32.9 C
Jakarta

Sudah Dilaksanakan di 4 Provinsi, Pakar Sebut Pilkada Asimetris Perlu Diperluas

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung atau simetris yang selama ini dilakukan di Indonesia telah memunculkan berbagai ekses negatif bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Mulai dari polarisasi kelompok masyarakat, politik uang, hingga buruknya kinerja kepala daerah terpilih dan persoalan hukum lainnya.

Dengan berbagai ekses negatif Pilkada simetris tersebut muncul berbagai pertanyaan apakah pilkada simetris akan terus dilanjutkan? Ataukah Indonesia perlu memperluas pelaksanaan Pilkada asimetris terutama untuk tingkat kabupaten/kota?

Hal tersebut mengemuka pada Focus Group Discussion (FGD) “Mengukuhkan Kebangsaan yang Berperadaban: Menuju Cita-Cita Nasional dengan Paradigma Pancasila” yang dilakukan secara virtual, Jumat (26/6/2020). FGD yang digelar Aliansi Kebangsaan bekerja sama dengan Forum Rektor Indonesia (FRI) dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) tersebut mengambil tema “Pembangunan Ramah Institusional-Politikal pada Tata Kelola Pemilihan Kepala Daerah: gagasan Pilkada Asimetris.”

Dalam sambutannya, Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo mengatakan sejatinya, Pilkada asimetris ini bukanlah mekanisme pemilihan kepala daerah yang baru di Indonesia. Model ini telah diterapkan di 4 propinsi yakni Nangroe Aceh Darussalam, DKI Jakarta, DI Yogyakarta dan Papua.

“Jadi bukan hal yang baru, kita sudah menerapkannya pada 4 propinsi yang memiliki kekhususan dan keistimewaan,” kata Pontjo Sutowo.

Meski sudah dilaksanakan di sejumlah daerah, diakui Pontjo pro dan kontra terhadap wacana Pilkada asimetris terus berkembang. Di satu sisi Pilkada asimetris diyakini dapat mengurangi ekses negatif pilkada simetris, namun disisi lain terjadi perdebatan terkait dasar konstitusi, indikator yang digunakan, kualitas demokrasi hingga partisipasi publik dalam berdemokrasi.

“Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan bahwa pemilihan kepala daerah dilaksanakan dengan cara-cara demokrasi. Apakah demokrasi ini harus pemilihan langsung atau memungkinkan menggunakan sistem perwakilan,” lanjut Pontjo.

Penjabaran pasal 18 UUD 1945 ini penting dilakukan sebagai dasar konstitusi sebelum wacana Pilkada asimetris benar-benar diperluas.

Menurut Pontjo, salah satu kelebihan dari Pilkada asimetris ini adalah bahwa demokrasi diwarnai dengan wajah kearifan lokal. Hal yang sebenarnya sangat penting dipertahankan mengingat Indonesia dibangun atas dasar keberagaman baik suku, bangsa, agama maupun adat istiadat dan budaya.

Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo saat FDG secara virtual

Pontjo juga mengingatkan bahwa dalam Pilkada asimetris, akan terjadi perubahan sistem demokrasi, dari demokrasi langsung menjadi demokrasi dengan perwakilan. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan terkait partisipasi publik dan kualitas dari demokrasi itu sendiri.

Ketua FRI Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H. M.H., mengatakan Pilkada simetris yang lahir setelah reformasi 1998, sebenarnya merupakan keinginan masyarakat yang terpendam selama dua periode pemerintahan, orde lama (Orla) dan orde baru (Orba). Pada dua orde tersebut, figur presiden menjadi pusat kekuasaan. Keinginan terpendam itu melahirkan pemilihan langsung di semua jenjang.

“Semua jenjang pemerintahan, pemimpinnya kemudian dipilih rakyat secara langsung mulai dari presiden, gubernur, dan bupati serta walikota. Demikian pula untuk para wakil rakyat yang ada di DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi serta DPRD Kabupaten Kota, semuanya dipilih langsung oleh masyarakat memakai metode suara terbanyak,” jelas Prof. Yos.

Dalam pelaksanaannya kemudian, Pilkada simetris menimbulkan banyak masalah yang membahayakan sistem demokrasi di Indonesia. Selain polarisasi kelompok masyarakat, politik uang, buruknya kinerja pemimpin daerah, ternyata Pilkada simetris juga membawa konsekuensi biaya yang mahal.

“Yang memprihatinkan, ekses tersebut menjadi berkelanjutan. Itu terlihat dari banyaknya kepala daerah dan anggota legislatif yang ditangkap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),” lanjut Prof. Yos.

Data menunjukkan sejak digelarnya Pilkada simetris Juni 2005 hingga kini tercatat ada 423 kepala daerah yang tersandung kasus hukum, sebagian besar merupakan kasus korupsi.

Dengan berbagai ekses negative dari Pilkada langsung tersebut, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, Pakar Otonomi Daerah mengusulkan agar Pilkada simetris tidak diberlakukan bagi kabupaten/kota. Kecuali untuk kabupaten/kota yang memang benar-benar siap dan memiliki kemampuan baik dari segi SDM, pembiayaan, tingkat pendidikan masyarakat maupun sarana penunjang lainnya.

Dari 415 kabupaten dan 93 kota yang ada di Indonesia, menurut Prof. Djohan hanya ada sekitar 10 kota yang memenuhi syarat untuk melaksanakan Pilkada simetris. Sedang sisanya, sebenarnya belum mampu menyelenggarakan Pilkada langsung dengan berbagai alasan.

“Tetapi untuk memutuskan Pilkada asimetris ini butuh political will dari pemerintah,” jelas Prof. Djohan.

Sementara itu Feri Amsari, dosen Universitas Andalas memandang bahwa Pilkada asimetris ini mungkin saja pelaksanaannya diperluas di semua daerah di Indonesia. Konstitusi yang disusun oleh founding father (para pendiri negara) memberikan peluang dilakukannya demokrasi dalam bentuk lain diluar demokrasi langsung.

“Dalam konstitusi UUD 1945 hanya satu hal yang tidak boleh diubah yakni bentuk negara kesatuan republik Indonesia,” tutupnya.

Selain Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, dan Feri Amsari, FGD tersebut juga menampilkan pembicara Prof. Budi Setiyono, Wakil Rektor Undip, Prof. Dr. Syamsuddin Haris, Pengutus Pusat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, dan Yudi Latief, Dewan Pakar Aliansi Kebangsaan.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!