25.6 C
Jakarta

Seperempat Abad Reformasi, Pontjo Sebut Lembaga Reformasi Belum Berperan Maksimal

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Era reformasi dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia telah memasuki usia 25 tahun. Salah satu dampak paling nyata adalah munculnya lembaga-lembaga baru baik yang dibentuk berdasarkan UUD 1945, Undang-Undang maupun peraturan perundangan di bawahnya. Lembaga-lembaga baru tersebut antara lain adalah Mahkamah Konstitusi (MK), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Selain itu, dibentuk pula beberapa lembaga pengawasan seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Nasional Kepolisian, Komisi Nasional HAM, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan lain-lainnya.

“Kini, setelah seperempat abad reformasi, keberadaan lembaga-lembaga baru dan eksistensi maupun perannya bagi demokratisasi, kebangsaan dan kenegaraan mulai banyak dipersoalkan,” kata Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo pada serial FGD Ranah Tata Kelola bertema “Kepercayaan Publik terhadap Institusi-Institusi Negara Produk Reformasi” yang digelar Aliansi Kebangsaan kerjasama dengan Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, HIPMI, dan Harian Kompas secara daring, Jumat (19/5/2023).

Dari beberapa kajian akademis, laporan hasil survei, maupun laporan media massa, terungkap bahwa ada hambatan struktural maupun politik yang membuat lembaga-lembaga itu belum mampu berfungsi maksimal sesuai tujuan pembentukannya. Ketidakmampuan lembaga-lembaga ini lanjut Pontjo juga ditandai oleh kecenderungan semakin meningkatnya praktik penyimpangan dari prinsip-prinsip negara hukum demokratis, yang justru dilakukan oleh aparat penegak hukum dan pejabat negara sendiri. Pengamat hukum Tim Lindsey menyebutnya Indonesia sebgai  “rechtstaat in a lawless state”.

Tidak hanya itu, Pontjo menyebut bahwa penyimpangan dalam bidang hukum ini diikuti oleh praktik politik yang semakin tidak demokratis. “Proses demokratisasi sejak reformasi, belum menghadirkan demokrasi substansial yang terkonsolidasi, bahkan banyak pihak menilai, bangsa Indonesia justru masih terperangkap praktik demokrasi elektoral dan elitis yang bersifat prosedural. Salah satu indikatornya, kekuasaan cenderung terkonsentrasi pada pemerintah tanpa kontrol yang memadai dari publik,” tegasnya.

Keadaan ini juga dapat dikenali dari laporan berbagai lembaga pemantau demokrasi. The Economist Intelligence Unit (EIU) misalnya, melaporkan bahwa pada tahun 2022 Indonesia masih masuk dalam kategori negara “demokrasi cacat (flawed 3 democracy)” dengan skor indeks demokrasi 6,71. Dengan skor ini, Indonesia berada di peringkat ke-54 dari 167 negara.

Lalu Aspinal dan Eva Warbutton serta Ward Berenschot dalam kajiannya menunjukkan telah terjadi kemandegan demokrasi di Indonesia, bahkan dinilai tidak hanya mandeg tapi juga semakin mundur (from stagnation to regression).

Pontjo menilai tidak maksimalnya peran dan kinerja lembaga-lembaga reformasi dan meningkatnya praktik penyimpangan yang dilakukan para fungsionarisnya juga oleh para pejabat negara dan aparat penegak hukum menjadi penyebab menurunnya kepercayaan rakyat atas lembaga-lembaga tersebut. Padahal, faktor kepercayaan (trust) justru sangat mendasar dalam demokrasi karena dengannya negara memperoleh legitimasi dalam menjalankan tugas-tugasnya secara efektif.

Respons publik terhadap lembaga-lembaga produk reformasi 1998 yang cukup berkembang belakangan ini, antara lain terkait dengan peran Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dua lembaga yang sebelumnya sangat diharapkan dan mendapatkan kepercayaan tinggi dari publik. “Muncul kritik atas kinerja dan peran dari MK dan KPK, yang akhir-akhir ini dinilai semakin melemah, tidak independen, dan cenderung dikooptasi oleh kekuasaan,” tukas Pontjo.

KPK yang semula begitu kuat dan berada di garda terdepan pemberantasan korupsi, kini “dilemahkan” melalui revisi UU KPK tahun 2019 di samping pemilihan komisionernya yang mengindikasikan adanya campur tangan kekuasaan. Demikian juga dengan Mahkamah Konstitusi (MK). “Kasus Hakim MK Aswanto yang diberhentikan oleh DPR-RI karena membatalkan Undang-Undang inisiatif DPR dan terakhir adalah kasus Hakim MK Guntur Hamzah yang terbukti mengubah frasa Putusan MK tapi hanya dikenakan sanksi etik dan administratif, menujukkan kelemahan dalam tubuh lembaga yang semula didesain sebagai special tribunal,” jelasnya.

Kepercayaan Publik Menurun

Survei Litbang Harian Kompas yang dilaporkan pada tanggal 27 Maret 2023 yang lalu, menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga yang dihasilkan reformasi untuk memperkuat mekanisme kontrol atas kekuasaan kini cenderung menurun. Beberapa lembaga bahkan citra positifnya tercatat di bawah angka 60 persen, yakni KPK57 persen, MA 57 persen, MK 52 persen, DPD 52 persen, partai politik 52 persen) Lembaga yang mendapatkan citra buruk 4 di atas 20 persen adalah DPR 29 persen dan KPK 24 persen.

Menghadapi fenomena seperti itu, kata Pontjo, maka setelah 25 tahun reformasi berjalan, dirasa perlu untuk melakukan evaluasi menyeluruh atas eksistensi, fungsi dan peran dari lembaga-lembaga hasil reformasi tersebut. Termasuk mengevaluasi apakah disain kelembagaan Negara atau bangunan organ negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya sudah berbasis pada Pancasila yang telah disepakati dan disetujui (consensus) oleh bangsa Indonesia sebagai titik temu, titik tumpu,dan titik tuju.

Pontjo mengingatkan bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia yang hendak dibangun dan dikembangkan, tentu tidak bisa dipisahkan dari Pancasila sebagai ideologi atau jalan hidup berbangsa dan bernegara. Karenanya, nilai-nilai Pancasila tersebut haruslah menjadi paradigma dalam merancang tata kelola Negara atau sistem ketatanegaraan Indonesia.

Menurunnya kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga kenegaraan hasil reformasi tersebut, tentu menjadi keprihatinan kita bersama. Apalagi, banyak studi empiris menunjukkan dampak negatif yang ditimbulkan, khususnya terhadap kondisi sosial dan ekonomi bangsa. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya yang terstruktur, sistematis, strategi dengan tahapan yang tepat.

Salah satu strategi pemulihan kepercayaan publik menurut Kim & Kim (2007) adalah dengan mengembangkan tata kelola pemerintahan partisipatif (participatory governance). Pemerintahan partisipatif yang mengedepankan partisipasi dan transparansi akan lebih meningkatkan kepercayaan publik.

FGD yang dimoderatori Manuel Kaisiepo tersebut menghadirkan narsumber Pakar hukum Tata negara Prof Jimly Asshiddiqie, Guru Besar Ilmu Politik UI Prof. Valina Singka Subekti, Pakar Hukumsekaligus dosen STHI Jentera Bivitri Susanti, S.H, LL.M, dan Pakar Hukum Universitas Andalas Feri Amsari, S.H, M.H, LL.M.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!