JAKARTA, MENARA62.COM – Sektor pariwisata di Indonesia hingga kini masih menghadapi tekanan berat akibat pandemi Covid-19. Hal ini terlihat dari jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia yang masih sangat terbatas. Data BPS Agustus 2020, kunjungan wisman ke Indonesia hanya mencapai 164.970 kunjungan, turun drastis sebesar 89,22 persen jika dibandingkan dengan jumlah kunjungan wisman pada Agustus tahun lalu yang berjumlah 1,53 juta kunjungan.
Akibat adanya penurunan kunjungan wisatawan mancanegara, Indonesia kata Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo, diperkirakan kehilangan devisa sebesar 14,5-15,8 miliar dolar AS. Kondisi tersebut diperkirakan akan terus berlangsung hingga beberapa bulan ke depan hingga pandemi Covid-19 bisa diatasi.
“Bali yang merupakan salah satu destinasi favorit wisatawan domestik maupun mancanegara, sampai saat ini masih membatasi kegiatan pariwisata hingga akhir tahun sebagai upaya menahan laju penyebaran virus corona di tanah air. Bali mencatat kerugian pariwisata rata-rata Rp 9,7 triliun setiap bulannya,” kata Pontjo pada Diskusi Serial Kebangsaan bertema Penguasaan dan Pengembangan Teknologi dalam Rangka Penguatan Pariwisata, yang digelar Aliansi Kebangsaan bekerjasama dengan Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahun Indonesia (AIPI), dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), dan Media Kompas, Jumat (19/12/2020).
Menurut Pontjo, anjloknya kegiatan pariwisata, praktis berimbas kepada ekonomi para pelaku usaha di sektor ini. Penurunan di sektor pariwisata juga membawa imbas yang tidak mudah ke sektor-sektor yang menjadi penyokong sektor pariwisata, seperti sektor penerbangan, perhotelan, dan juga sektor makanan-minuman khususnya yang dimiliki oleh UMKM.
Walaupun kita tidak tahu kapan pandemi ini akan berakhir, banyak pihak yang optimis, bahwa sektor pariwisata akan paling cepat bangkit (rebound), menuju tatanan kehidupan baru (new normal). Pemerintah memprediksi industri pariwisata akan langsung bangkit karena ada permintaan dari masyarakat kelas menengah atas. Pariwisata Indonesia juga memiliki berbagai potensi dan peluang untuk segera bangkit dan kembali menjadi penyangga pendapatan dan perekonomian nasional.
Oleh karena itu, lanjut Pontjo, industri pariwisata harus bersiap untuk beradaptasi dan mulai berbenah untuk menyambut tatanan kehidupan baru atau new normal. Tren pariwisata dapat dipastikan akan berubah di era new normal ini. Pembukaan destinasi wisata harus memenuhi sejumlah aturan, standar, dan protokol kesehatan. Faktor kesehatan, kebersihan, keselamatan dan keamanan akan menjadi faktor utama bagi wisatawan yang ingin berwisata di masa-masa yang akan datang. Standar baru, kebiasaan baru, dan kultur baru di sektor pariwisata harus dikembangkan sehingga menghasilkan produk pariwisata yang tepat di era new normal nanti.
“Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif telah menyiapkan berbagai kebijakan, salah satunya lewat dana hibah pariwisata. Pemerintah juga telah menyusun program Cleanliness, Health, Safety, and Environment (CHSE) sebagai tatanan adaptasi kebiasaan baru di destinasi wisata dengan melibatkan para pelaku pariwisata,” tambah Pontjo.
Untuk menghidupkan pariwisata di era new normal nanti, menurut Pontjo, peran teknologi terutama teknologi informasi dan komunikasi menjadi sangat penting yang sebenarnya sudah menjadi trend pemanfaatannya dalam masa pandemi ini. Peran teknologi sangat menunjang dalam meningkatkan kegiatan pariwisata, baik dalam rangka branding, advertising dan selling produk wisata.
