26.7 C
Jakarta

Sebab-Sebabnya Indonesia Tidak Merdeka

Baca Juga:

Professor Veth pernah berkata, bahwa sebenarnya Indonesia tidak pernah merdeka. Dari zaman purbakala sampai sekarang, dari zaman ribuan tahun sampai sekarang,—dari zaman Hindu sampai sekarang, maka menurut professor itu Indonesia senantiasa menjadi negeri jajahan: mula-mula jajahan Hindu, kemudian jajahan Belanda. Dengan persetujuan yang sepenuh-penuhnya, maka didalam satu bukunya ia mencantumkan syairnya seorang penyair yang berbunyi:

“Aan Java’s strand verdrongen zich de volken; Steeds daagden nieuwe meesters over’t meer; Zij volgden op elkaar, gelijk aan ‘t zwerk de wolken De telg des lands allen was nooit zijn heer.”

Syair mana berarti:

Dipantainya tanah Jawa rakyat berdesak-desakan; Datang selalu tuan-tuannya setiap masa: Mereka beruntun-runtun sebagai runtutan awan; Tapi anak-pribumi sendiri takpernah kuasa.”

Pendapat kita tentang pendirian ini? Pendapat kita ialah, bahwa professor yang pandai itu, yang memang menjadi salah satu “datuk”- nya penyelidikan riwayat kita, ini kali salah raba. Ia lupa, bahwa adalah perbedaan yang dalam sekali antara  hakekatnya  zaman Hindu dan hakekatnya zaman sekarang. Ia lupa, bahwa  zaman  Hindu itu tidak terutama sekali berarti suatu pengungkungan oleh kekuasaan Hindu, yakni tidak terutama sekali berarti suatu machtsusurpatie dari pihak Hindu diatas puncaknya  pihak  Indonesia. Ia lupa, bahwa didalam zaman Hindu itu Indonesia sebenarnya adalah merdeka terhadap pada Hindustan, sedang didalam zaman sekarang Indonesia adalah tidak merdeka terhadap pada negeri Belanda.

Merdeka terhadap pada Hindustan? Toh raja-raja zaman purbakala itu mula-mula bangsa Hindu? Toh kaum ningrat  zaman purbakala  itu mula-mula bangsa Hindu? Toh kekuasaan zaman purbakala itu ada ditangannya orang-orang bangsa Hindu? Toh dus, rakyat jelata zaman purbakala itu diperintah oleh orang-orang bangsa Hindu? Ya! Merdeka terhadap pada Hindustan, oleh karena kaum yang kuasa didalam zaman Hindu itu tidaklah terutama sekali kaum “usupator”, tidak terutama sekali kaum  “perebut kekuasaan”, tidak terutama  sekali kaum penjajah.

Mereka bukanlah kaum yang merebut  kerajaan, tetapi mereka sendirilah yang mendirikan kerajaan di Indonesia! Mereka menyusun staat Indonesia, yang tadinya tidak ada staat Indonesia. Mereka “menemukan” masyarakat Indonesia tidak sebagai suatu masyarakat yang sudah berupa “negeri”, tetapi suatu masyarakat yang belum ketinggian susunan. Mereka mendirikan disini suatu keadaban, suatu cultur, yang bukan suatu cultur “dari atas”, bukan suatu “imperialistische cultuur”, —tetapi  suatu  cultur  yang hidup dan subur dengan masyarakat Indonesia. Mereka punya perhubungan dengan Hindustan bukanlah perhubungan kekuasaan, bukanlah perhubungan pemerintahan, bukanlah perhubungan macht,— tetapi ialah perhubungan peradaban, perhubungan cultur. Raja-raja zaman perhubungan itu hanya didalam permulaannya saja orang-orang bangsa Hindu,—raja-raja itu kemudian adalah orang- orang Hindu-Indonesia, dan kemudian lagi orang-orang Indonesia– Hindu, yang adat istiadatnya, cara hidupnya, agamanya, culturnya, kebangsaannya, darahnya, rasnya berganda-ganda kali lebih Indonesia daripada Hindu. Ya, akhirnya samasekali Indonesia dan hanya “berbau” saja Hindu. Pendek-kata, didalam zaman purbakala itu negeri Indonesia bukanlah “koloni” dari negeri Hindu, bukan “kepunyaan” negeri Hindu, bukan jajahan negeri Hindu. Negeri Indonesia dizaman itu adalah merdeka terhadap pada negeri Hindu adanya!

