Drs Saiful Anam MPd
Dewasa ini, teknologi informasi atau yang sering disebut sebagai era digital sedang bahkan telah merasuki setiap sendi kehidupan. Wolak-walike ing zaman (dinamika kehidupan), harus selalu berdamai dengan zamannya. Berdamai yang dimaksud adalah senantiasa mampu merubah pola dan strategi kehidupan tersebut, karena sejatinya, perkembangan zaman bukanlah sesuatu yang harus ditinggalkan. Perkembangan zaman merupakan sesuatu yang harus dihadapi.
Benar sekali jika era digital merubah pola kehidupan, mulai dari budaya, komunikasi sosial, bahkan pendidikan. Perubahan pola kehidupan, sudah pasti menimbulkan efek positif dan negatif, pun dalam hal pendidikan khususnya pendidikan anak. Namun demikian, efek negatif akan lebih dominan jika para pendidik anak ini tidak menyadari bahkan tidak mampu membaca zaman.
“Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di jamanmu” (Ali Bin Abi Thalib).
Sebagai agent of change (khalifatullah), sinyal dari sahabat yang mendapat julukan “Babul Ilmi” pada era digital ini perlu benar-benar diperhatikan.
Ada beberapa fenomena sosial yang membuat anak-anak kita menjadi dhurriyatan dhi’afan, generasi yang lemah, generasi yang tidak sesuai harapan.
Tantangan fenomena sosial di era digital saat ini antara lain:
- pergeseran nilai komunikasi orang tua dengan anak baik kualitas maupun kuantitas,
- beban kurikulum di sekolah yang berat,
- kecanduan gadged,
- konten tanpa filter,
- tekanan teman sebaya,
- pornografi,
- bullying,
- kekerasan.
Ada data yang membuat kita khawatir, tercengang, dan sedih. Dari 100 anak SD, 93 diantaranya telah mengakses pornografi. Dari 100 remaja, 21 diantarnya melakukan aborsi. Setiap bulan terjadi 135 kasus kekerasan terhadap hadap anak. Lima dari 100 remaja kita tertular penyakit menular seksual. Setiap 100 remaja kita 63 diantaranya melakukan seks di luar nikah.
Mereka adalah anak- anak kita yang hidup di era digital. Ketidakmampuan mereka dalam menghadapi tantangan di era digital membuat mereka mengalami BLAST ( Bored, Lovely, Angry, Affraid, dan Stress). Generasi yang bosan terhadap rutinitas, kesepian, bersumbu pendek, kurang percaya diri, dan cepat galau)
Sebagai orang tua, pendidik, atau dai, fenomena penyimpangan sosial tersebut di atas adalah tantangan supaya kita lebih serius dan kreatif mengatasi berbagai masalah sosial. Kalau kita tidak sigap mengantisipasi dan mengatasinya maka kedepan anak anak kita akan jadi “tumbal” virus digital.
Solusinya adalah, kita harus dapat menerapkan pola asuh yang benar dan cerdas. Dengan pola asuh yang benar dan cerdas tersebut, kita dapat mengubah dari kondisi BLAST menjadi BEST ( Behave, Emphatic, Smart, Tough). Yakni; berperilaku baik, peduli, cerdas, dan tangguh, tegas memegang prinsip.
Bekal apa sajakah yang harus kita berikan pada anak anak kita?
Kembalilah pada keluarga dan masjid. Keluarga bukan hanya entitas pembagian sembako dan masjid bukan hanya tempat ibadah ritual. Keluarga dan masjid, keduanya harus ada di dalamnya pendidikan terhadap anak. Asupan nilai moral dan nilai spiritual sangat dibutuhkan oleh anak-anak. Kedua nilai tersebut adalah tanggung jawab orangtua dalam keluarga dan masjid. Sehingga, ketika anak hidup dalam dunia tanpa batas dan sekat di ruang digital sudah terdapat nilai moral dan spiritual sabagai pedoman untuk menapaki kehidupannya.
(Saiful Anam, Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Majenang)