Pariwisata berbasis teknologi informasi yang dikenal sebagai e-tourism (IT-enabled tourism), jelas Pontjo, sudah dijalankan di banyak Negara tujuan wisata. Menyadari pentingnya peran teknologi dalam pariwisata, pemerintah telah meluncurkan program ITX (Indonesia Tourism Exchange), yaitu sebuah paltfrom online marketplace yang memberikan kemudahan bagi para wisatawan.
“Harus kita sadari bersama, bahwa dewasa ini, pengetahuan dan teknologi sudah menjadi faktor yang memberikan kontribusi signifikan dalam pertumbuhan dan kemandirian ekonomi di seluruh sektor,” jelasnya.
Kekuatan suatu bangsa diukur dari kemampuan Iptek sebagai faktor primer ekonomi menggantikan modal, lahan dan energi untuk peningkatan daya saing. Karenanya, kita harus terus berupaya meningkatkan kapasitas Iptek bangsa ini yang memang masih jauh ketinggalan.
Dalam mengejar ketertinggalan teknologi, termasuk teknologi informasi dan komunikasi dalam pengembangan sektor pariwisata, sinergi dan kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi/lembaga riset, industri/dunia usaha, dan pemberdayaan masyarakat sangatlah penting. Dalam kolaborasi kelembagaan ini, dunia usaha/industri tidak terkecuali para pelaku usaha di sektor pariwisata, berperan sebagai pendorong, pengembang, pengguna, sekaligus memasarkan hasil riset dan inovasi teknologi. Peran strategis inilah kata Pontjo yang harus selalu disadari dan diperhatikan oleh dunia usaha kita. Tanpa peran dunia usaha, inovasi teknologi tidak mungkin akan berkembang. Oleh karena itu, pengusahanya harus siap, baik dalam jumlah maupun dalam kualitasnya.
Dengan meningkatkan penguasaan serta pemanfaatan teknologi dalam industri pariwisata, diharapkan sektor ini akan berkontribusi dalam transformasi perekonomian Indonesia menuju ekonomi berbasis pengetahuan (Knowledge Based Economy).
“Kita menyadari bahwa transformasi perekonomian dunia menuju Ekonomi berbasis Pengetahuan pasti akan terus berlanjut, sejalan dengan kemajuan teknologi. Tentu bangsa ini tidak boleh berdiam diri hanya menjadi penonton dari transformasi tersebut sehingga terus menerus menjadi konsumen teknologi,” tukasnya.
Untuk itu, sudah seharusnyalah bangsa ini terus berusaha mengejar ketertinggalan teknologi, apalagi kita sudah bertekad menjadi Negara maju pada tahun 2045. Tanpa penguasaan teknologi, mustahil Indonesia akan mampu membangun kemandirian ekonomi dan bersaing di tingkat global.
Pontjo mengingatkan ditunjuknya Indonesia sebagai tuan rumah untuk Annual Meeting Indonesia Global Tourism Forum (GTF) 2021, dapat menjadi momen penting sekaligus peluang bagi kebangkitan industri pariwisata Indonesia di era new normal nanti. Mengingat masih banyak persoalan mendasar yang kita hadapi dalam pengelolaan pariwisata, saya berharap dalam forum diskusi ini bisa bertukar pikiran dan urun gagasan sebagai masukan bagi upaya kita bersama mengembangkan sektor pariwisata.
FGD yang digelar secara virtual tersebut menghadirkan sejumlah narasumber antara lain Dr. Ir. Myra P. Gunawan, MT (Pakar AIPI), Rano Wiharta (Pengurus BPP HIPMI), Putu Satyawira M (Ketua PD FSP Par – Pelaku Pariwisata Bali) dan Ir. Agung Suryawan Wiranatha, MSc., PhD. (Ketua Pusat Unggulan Pariwisata Universitas Udayana).