Pengantar:
Bagaimana intelektual Barat melihat kelompok militan Islam di masa pandemik Covid-19 ini? Berikut adalah tulisan Colin P. Clarke, Asisten Profesor Institut Politik dan Strategis Universitas Carnegie Mellon, Pittsburgh, Pennsylvania. Dalam pandangan Clarke, kelompok militan Islam yang kerap dituding sebagai pelaku aksi terorisme, memberikan sumbangan besar dalam pelayanan kesehatan menghadapi ancaman virus Corona yang mewabah sejak awal 2020. Dalam pandangannya juga, bukan hanya kelompok Islam, krisis virus ini juga dimanfaatkan organisasi kriminal, narkotika, pemberontak dan kelompok anti Pemerintah.
==========
Pada Oktober 2015, gempa berkekuatan 7,5 SR mengguncang Asia Selatan, menewaskan setidaknya 400 orang, terbanyak di Pakistan. Berada di garis depan merespon tragedi ini adalah ribuan relawan Jamaat ad-Du’a, kelompok charity Islam yang mendedikasikan sebagai barisan depan grup jihad militan Al Qaeda, Laskar e-Taiba. Setelah bencana usai, Jama’at ad-Du’a- yang eksis karena Laskar e-Taiba- mendapatkan pujian yang luas atas upayanya memberikan layanan dukungan dan mendistribusikan bantuan kesehatan ke warga Pakistan yang terdampak akibat gempa.
Pandemik virus Corona membuka peluang serupa bagi sejumlah teroris, pemberontak maupun organisasi kriminal. Di seluruh dunia, mereka sudah berusaha untuk memperoleh legitimasi politik melalui penyediaan layanan kesehatan publik, terutama di negara-negara dan wilayah di mana pemerintah tidak mau atau tidak dapat membantu para korban pandemik.
Di Afghanistan, Taliban menjanjikan akses aman bagi pekerja kesehatan yang melintasi wilayah mereka, di samping mereka juga sudah memberikan kampanye publik tentang bahaya virus Corona. Selain itu, Taliban menyediakan informasi tentang bagaimana menjaga kesehatan dari penyebaran virus. Pada awal April lalu, Afghanistan melaporkan 367 kasus virus Corona. Meski infrastruktur negara yang ada sangat lemah, jumlah ini sepertinya menunjukkan rendahnya kasus. Dalam upaya membuktikan tanggungjawab pemangku kepentingan bagi masa depan Pemerintahan, Taliban menawarkan gencatan senjata di beberapa wilayah yang hancur oleh wabah.
Di Libanon, kelompok militan Syiah, Hizbullah, mengirim lusinan ambulan, bersama dengan anggota Islamic Health Society yang menyemprotkan disinfektan di wilayah-wilayah publik. Lebanon melaporkan 541 kasus virus Corona dan Pemerintah setempat berjuang melawan penyebaran pandemik. Di tengah kasus korupsi dan ekonomi yang tidak stabil, Pemerintah Libanon tentunya membutuhkan bantuan menghadapi krisis ini. Hizbullah telah menawarkan sumber daya kesehatan yang dimilikinya ke Pemerintah, sebagai upaya untuk memastikan kerja-kerjanya selama ini tidak dinilai sektarian. Dengan begitu, akan meningkatkan daya tarik kelompok di semua sektor dalam eksisten politik Libanon.
Di Suriah yang masih dilanda perang, kelompok militan Hayat Tahrir al Syam, memberikan saran kesehatan kepada warga Suriah tentang bagaimana menjaga diri dan keluarga dari penyakit. Mereka mengutip pedoman WHO yang terbit Maret lalu di newsletternya, Ebaa. Kelompok ini memiliki kemampuan mencetak hingga ribuan eksemplar newsletter per hari, dan distribusi utamanya dilakukan di wilayah Selatan yang dikuasai para pemberontak. Jumlah korban akibat virus dilaporkan hanya kurang dari dua lusin, meski harapan kecil bagi transparansi dari diktator Suriah, Bashar al Assad, yang dinilai terlambat mengambil upaya menyelamatkan warga di wilayah yang dikuasai rezim.
Di Somalia, jumlah akibat korban dilaporkan kecil meski jumlah yang sebenarnya diyakini jauh lebih banyak akibat wabah. Jaringan al Qaeda, al Shabab, menggunakan isu virus yang mereka sebut sebagai Pasukan Salib sebagai propaganda melawan pasukan Barat.
Menariknya, bukan hanya kelompok teroris atau kelompok pemberontak yang menggunakan krisis virus ini untuk menunjukkan eksistensi mereka . Daerah kumuh di Rio de Janeiro, organisis narkotika dan traffikcing serta geng kriminal bekerja dengan sungguh-sungguh memberlakukan jam malam di wilayah tanpa Pemerintahan yang mereka kuasai.
