28.6 C
Jakarta

Rindu Ke-1080 Hari

Baca Juga:

Karya: Kirana Aura Zahy
Siswa SMA Muhammadiyah 10 GKB Gresik Jawa Timur

Tak bisa bisa dipungkiri, menunggu oleh kebanyakan orang adalah pekerjaan paling membosankan. Ibarat hujan, kalau boleh berandai, titik airnya menjadi jutaan pisau. Sekejap, bisa menjadikan tubuh tercabik-cabik. Onggokan daging seolah-olah berada di mesin penggiling daging. Remuk dan mumut.

Bahkan, ada juga orang rela mengumpat ketika berjam-jam harus menerima nasib seperti ini. Kata sial atau sarkasme sejenisnya pasti keluar.

Ya, itu bagi mereka, tetapi bukan bagi Pras. Menunggu baginya adalah sebuah kata yang bisa menghibur. Paling dirindukan. Sampai dia pun terus berharap menunggu di bawah pohon terus terulang. Tiap jam, hari, bulan, dan tahun.

“Terima kasih ya Tuhan. Kau telah memberikan rasa dalam menunggu itu.” Itulah yang terus menderas ketika kaki Pras melangkah menjauh dari pohon rindu, pohon trembesi yang berada di pinggir sungai kecil nan lirih arusnya.

Ya pohon rindu. Nama pohon itu pun datangnya tiba-tiba. Tidak ada skenario bahkan prediksi layaknya memberikan nama pada anak baru lahir.

“Bukannya nama Sir Isaac Newton besar, megah, viral, bahkan dipuja-puja juga datang dari pekerjaaan dia menunggu di bawah pohon apel.” Inilah semangat Pras, ketika menjadikan menunggu menjadi pekerjaan yang mahamenyenangkan.

Bedanya cuma 11, 12. Kalau dia di bawah pohon apel, Pras menunggunya di pohon rindu. Tipis sekali, sama-sama pohon. Sama-sama rimbun dan memiliki buah. Ya, buah kerinduan yang selalu memberikan harapan.

Pras pun selalu berharap menunggu di hari ke-1080 hari ini bisa membuahkan hasil yang luar biasa. Layaknya Pak Isaac yang mendapatkan inspirasi ketika kepalanya dijatuhi apel. 1080 hari bukan apa-apa bagi Pras. Kebanyakan orang, ketika angka itu terpahat di dinding pohon, mereka menganggap Pras gila.

“Memang tidak ada pekerjaan yang lebih bisa mendatangkan cuan dari duduk di bawah pohon,” umpatan kebanyakan orang ketika melihat Pras duduk sedikit rebahan di akar yang menonjol ke permukaan tanah.

Pras pun menanggapi dengan senyuman. Mereka pun pergi dengan sendirinya. Pada hari ke-1080, mereka pun sudah tidak peduli dengan kebiasaan Pras. Mereka cuek bahkan pura-pura tidak melihat Pras duduk mulai pagi hingga matahari menghilang.

Hitung-hitungan 1080 hari bukanlah waktu yang lama. Pendek dan memiliki kenikmatan. Antologi rasa rindu semakin kuat dan mengakar. Ibarat rumah tangga, angka itulah yang menunjukkan kenikmatan dalam menjalin rumah tangga. Angka di mana, kepala keluarga sudah berada berada di jalur yang benar. Masalah, rintangan, bahkan godaan telah lenyap. Yang ada hanya kenikmatan dan kerinduan.

Tiba-tiba buah trembesi jatuh mengenai kaki. Pras pun tersenyum lunak. Melihat buah hitam kayak harmonika itu terkulai di atas tanah. Oleh anak-anak kecil, buah itu akan diperebutkan untuk dijadikan cemilan sambil menunggu hujan turun. Ya, mungkin seperti perasaanku.

Azalia. Nama ini yang menjadi penenang ketika Pras duduk berlama-lama di bawah pohon. Nama itulah yang telah menghias. Rambutnya hitam bergelombang, mata bercahaya, mulutnya mungil. Untuk mengobati kerinduan, sebait puisi pun bisa Pras rangkai dengan indah. Bagi Pras itu tidak sulit. Baginya, itu adalah inspirasi layaknya buah apel yang jatuh ke kepala Pak Isaac.

Azalia, rambutmu telah menawarkan perahuku untuk melaju.
Perlahan kadang cepat bersama angin yang kau buat.
Angin yang bisa memabukan tetapi menenangkan.
Jangan berhenti, karena aku akan melautkan rindu ini.
Ya, rindu ini.

Virus Azalia benar-benar telah mewabah. Kalau Covid bisa mematikan, tetapi dia memabukkan. Pras dimabuk rindu sehingga rela bertahan sampai di angka 1080 hari ini. Rindu itulah yang benar-benar menguatkan diri Pras untuk bertahan.
“Azalia tidak akan datang.”

Banyak orang mengatakan hal itu. Pras pun bertahan dengan pendiriannya. Ujaran mereka menguatkan diri Pras untuk selalu menunggu dan menunggu. Bukannya Nabi Nuh pun rela membuat bahtera selama 400 tahun. Itupun karena kecintaan dan kerinduan. Aku ini belum apa-apa, ucap Pras menguatkan diri.

