# Beda, Bahagia dan Sejahtera.
Aku sendiri agak lupa, teori ini aku dapat sejak dibangku SMP atau SMA. Kalau SD, aku kira kok belum. Apa itu? Yakni perbedaan bahagia dan sejahtera. Apa yang membatasinya. Karena memang beda defisinya. Yang aku tangkap dan masih menjadi bagian dari lilitan memori di otak kecilku, kalau indikator bahagia lebih kepada urusan hati. Senang, enjoy. Ceria. Sedangkan kalau sejahtera lebih kepada urusan materi. Mempunyai kendaraan, rumah mewah, pendapatan cukup dan prasarana lainnya tercukupi. Mungkin anda mempunyai pemahaman yang berbeda? Silahkan.
Dari sini, memang idealnya kalau bisa mencapai pada level bahagia dan sejahtera. Dua kata yang sering disandingkan. Namun jika tidak, minimal bahagia. Meski dalam kenyataannya, karena parameter bahagia itu di hati, di dada, maka tidak setiap orang bisa menilainya dengan kasat mata. Ada orang yang kelihatannya tidak sejahtera, tetapi ternyata batinnya bahagia. Begitu sebaliknya. Bagaimana dengan agama kita memahaminya? Jika bahagia itu terminologinya akhirat dan sejahtera itu dunia, maka boleh saja kita menikmati sejahteranya dunia, asal tidak melupakan bahagianya di akhirat. Syukur-syukur kesejahteraan ini menghantarkan kita kepada kebahagiaan yang abadi. Yang dalam bahasa agama di sebut dengan : khalidinna fii-ha abada. Kok jadi kesannya ngajari, ya?. Gak kok. Sharing saja.
Membiayai sekolah. Kuliah. Mondok. Pendeknya disemua jenjang. Bagi sebagian orang, dianggap kecil. biasa, sudah menjadi kewajiban sebagai orang tua. Namun bagi sebagian lain, yang maaf penghasilan pas-pasan, pas ada, pas tidak ada. Maka akan dipandang sebagai sesuatu yang memberatkan. Untuk makan harian saja, susah, kok untuk biaya sekolah. Mana mungkin bisa? Di sinilah sering Gusti Allah pamer kekuasaan-Nya dengan memberikan jalan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan aku termasuk yang yakin itu.
Jika kita membantu orang lain, saudara kita dengan ikhlas, maka dalam waktu yang bersamaan kita juga akan dibantu oleh-Nya dengan tangan kekuasaan-Nya. Cerita sedikit. Waktu awal bekerja, masih kost. Belum berkeluarga. Tidak bermaksud pamer. Namun lebih menunjukkan begitu mudahnya kalau jalan keluar itu dibuka.
Begini : Ada teman satu kost, yang ada giat wisata di sekolahnya. Waktu itu tour de-Jakarta. Ibu kota. Biaya masih belum banyak, seperti sekarang. Masih dibawah lima puluh ribu. Tahun berapa ya? Aku lupa persisnya. Mungkin masih tahun 1990-an. Teman tersebut sudah hampir putus asa. Gak ikut. Risikonya, membuat karya tulis di Yogyakarta. Memang tidak sampai pemecatan. Aku putuskan untuk membantunya. Aku masih ingat banget, aku bantu 32 ribu waktu itu. Nominalnya kecil untuk ukuran sekarang. Tetapi lumayan untuk, tahun itu. Bayar kos masih 10 ribu/bulan.
Tentu dia girang bisa ikut tour bersama teman-temannya. Melihat rona mukanya gembira, maka akupun ikut senang. Bahagia. Padahal secara materi aku “kehilangan” uang 32 ribu. Kok bahagia? Tidak ada yang tahu, karena di hati. Di dada. Dia berangkat ke ibu kota. Tidak lama berselang. Belum juga dia kembali dari wisata-nya, aku dapat kabar kalau tulisan-ku di koran dimuat dengan honor 64 ribu. Yang berarti 2X lipat. Sebenarnya masih banyak cerita-cerita empiris yang mengisnpirasi kita bersama, bagaimana sejatinya justru dengan membantu orang lain itu, kita akan merasa bahagia. Siapa orang lain? Bisa keluarga. Istri, suami, anak. Orang tua, tetangga, teman, relasi bahkan kepada orang yang baru kita kenal atau tidak kita kenal sekalipun. Bukankah Allah Maha tiliti perhitungannya. Membantu tidak harus terlalu pilih-pilih dan hitung-hitung.
Itulah sharing soal beda bahagia dan sejahtera. Dimataku. Yang jelas, hidup yang hanya sekali-kalinya ini, mari jangan sampai kita salah jalur. Mengejar kesejahteraan semata yang kasat mata, lupa dengan tujuan akhir hidup, yang justru kekal tadi, yakni surga-Nya Allah. Yang mata belum pernah melihat, hati belum pernah merasakan. Hanya sebatas digambarkan kalau di surga itu dibawahnya mengalir sungai-sungai. Tetapi apakah sama dengan sungai yang ada di dunia ini? Wallahu ‘alam disawab. Termasuk kita akan ditemani bidadari yang suci dan mensucikan.
Menyekolahkan anak, mari kita niatkan untuk menggapai kebahagian hidup. Tidak saja di dunia, namun juga di akhirat. Memang berat dan tidak mudah. Yakinlah kalau memang niat kita semata mencari dan menggapai ridha-Nya akan diberikan kemudahan. Selamat menjemput bahagia dan sejahtera. Itu yang pernah aku obralkan kepada Rohman beberapa hari jelang dia pergi nyantri di pondok diatas bukit itu. Maksudnya agar dia lapang ketika menghadapi situasi yang membuatnya belum bahagia atau sejahtera. Dan satu lagi yakin akan pertolongan-Nya, jika kita selalu dekat dengannya.
“Bapak kok punya cerita banyak,e,” sela Rohman. Menyeringai, hingga kelihatan gigi susu-nya
“Kan bapak sudah tua, jadi pernah muda, punya pengalaman hidup. Rohman satu saat akan mengalami hal sama,” jawabku.
“Makasih, pak,”
“Sama-sama,” dalam hitungan menit Rohman sudah lari dan berbaur dengan teman-teman sebaya di belakang rumah. Main bola. Tanpa sepatu dan kostum. Tapi dia nampak bahagia. (bersambung )
bagian 50 < bagian 52