kok cepet banget bacaannya. Bagaimana dengan mahrajnya le?”
“Kata Ustdaz yang penting hafal dulu, nanti sambil jalan mahraj-nya dibetulkan,”
Aku dan istri hanya manggut-manggut saja mendengar penjelasannya. Sebelum melanjutkan perjalanan, aku usap rambutnya. Aku tarik tangannya untuk berdiri. Padahal sesungguhnya dia kuat berdiri sendiri. Biar nampak akrab saja. (bersambung….)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!