Bentuk Candi Koto Mahligai secara utuh, memang belum bisa dilihat. Tidak mudah pula untuk merekanya. Apakah mirip candi Mahligai di kompleks Candi Muara Takus di Riau yang melambangkan lingga, atau Candi Koto Mahligai ini mempunyai bentuk lain. Tampaknya, belum ada yang berani memberikan gambaran yang pas. Pasalnya, jejak data pendukungnya sangat minim dan masih terus digali.
Meski sejarah utuhnya belum ada, namun candi ini diduga berasal dari masa kerajaan-kerajaan kuno di wilayah ini. Diperkirakan dibangun oleh kerajaan yang berdiri pada abad ke-7 hingga ke-8 Masehi. Bahkan, Kepala Balai Perlindungan Budaya Jambi Agus Widiatmoko pada Jumat (2/2/2024) malam mengatakan, ada ahli yang memperkirakan kompleks itu sudah ada sejak abad ke-3 Masehi.
Candi di Muarojambi ini dibangun dengan bata merah halus. Kondisi ini, menjadikan situs bersejarah di Provinsi Jambi ini, memang punya daya pikat.
Lokasi situs ini berjarak sekitar 900 meter dari Candi Kedaton, dan terletak di tepi Sungai Batanghari, sungai terpanjang di Pulau Sumatera. Sejumlah ahli mengatakan, candi Koto Mahligai sebagai pintu gerbang “mesin waktu” yang dapat mengungkapkan betapa mengagumkannya peradaban masa lalu. Areanya tersebar dari barat ke timur sepanjang sekitar 7,5 km.
Pengakuan
Keberadaan situs Candi Koto Mahligai yang terletak di Desa Danau Lamo, Kecamatan Muarosebo, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi ini, secara resmi baru mendapat pengakuan pada tanggal 30 Desember 2013. Pengakuan itu dilakukan melalui penetapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Area situs seluas total 3.981 hektar ini, mencakup kompleks candi, situs pemukiman, dan jaringan pengairan kuno. Keberadaan jaringan pengairan ini, dapat mengungkapkan peradaban kuno yang maju.
Secara administrasi saat ini, luas Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muaro Jambi mencakup delapan desa yang berada di dua kecamatan. Kedelapan desa itu adalah Muaro Jambi, Danau Lamo, Dusun Baru, Kemingking Luar, Kemingking Dalam, Dusun Mudo, Teluk Jambu, dan Tebat Patah.
Arsitektur
Candi Koto Mahligai merupakan contoh indah dari arsitektur kuno yang menjadikan Indonesia pernah menjadi pusat peradaban agama Buddha terbesar di dunia. Candi ini dikelilingi tembok berukuran 97,5 x 120 meter. Tembok ini membagi ruang antara candi utama (candi induk) dan mandapa di bagian timur.
Kecerdasan arsitektural dari kompleks candi ini menggambarkan kebijaksanaan para bangsawan zaman dulu dalam membangun bangunan yang kokoh.
Candi tersebut memiliki gundukan candi utama berukuran 20 x 20 meter dan candi perwara berukuran 20 x 15 meter. Pemandangan ini memukau para pengunjung dengan detil ukiran yang halus dan kerumitan desain arsitekturnya. Sebagai candi agama Buddha, situs tersebut menyiratkan kedalaman spiritual dan kebijaksanaan yang tercermin dalam setiap detailnya.
Arca Gajah dan Arca Budha
Situs sejarah ini telah mengungkapkan sejarah yang mengejutkan. Di dalam lingkungan Candi Koto Mahligai, ditemukan dua arca gajah yang memikat. Bentuknya hampir sama dengan arca gajah yang ditemukan di Candi Gedong I. Arca-arca gajah ini mengungkapkan tentang keberadaan binatang ini dalam budaya dan kepercayaan masyarakat masa lalu.
Namun, yang paling menarik adalah temuan tiga arca Buddha dari batu. Sayangnya, arca tersebut kondisinya rusak. Arca-arca ini diperkirakan berasal dari abad ke-7 hingga ke-8 Masehi. Ini menandakan kehadiran agama Buddha ke wilayah ini pada masa itu.
Perbandingan gaya pakaian arca Budha dari Muarajambi dengan arca Budha dari India Utara, dan wilayah lainnya memberikan bukti tentang pengaruh budaya dan agama di wilayah ini.
Kehidupan di Sekitar Candi Koto Mahligai
Selain kekayaan arkeologi dan seni, Candi Koto Mahligai berada dalam lingkungan yang menakjubkan. Pohon-pohon duku dan durian tumbuh subur di tepi jalan Desa Baru, menciptakan lanskap yang memikat sepanjang perjalanan menuju situs bersejarah ini.
Tak hanya itu, dalam kompleks percandian ini, terdapat juga pohon kundu atau pohon sialang (Koompassia excelsa) yang hanya bisa ditemui di area Candi yang berusia antara 600 sampai 700 tahun. Keunikan pohon ini adalah akar-akarnya yang besar dan mencuat di permukaan tanah.
Akarnya dapat mencapai ukuran luar biasa, sekitar 5-6 meter, dan memerlukan enam orang dewasa yang bergandengan tangan untuk mengelilingi akarnya. Pohon-pohon ini menciptakan suasana hening dan teduh, menciptakan pengalaman yang unik bagi para pengunjung.
Penduduk setempat sering menyebutnya “pohon madu” karena ribuan lebah suka membangun sarang di dahan-dahan pohon kundu. Untuk mengumpulkan madu dari sarang lebah tersebut, penduduk menggunakan tangga kayu dan naik hingga ke bagian batang yang dapat dipeluk.