27.8 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan (bagian ke-50)

Baca Juga:

# Saatnya Minta Sepatu Bola.

PPK Mandiri darurat yang terus diulur pemberlakuannya oleh pemerintah berdampak di pondok. Minimal kunjungan wali santri menjadi lebih dibatasi. Karena bagaimanapun meski kami ini, para wali santri secara emosional hampir setiap saat hatinya selalu menyambung dengan pondok, namun secara fisik, jelas kami orang luar. Sehingga kedatangannya ke pondok, antara boleh dan tidak. Kalaupun toh kami bisa ke pondok dengan alasan mengantar pesanan anak, pasti waktunya sangat terbatas. Dan rasanya tidak enak dengan santri yang lain.
Maka, lewat petugas pondok kami ingin tahu apa yang ingin Rohman kirim. Mengingat wali tidak bisa bebas jenguk, seperti sebelum pandemi Covid-19 menjadi pembatas aktivitas kita semua ini.
Nada HP kami bergetar. Sreet. HP aku buka, ternyata pesanan Rohman, tertulis. Cukup banyak. Yang tidak ketinggalan adalah vitamin atau tepatnya susu peninggi tubuh. Namun kali ini, ada satu yang tidak biasanya diminta, sepatu bola.
“Bapak, aku minta sepatu bola. Jawab lewat dulu saja,” katanya.
“Ups, minta sepatu bola?” batinku.
Memang main bola adalah salah satu passion-nya. Secara dia MI, aku bisa lihat bakatnya. Maka aku pernah masukkan ke klub bola lokal untuk eksplorasi dan penetrasi kemampuannya mengocek di kulit bundar. Beberapa kali ikut turnamen hingga luar kota. Maka sampai mencari pondok saja, yang ada ekstra bolanya. Aku ikuti saja.

Namun kali ini, dia minta sepatu bola lagi, yang harganya tentu diatas 300 ribuan. Sementara usahaku seret dihantam wabah Covid-19. Tapi aku tidak boleh kelihatan sedih apalagi menekuk wajah di hadapannya. Toh rejeki kita diminta untuk menjemputnya.
Maka tidak lama berselang, permintaan sepatu itu aku balas. Kemudian aku kirim kepada Rohman. Lewat surat. Surat panjang. Satu lembar bolak balik, penuh. Curhatan aku dan ibunya. “Assalamualaikum…salam sayang Rohman di pondok atas bukit Pajangan. Sehat le. Semoga. Bapak dan Ibu, keluarga juga sehat. Alhamdulillah. Terkait permintaanmu sepatu bola lagi. Coba Rohman sendiri yang mengalami. Apakah sepatu tersebut menjadi kebutuhanmu. Atau masih bisa pakai sepatu yang kemarin? Jika harus beli, karena rusak. Jebol. Saran pelatih harus ganti, ya bapak siap. Bapak akan usahakan, bagaimanapun caranya. Tentu yang halal. Kemarin kamu cerita belum lama membeli sepatu bekas punya teman sepondok, yang harganya lebih murah. Tetapi kalau sekarang sudah jelek. Rusak, harus ganti. Sekali lagi bapak siap. Sudah dulu, selanjutnya diganti ibu……” itu diantara surat pendekku, terkait dengan permintaannya sepatu.

Memang, jika diingat lagi pernah Rohman aku belikan sepatu bola. Rusak. Karena dipakai dipondok. “Pak sepatunya aku jual. Ada adik kelas yang pingin. Terus aku beli sepatu punya kakak kelas. Harga cuma 15 ribu,” kata Rohman waktu itu. Ups, sudah berani transaksi jual beli. Meski sebatas di pondok.

Sepatu dipakai resminya setiap Sabtu pagi. Karena aku sering lihat langsung saat Rohman main boleh di lapangan, di luar pondok jaraknya sekitar 550 meter. Kini aku masih menunggu balasan Rohman terkait permintaan sepatu bola.

Aku sudah mulai berpikir, Rohman juga sudah mulai beranjak remaja. Mulai aku ajak berpikir. Mana yang harus dibeli. Ini kebutuhan atau hanya sekedar keinginan. Biasanya kalau ada permintaan kebutuhan tambahan dari pondok, maka ritme bekerjaku makin tinggi. Aku seperti tidak punya rasa capek. Ada saja pekerjaan tambahan yang aku lakoni. Orang luar, tetangga mungkin memandang aku pegawai kantor, sehingga tidak kesulitan dalam ekonomi keluarga.

Namun tetangga sering lupa, pandemi ini menghantam hampir disemua sektor. Termasuk aku yang punya pekerjaan tambahan sebagai AE. Account Executif.  Mudahnya sebagai  tenaga pemasaran. Maka harus gigih mencari relasi. Kadang rasa malu aku buang jauh-jauh. Atau kalau tidak aku kubur dalam-dalam. Ditolak relasi adalah makanan keseharian. Sakit hati? Biasa. Semuanya aku telan sebagai vitamin yang menyehatkan.

Semua paham hampir semua dinas ber-plat merah, anggaran publikasinya diswitch ke penanganan Covid-19. “Maaf mas, tidak ada ILM atau Talkshow,” kata staf kantor berplat merah. Yang berulang kali aku datangi. Kadang langsung, sering lewat WA. Bahkan ada beberapa UMKM sekelas ruko berjejaring, semacam geprek, yang aku WA tidak berbalas.

Namun aku tidak kunjung patah arang. Aku berprinsip dari sekian puluhan UMKM pasti ada yang “nyangkut“. Karena rejeki sejatinya sudah dibagi-bagi oleh yang di Atas. Namun kita sebagai manusia diwajibkan untuk menjemputnya. Tidak boleh berdiam diri. Hukum sebab akibat tetap berlaku dalam Islam. Konon, hasil tidak akan mengingkari dari usaha kita.
Benar juga. Jaring ikan aku nyangkut di sebuah rumah makan yang cukup besar. Meski usaha ini tidak berjejaring namun ternyata mempunyai konsen terhadap promosi. Mereka, sebut Mbak Nila rela menyisihkan keuntungan usahanya untuk promosi. Meski dimasa pandemi. Aku bersyukur tiada henti, kalau ingat ini. Karena hampir semua menolak, tapi warung makan yang ini tidak. Hingga kini. Inikah yang disebut keadilan Allah. Tidak pernah berhenti membagi rezeki-nya. Meski tidak banyak, tetap aku syukuri.

Bahkan, aku sudah berpikir dan hitung, kelebihan fee dari iklan Rumah Makan Mbak Nila itu aku kumpulkan untuk membelikan sepatu Rohman. Aku tersenyum. Masih ada asa didepan sana. Yang jelas Rohman tidak boleh tahu, bagaimana bapaknya jatuh bangun dalam menjemput rezeki untuk membiayai dia belajar di pondok. Tanpa terasa buliran air mata jatuh di kedua pipiku. Bukan sedih atau capek. Tapi lebih mengakui kebesaran-Nya. Setiap mendapatkan masalah selalu saja diberikan solusi. Jalan keluar. Tidak terasa adzan Dhuhur berkumandang dari masjid kampung. Aku  terjaga dari lamunanku. Bergegas mengambil  air wudhu, sambil aku gandeng – Fauzan, kakaknya Rohman yang “luar biasa” itu. (bersambung)

 bagian 49 < bagian 51

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!