Setelah serangan 9/11, term “wilayah tanpa Pemerintah” menjadi semacam kamus populer di kalangan kelompok-kelompok teroris untuk melatih, merencanakan dan melakukan operasi. Beberapa wilayah yang pernah terdengar seperti Area Tiga Perbatasan Amerika, Sahel di Afrika Utara dan Kepulauan Asia Tenggara, menjadi tanda-tanda bagi label ini.
Sayangnya, istilah “Tanpa Pemerintah” adalah keliru. Hal itu karena tidak ada area yang benar-benar tidak dikelola. Sebaliknya, aktor non negara dan kelompok sub-ordinat yang menawarkan bentuk pemerintahan alternatif kepada warga. Seringnya, kelompok-kelompok ini memberikan penyediaan layanan yang ditujukan untuk memperkuat status sosial mereka, serta legitimasi politik yang barangkali tidak dimiliki Pemerintah sah karena jauhnya dari pusat kota.
Tidak ada yang mengejutkan dari hal ini. Aktor-aktor non negara melihat kondisi mereka berada dalam pertempuran untuk mendapatkan opini publik. Seringnya, mereka bersaing dengan Pemerintah yang sedang berusaha kerasa menyediakan barang-barang yang dibutuhkan publik. Dengan mengeksploitasi kondisi ini, teroris dan pemberontah memperoleh kemenangan propaganda yang berharga. Isu kesenjangan bisa saja digunakan untuk melahirkan persepsi guncangan.
Di Irlandia Utara, kelompok pemberontak republik mengancam eksekusi pengedar narkoba karena menjual narkotika di lingkungan Katolik.
Di Somalia, al-Shabab yang terkait dengan al-Qaeda mungkin terkenal karena serangan bom mematikan yang sering mengakibatkan sejumlah besar warga sipil yang tewas, tetapi kelompok itu juga menganggap penting untuk menunjukkan bahwa mereka memahami bahaya yang ditimbulkan oleh plastik terhadap lingkungan. Pada Juli 2018, al-Shabab mengumumkan akan melarang penggunaan kantong plastik di daerah yang dikuasainya.
Agar upaya mereka diterima dengan baik di komunitas lokal, organisasi teroris dan kriminal perlu memiliki keakraban yang akrab dengan isu-isu apa yang sebenarnya beresonansi pada tingkat budaya politik parokial.
Kelompok menggunakan platform untuk menyoroti upaya meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan warga. (Tentu saja, ini ironis, karena kelompok-kelompok yang sama mendukung penggunaan kekerasan untuk mempengaruhi kebijakan, dan serangan-serangan mereka sering meninggalkan kerusakan yang signifikan.)
Untuk sebagian besar, dengan pengecualian dari kelompok yang paling kaya, kekerasan non-negara para pelaku umumnya kekurangan sumber daya untuk memberikan bantuan kelas atas seperti peralatan medis. Namun, dengan meluncurkan kampanye kesehatan masyarakat dan memberikan informasi serta saran tentang cara menghindari infeksi, kelompok teroris dan pemberontak dapat memposisikan diri sebagai suara tepercaya dalam masalah ini.
Al Qaeda dan kelompok-kelompok jihad lainnya telah menggunakan pandemi untuk menyoroti ketidakmampuan pemerintah Barat, menyarankan kelalaian yang disengaja dan kurangnya kepedulian terhadap warga negara mereka sendiri.
Kegagalan total menghadapi pandemik virus corona, baik pemerintahan lokal, negara bagian atau federal di seluruh dunia, memberikan celah atau peluang bagi aktor-aktor non negara militan untuk mengisi kekosongan. Implikasinya bisa bertahan lama, yakni membantu kelompok-kelompok teroris mengokohkan reputasi mereka sebagai pelayan publik yang kompeten. Pada level taktis, coronavirus telah memaksa operasi khusus A.S. pasukan komando untuk mulai menarik diri dari zona konflik di seluruh dunia.
Pemerintah di seluruh dunia menghabiskan triliunan dolar untuk memerangi ancaman kelompok-kelompok seperti Taliban, Al Qaeda, dan Negara Islam. Sebagian besar uang itu digunakan untuk upaya kontraterorisme. Namun, satu hal yang dapat diambil dari pandemi coronavirus adalah bahwa pengembalian investasi terbaik adalah berfokus pada penguatan negara-negara yang rentan yang ditentang oleh kelompok-kelompok tersebut. Pemerintahan yang baik dan administrasi publik yang kompeten adalah obat terbaik untuk pandemi dan pemberontakan. (*)
Link berita asli: https://foreignpolicy.com/2020/04/08/terrorists-nonstate-ungoverned-health-providers-coronavirus-pandemic/
Diterjemahkan oleh Mohamad Fadhilah Zein