Negeri Indonesia ketika itu merdeka, tetapi penduduk Indonesia, rakyat-jelata Indonesia, Marhaen Indonesia, adakah ia juga merdeka? Marhaen Indonesia tidak pernah merdeka. Marhaen Indonesia, sebagai rakyat Marhaen diseluruh Indonesia, sampai kini belum pernah merdeka! Marhaen Indonesia itu dizaman “Hindu”, tatkala negeri Indonesia bernama merdeka dari Hindustan, adalah diperintah oleh raja-rajanya secara feodalisme: Mereka hanyalah menjadi perkakas saja dari raja-raja itu dengan segala bala- keningratannya, mereka tidak mempunyai hak menetukan sendiri putih-hitam nasibnya, mereka senantiasa ditindas oleh “kaum  atasan” daripada masyarakat Indonesia itu, sebagaimana kaum Marhaen dimana-mana negeri dimuka bumi dizaman  feodalisme  juga menderita nasib tertindas dan terkungkung. Mereka haruslah hidup dengan selamanya ingat bahwa miliknya dan nyawanya “nek awan duweke sang nata, nek wengi duweke dursila”, yakni dengan  selamanya ingat akan nasibnya perkakas, yang banyak kewajibannya tetapi tidak ada hak-haknya sama sekali.

O, Marhaen Indonesia, yang dulu celaka dalam zaman feodalismenya kerajaan dan keningratan bangsa sendiri, yang kini celaka dalam zaman modern kapitalisme dan imperialisme, berjuanglah habis-habisan mendatangkan nasib yang sejati-jatinya merdeka!

Tetapi marilah kembali pada pokok pembicaraan: negeri Indonesia, berlainan dengan pendapat professor veth, dulu adalah negeri yang merdeka. Negeri Indonesia itu kemudian hilang kemerdekaannya, kemudian menjadi koloni, kemudian menjadi bezitting, kemudian menjadi negeri-jajahan. Dan bukan negeri Indonesia sahaja! Seluruh dunia asia kini,—kecuali satu-dua bagian saja,—adalah  tidak merdeka. Mesir tidak merdeka, Hindustan tidak merdeka, Indo-China tidak merdeka, Philipina tidak merdeka, Korea tidak merdeka, ya, Tiongkok tidak merdeka. Sebab-sebabnya?

Sebab-sebabnya, sumber sebab-sebabnya, haruslah kita cari didalam susunan dunia beberapa abad yang lalu. Tiga empat ratus tahun yang lalu, didalam abad keenam-belas ketujuh-belas, maka didunia barat adalah selesai suatu perubahan-susunan-masyarakat: feodalisme Eropah mulai surut sedikit-persidikit, timbullah suatu kegiatan- pertukangan dan perdagangan, timbullah suatu klasse pertukangan dan perdagangan, yang giat sekali berniaga diseluruh benua Eropa Barat. Dan tatkala klasse ini menjadi sekuat-kuatnya, tatkala mereka punya kedudukan menjadi kedudukan kecakrawartian, tatkala seluruh masyarakat Eropa Barat bersifat mereka punya vroeg– kapitalisme, maka benua Eropa segeralah menjadi terlalu sempit bagi perniagaannya. Terlalu sempit benua Eropa itu bagi usahanya berjengkelitan membesar-besarkan tubuh dan anggotanya, terlalu sempit sebagai padang-permainannya vroeg-kapitalisme tu! Maka timbullah suatu nafsu, suatu stelsel, mencari padang-padang permainan dibenua-benua lain,—terutama sekali dibenua Timur, dibenua Asia!

Masih kecillah imperialisme ini pada waktu itu, jauh lebih kecil daripada imperialisme-modern dizaman sekarang! En toh dunia Timur waktu itu tiada kekuatan sedikitpun jua untuk menolak imperialisme yang masih kecil itu? Dimanakah kekuatan Hindustan? Dimanakah kekuatan Philipina, dimanakah kekuatan Indonesia, dimanakah kekuatan masyarakat Indonesia, yang dulu katanya mempunyai kerajaan-kerajaan gagah-senantausa seperti Sriwidjaya, seperti Mataram kesatu, seperti Majapahit, seperti Pajajaran, seperti Bintara, seperti Mataram kedua?

Ah, masyarakat Indonesia khususnya, masyarakat asia umumnya, pada waktu itu kebetulan sakit. Masyarakat  Indonesia pada waktu  itu adalah suatu masyarakat “in transformatie”, yakni suatu masyarakat yang sedang asik “berganti bulu”: feodalisme-kuno yang terutama sekali feodalismenya Brahmanisme, yang tidak memberi jalan sedikitpun jua pada rasa-kepribadian, yang menganggap raja beserta bala-keningratannya sebagai titisan dewa dan menganggap rakyat sebagai perkakas-melulu daripada “titisan dewa itu,— feodalisme-kuno itu dengan pelahan-pelahan didesak oleh feodalisme-baru, feodalismenya ke-Islam-an, yang sedikit lebih demokratis dan sedikit lebih memberi jalan pada rasa kepribadian.