Maka, orang-orang pun ramai-ramai menghujat. Menganggap miring, kurang waras. Dimabuk cinta, bahkan tak segan-segan bilang kalau kebiasaanku telah kerasukan mbak jin penunggu pohon trembesi.

Tidak terima dengan omongan orang, untuk menyakinkan, Pras pun melalukan orasi ilmiah dia atas bukit yang tidak terlalu tinggi tapi bisa dilihat semua warga sekampung.

“Kalian boleh tidak percaya dengan apa yang kulakukan. Kalian bisa bilang apa saja, sesuka kalian, tapi rinduku tak akan hangus meskipun ribuah cacian dan hinaan kalian,” teriak Pras lantang.

Warga semakin tidak percaya dengan arti kalimat yang diucapkan Pras. Mereka tidak memerdulikannya. Mereka tetap beraktivitas seperti biasa. Mereka hilir mudik ke sawah, ladang, dan tambak.

“Uih, ini adalah inspirasi buatku. Terima kasih kalian telah memberikan sugesti yang membenarkan bahwa rindu itu harus ditunggu dan dijalani bukan dilupakan bahkan dihilangan. Salam cinta untuk semua.”

Pras semakin yakin dan percaya diri. Azalia akan datang dan menemuiku usai aku menghabiskan hari ke-1080 hari. Pras semakin yakin, rambutnya, matanya, dan bibirnya akan menyapaku dengan riang.

“Aku datang untuk mengobati rindu itu,” harapan Pras ketika Azalia berdiri dan mengajak untuk karnaval keliling kampung merayakan kerinduan mendalam.

***

Semua teman, kerabat, bahkan baniku menjauh. Rambut Pras dibiarkan mengembang memanjang. Ya, ini seperti rambunya Azalia. Bergelombang layaknya ombak merumahkan rindu Pras. Mendekati angka ke-1080, tubuhnya semakin ringkih karena bertempur dengan angin malam, embun, gerimis hujan, dan sinar matahari.

Anak kecil pun sudah bilang, hai orang gila pergi dari pohon ini, aku akan panen buah trembesi. Jangan halangi teman-temanku untuk pesta.

Mereka sudah memerikan julukan baru, penjaga pohon. Sambil nyanyi, mereka menyoraki, “Orgil baru, orgil baru.” Sambil bergoyang-goyang, mereka benar-benar telah mematikan hasrat Pras untuk Azalia.

“Azalia datanglah,” teriak Pras semakin lirih bersamaan dengan jatuhnya buah trembesi.
“Ini adalah sinyal kebaikan. Semoga jarak Azalia denganku semakin dekat. Buah trembesi jatuhlah semua. Azalia datanglah untukku. Aku semakin haus dengan kerinduan ini.”

Mendadak angin bertiup kencang, sekencang-kencangnya. Saking takutnya, orang masuk ke rumah semua. Aku dengan bangga berlari menuju bukit. Sesampai di puncaknya, akupun orasi ilmiah lagi. Kali ini yang Pras sampaikan tentang filosofi angin.
“Angin ini bukan bencana. Ini adalah awal kebahagiaan. Rindu itu akan datang menjadi penawar kebahagiaan yang tertunda. Ya, rindu ke-1080 akan segera datang bersama angin.”

Setelah dari puncak bukit, Pras pun lari menuju tanah lapang yang berada di balai desa. Pras pun memutari, semakin cepat, sampai tubuhku terjerembah.
“Angin, bawalah rindu ini menemui Azalia. Aku akan bahagia manakala semilir ini bisa memberikan kabar kebaikan. Azalia mungkin lupa, bahwa hari ke-1080 pernah dia ucapkan, dia janjikan. Azalia mungkin khilaf, bahwa aku akan setia menunggu di sini, di titik nol desa ini. Menunggu sampai rindu ini terobati. Ya terobati sampai tuntas, tiada bekas.”

Tubuh Pras semakin kurus layaknya orang-orangan sawah. Sudah hampir seminggu ini, keluargaku hanya memberikan nasi putih. Itupun dibatasi. Aku tidak tahu, itu resep untuk menghentikan detak jantungku atau ada alasan yang lebih rasional.

Mungkin hanya mereka yang tahu. Setiap hari kiriman makanan semakin menipis. Malah, 1 hari diberi, hari berikutnya tidak ada kiriman makanan. Aku pun mulai memeras otak ketika tubuh semakin susah digerakkan. Makan seadanya dari ikan yang bisa kutangkap dari sungai. Kalaupun dapat, itu adalah rezeki. Kalau pas alpa, maka Pras pun berharap buah trembesi masih disisakan anak kampung.

***

Azalia diam. Matanya menerawang. Di bawah pohon trembesi, diapun memunguti buahnya. Satu persatu dikupas dan dimakan tanpa disangrai terlebih dahulu. Rambutnya bergoyang tertiup angin. Sekali-kali dia berdiri dengan tatapan kosong.
“Janji itu harus ditepati, bukan malah dipermainkan.”
“Aku akan menunggumu sampai ajal menjemput. Pras, kapan kamu datang menempati janji itu?”
Azalia tertidur pulas dipeluk angin di malam ke-1080.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!