Pertempuran antara feodalisme-kuno dan feodalisme-baru itu, yang pada lahirnya misalnya berupa pertempuran antara Demak dan Majapahit, atau Banten dan Pajajaran —pertempuran antara feodalisme-kuno dan feodalisme-baru itulah seolah-olah membikin badan masyarakat menjadi “demam” dan menjadi “kurang tenaga”. Memang tiap-tiap masyarakat “in transformatie” adalah seolah-olah demam. Dan memang tiap-tiap masyarakat yang demikian itu adalah “abnormal”, lembek, kurang-tenaga. Lihatlah misalnya “demamnya” dan lembeknya masyarakat Eropa dizaman abad-pertengahan tatkala masyarakat Eropa pada waktu itu “in transformatie” dari feodalisme ke-vroeg-kapitalisme, lihatlah “demam”-nya masyarakat Eropah itu juga satu-setengah abada yang lalu tatkala “mlungsungi” dari vroeg-kapitalisme ke-modern-kapitalisme, lihatlah “demam”- nya masyarakat Tiongkok-sekarang yang  juga  sedang  “berganti bulu” masuk ketingkat kapitalisme. Tubuh masyarakat memang tak beda dari tubuh manusia, tak beda dari sesuatu tubuh yang hidup, yang juga tiap-tiap saat perubahannya membawa kesakitan dan kekurangan tenaga!

Herankah kita, kalau masyarakat Indonesia, yang pada waktu datangnya imperialisme dari Barat itu kebetulan ada didalam keadaan transformasi, tak cukup kekuatan untuk menolaknya? Kalau Imperialisme barat itu segera mendapat kedudukan didalam masyarakat yang sedang bersakit demam itu? Kalau imperialisme barat itu segara bisa menjadi cakrawarti didalam masyarakat yang lembek itu? Satu-per-satu negeri-negeri di Indonesia tunduk pada cakrawarti yang baru itu. Satu-per-satu negeri-negeri itu lantas hilang kemerdekaannya. Satu-per-satu negeri-negeri itu lantas menjadi kepunyaannya Oost Indische Compagnie. Indonesia yang dahulunya, undang Professor Veth, adalah Indonesia yang merdeka, pelahan- lahan menjadilah Indonesia yang semua daerahnya tidak merdeka. Rakyat Indonesia yang dahulunya berkeluh-kesah memikul feodalismenya kerajaan dan keningratan bangsa sendiri, kini akan lebih-lebih lagi berkeluh-kesah memikul “berkah-berkahnya” stelsel imperialisme dari dunia barat. Rakyat Marhaen, sebagai disyairkan oleh sahabatnya prof. Veth, boleh terus menjanji: “Tapi anak-pribumi sendiri ta’pernah kuasa”….

Inilah asal-muasalnya kesialan nasib negeri Indonesia! Inilah pokok sebabnya permulaan negeri Indonesia menjadi negeri yang tidak merdeka: suatu masyarakat sakit yang kedatangan utusan-utusannya masyarakat yang gagah-perkasa,—utusan-utusan yang membawa keuletan masyarakat yang gagah-perkasa,—utusan-utusan yang membawa keuletannya masyarakat yang gagah-perkasa, alat-alatnya masyarakat yang gagah perkasa, ilmu kepandaiannya masyarakat yang gagah perkasa.

Masyarakat yang sakit itu tidaklah lagi  mendapat kesempatan menjadi sembuh,—masyarakat yang sakit itu malahan makin lama makin menjadi sakit, makin habis semua “kutu-kutunya” makin habis semua tenaga dan energinya. Tetapi imperialime yang menghinggapinya itu sebaliknya, makin  lama  makin bersulur dan berakar, melancar-lancarkan tangannya kekanan dan kekiri dan kebelakang dan kedepan, melebar, mendalam, meliputi dan menyerapi tiap-tiap bagian daripada masyarakat yang sakit itu.

Imperialisme yang tatkala baru datang adalah imperialisme yang masih kecil, makin lama makin menjadi hebat dan besar, menjadi raksasa maha-sakti yang seakan-akan tak berhingga kekuatan dan energinya. Imperialisme-raksasa itulah yang kini menggetarkan bumi Indonesia dengan jejaknya yang seberat gempa, menggetarkan udara Indonesia dengan guruh suaranya yang sebagai guntur,—mengaut-aut dipadang-kerezekian negeri Indonesia dan rakyat Indonesia.

Imperialisme-raksasa inilah yang harus kita lawan dengan keberaniannya kesatria yang melindungi haknya!

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!